Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Sunday 31 December 2017

Cause and Effect : Why My Desire for Writing is Declining

       Recently, I started reading my old inspirational books about public speaking. This book is written by a great public speaker trainer once in his time, Dale Carnegie. Have you ever heard of The Quick and Easy Way to Effective Speaking? Probably not. I'll tell you that this book is so precious. I know it because on the first page of the book there's a certificate embedded to it saying that the book is presented for my uncle for his participation in the Dale Carnegie Training. This training, I found out later on a class when the lecturer suddenly talked about it, is worth about 3 millions per session, for about 6 meetings. It's like, wow. I've got suuper special opportunity to borrow it from him, and since then this book has changed my life so much I feel like only thanks won't be enough.
 
       Dale wrote many books, like this book, and How to Win Friends and Influence People, and I've also made one writing about his book here, titled Overcoming Worries and Stress. There are many golds (things I thought to be shiny, golden, in the form of everyday life's lesson) that he wrote in some of his books, but the one common thing I liked most about his books was that he often took the essence of the topic before he go deep down to details. Although it doesn't necessarily means that the essence is the most important lesson. Like at his previous book I mentioned, the technical detail he gave is the one that became gold to me, which is the essence of overcoming worry is to take action and to stop letting those worries paralyze me from doing so. Because the longer it took for me to take action, the longer these worries follow me around, making me feeling very uneasy about life. 

       I loved his concept in public speaking. Because to me, what he talks about isn't just about public speaking, but to also other things. Speaking is just one way to express something, or to communicate. What makes him special is that his lesson also correlates with other ways of expressing things and communicating, like the things that I love, writing. This time, I I'll quote you a paragraph which resonates so much with what I've been feeling lately.
-------------------------------------------------------------------------

The Art of Communicating : Delivering The Talk

Fourth : PUT YOUR HEART INTO YOUR SPEAKING

Sincerity and enthusiasm and high earnestness will help you, too. When a man is under the influence of his feelings, his real self comes to the surface. The bars are down. The heat of his emotions has burned all barriers away. He acts spontaneously. He talks spontaneously. He is natural. So, in the end, even this matter of delivery comes back to the thing which has already been emphasized repeatedly in these pages, namely, put your heart into your talks.

-------------------------------------------------------------------------
These words has been my magic ever since I started writing. It's all written here. I write to cherish my emotions. But, this time I'm going to tell you something different.

Some weeks ago, a friend of mine asked me advice and comments about both his personality and his performance. I gave him the advice in exchange for the same thing for me, advice, and comments. He told me something that moved and reminded me of my old love, he said in the part advice to reach your potential :

Keep writing.

It startled me. I realized that it seems like I almost lost my love for writing. No, I don't. If you try to look for the real cause, it all comes down to my reason for writing, emotions. I like the ups and downs that comes with emotions. It makes me want to express and share my life with others.

But, you see. If I stopped writing, you may guess, that my emotion is shut down. Often, it's true. Have you ever heard of the Dementor? Devils in the Harry Potter Series which drain human's life force anytime anyone meet them. Making them feel total sorrow, despair, losing hopes, anything that makes you want to live. I, too, have Dementor. It sucks away my emotions, my vitality and making me feel hopeless, emotionless, pretty much all those bad things you might not want to have.

Anytime the Dementor comes, I'd lost my emotion, and I'd lost my desire to share my life, my emotions, through my writings. :(


The guards of Azkaban, they feed on human happiness and
can extract souls with their Dementor's Kiss
I hope you'd be so kind as to pray for me to have the real expecto patronum (the mantra that's used to make the Dementors run away) so that I can wash away the Dementor so that I can pursue my real love for this life. Aameen.

Notes : you know what? What's interesting is that in the expecto patronum mantra, each person has a unique manifestation of themselves coming out from their magic stick. Harry has a male deer. Others have different animals imago. So, maybe I'll also need to know what I really have, what is the overall manifestation of my life? Maybe that's the one thing that I should strive for.

image source :
https://images.pottermore.com/bxd3o8b291gf/2V4OKZhiiQYEKgm2somWO2/a97b1fd2bb8e4893073729753b222923/WB_F5_DementorsKissHP5-FX-00049.jpg?w=1200
Share:

Friday 22 December 2017

"Nggak Bisa " —  part 2.2 : Pemupukan Idealisme

.. continued from “Nggak Bisa”  —  part 2.1

       Bibit kebiasaan ini, kebiasaan untuk memiliki jarak dengan lawan jenis, ternyata tidak berhenti hanya selama aku berada di pondok. Ia terbawa sampai saat aku pindah SD saat kelas 5 kembali ke daerahku. Sekolah Islam tempat kami berada ternyata memiliki suasana yang mirip seperti di pesantrenku, meski untungnya itu hanya sikap childish kami saja. Meski jumlah kami satu kelas hanya sedikit, total hanya 14 an orang, rata-rata hubungan kami semua dingin. Meski terkadang tentu hal-hal seru kami lakukan bersama seperti berbagi mimpi selepas SD, dll. Akan tetapi, secara overall, hubungan kami memiliki 'jarak', baik itu fisik maupun kedekatan.

       Berlanjut ke sekolah menengah, di SMP maupun SMA aku sudah tidak berada di sekolah Islam dan masuk ke sekolah negeri. Saat SMP, aku jadi tidak berusaha terlalu dekat dengan teman-teman perempuanku, dan ya kalau berteman ya alakadarnya. Kalau suka biasanya malah jadi ga berani ngobrol. Ya, begitulah. Seringnya aku sibuk dengan diriku sendiri dan games yang sedang kugandrungi saat itu. Paling pernah dekat sama teman perempuan nya cuman pas aku lagi mempersiapkan diri belajar fisika bersama sebagai percobaan menuju olimpiade. Sisanya ya main sesama cowok sih. Meski, ada dampak buruk yang mulai kukenali juga terkait perempuan pada masa ini.

       Berlanjut ke masa SMA-ku, awalnya aku biasa saja berteman dengan lawan jenis. Malah, saat aku mulai menjadi calon panitia MOS, aku mulai menjadi pribadi yang aktif, yang sangat suka berdiskusi, yang paling pertama menyapa orang lain. Satu hal yang aku ingat adalah masa ketika aku mengikuti kegiatan LDKMS (Latihan Dasar Kepemimpinan dan Manajemen SMALA). Saat itu, tahap dua dilakukan di luar kota, di hutan-hutan, tapi aku lupa di mana. Saat itu ada jelajah malam, dilakukan dalam kelompok berdua-dua, dan harus melewati sekian pos. Aku ingat, saat itu pasanganku adalah adik kelas berkerudung, dan karena kebiasaanku, akhirnya aku minta daripada kita pegangan tangan, aku tawarkan agar kita memegang satu kain yang sama saja. Jadi agar kami tetap saling bersama saat perjalanan, kami terhubung oleh sebuah kain. Pada akhirnya, kami berhasil menyelesaikan pos dengan baik (meski sempat hampir tersasar, sih) :).

       Tak lama kemudian, saat kelas XI SMA aku mulai ditarik untuk mengikuti kegiatan keislaman dan kebiasaan ini mulai menguat lagi. Rapat pengurus ikhwan dan akhwat di sekolahku biasa dipisah dengan hijab shalat yang tingginya sekitar 2 meter, jadi kami tidak bisa saling melihat. Obrolan dilakukan melalui bagian bawah hijab yang ada lubang sekitar 30 cm. Lalu, saat sedang ada agenda kumpul besar, anggota ikhwan dan akhwat biasanya ada jarak. Hal-hal ini menjadi pupuk yang semakin menggemburkan idealisme dalam diriku tentang pentingnya jarak antara laki-laki dan perempuan.
       Saat SMA itu pulalah aku mengenalnya, mengenal dia.

.. continued in “Nggak Bisa”  —  part 2.3
Share:

Tuesday 5 December 2017

Review 2 Cinta dalam Ikhlas : Baper :(

Alhamdulillah,

Buku Cinta dalam Ikhlas karya Kang Abay berhasil kuselesaikan dengan 'sedikit' melupakan dunia sekitar dan tanggung jawab. Tapi untungnya gak terlalu urgent sih. Dari pagi sampe menjelang sore, habis deh.

Satu kata dulu : parah. Dua kata : off-side. Tiga kata : so sweet banget. Empat kata : Ini beneran kisah nyata?

Jadi namanya offside itu saat serangan dari tim lawan(biru) itu kelewat batas.
Dia nyerangnya sampe di depannya pasukan merah paling belakang, itu ga boleh.
       Dan berakhir pada sebuah kondisi dimana aku mulai meragukan ke-nonfiktif-an dari kisah yang diangkat di novel ini. Kayaknya emang beneran fiksi deh. Tapi, kalau fiksi, penulisnya itu cowok. Terus buku ini adalah buku pertama yang dia buat. I'd rather believe bahwa ini adalah kisah pribadi beliau yang diubah-ubah sedikit. Why? Karena di bagian awal juga disebutkan di bukunya bahwa ini teruntuk Teteh tercinta, dan dikisahkan bahwa Teteh dari Athar sang tokoh utama meninggal. Jadi, prosentase kemungkinannya cukup besar bahwa ini diangkat dari kisah nyata.

       Mungkin hanya segitu dulu aku mengangkat tentang ketidakpercayaanku akan isi dari buku ini. Harapannya kalian penasaran, kenapa sih buku ini segitu terasa unreal, tidak nyata?

1) Ara.
       Kelewatan. Tokoh Ara disini menurutku benar-benar tokoh yang terlewat baik, sabar, dan indah untuk dikisahkan. Bersabar dari SMA menanti sampai masa kuliah. Menjawab lamaran dari Athar dengan jawaban yang membuat siapapun (mungkin) cowok akan meleleh. Atau nggak ya. Gak tau deh. Pribadi yang supportive, shalehah, dan percaya sepenuh hatinya sama Athar.

2) Jalan Hidup Athar.
       Jalan hidupnya berlika-liku dengan cukup unik. Menurutku masih cukup realistis. Hanya mungkin memang di bagian akhir yang menjelang waktu-waktu terakhir melamar Ara ini yang agak mencurigakan. Apa ini setting-an? Tapi ya tetep salut sih sama pribadi yang berjuang dengan kerasnya, terus bisa tetap  sabar menjaga hati untuk satu orang. Ini juga yang kumaksud pada tulisanku di sini.

       "Saat mata seorang lelaki terpaku pada keindahan satu orang perempuan, biasanya itu bisa dikompensasi dengan keindahan perempuan lain. Bukan hal yang terlalu menyulitkan jika ia tidak melihatnya sekian lama. Tapi jika hati seorang lelaki terpaku pada hati seorang perempuan, the world changes. Berpisah dengannya bukan hanya berarti terpisahnya kedua hati, tetapi juga terpisahnya sang lelaki dengan dunianya."

       Buatku buku ini luar biasa. Tentang menjaga agar hati tetap ikhlas, entah apakah harus menyebutnya kosong. Menjaga agar hati ini tetap ada kekosongan yang bisa diisi oleh seseorang yang kita tak pernah tahu siapa yang akan mengisinya. Terus dan terus percaya bahwa keputusan terbaik bukan di tangan kita, tapi di tangan Yang Maha Kuasa.

       Terakhir, percaya bahwa rencana-Nya lah yang terbaik. Terus berusaha untuk menjadi pribadi terbaik. Maka Tuhan akan mempersatukan kita dengan kesempatan-kesempatan baik yang mungkin tidak akan pernah bisa datang setiap saat. Mendekat kepada-Nya (sulit :(( ) dan menjaga hati untuk-Nya terlebih dahulu.
Share:

Sunday 3 December 2017

From Loki to Ueki

       Dulu, waktu SD aku paling suka sama karakter Loki. Well, gara-gara baca komik Meitantei Loki sih. Aku suka kemampuan magis nya, dan kemampuannya untuk bercanda kelewatan :)). Sebagai seorang anak kecil, aku melihat sosok Loki di komik tersebut, yang juga dalam wujud anak kecil, seperti sesosok pribadi teladan. Terus, selepas SMP aku makin suka dengan tokoh ini karena filosofinya : bahwa setiap manusia itu punya sisi dewa Loki yang ia punya. Sisi trickster 'penipu' yang sering kali gak ingin dia perlihatkan pada orang lain. Sebuah asumsi awal yang aneh tentang dunia, meski mungkin pada beberapa aspek benar.

       Aku kemudian waktu SMP mulai mengenal Ueki di komiknya The Law of  Ueki. Sepak terjangnya luar biasa :) Gimana dia suka nolong orang dengan cuma-cuma. Emang orangnya jadi agak cuekan saat melakukan kebaikan gitu. Tapi jiwa ingin memberi manfaatnya itu lho, luar biasa. Saat diberi opsi kekuatan-kekuatan apa yang ingin dia miliki, dia gak pilih kekuatan yang semisal membuat dia lebih kuat, atau lebih berduit, atau apa. Dia lebih memilih untuk mengambil satu kemampuan innocent tapi manfaatnya super : kemampuan untuk merubah sampah menjadi pohon.

       Belajar dari loki berarti belajar untuk mempercayai bahwa ada dualisme dalam kepribadian seseorang. Belajar dari ueki berarti belajar untuk memberikan sesuatu kepada orang lain secara tulus dan gak mikirin apa yang orang lain pikir. Belajar dari ueki, berarti percaya bahwa saat berbuat kebaikan, ada satu asumsi yang harus terus tertanam : Justice is never rewarded. Keadilan itu tidak pernah dihargai. Sebuah asumsi yang membuat diri kita terus dan terus berbuat tanpa pernah berpikir apa reward yang akan diterima dari orang lain.

       Selama ini, aku merasa telah menanamkan sebuah sudut pandang negatif dalam diri ini. Bahwa tidak ada perubahan yang sepenuhnya terjadi, bahwa ada sisi Loki yang selalu ada. Tapi sekarang aku mau lebih jujur, lebih berani, dan lebih frontal dalam menjalankan perubahanku. Yakni melakukan transisi idola dari awalnya Loki menjadi Ueki. Dari keragu-raguan bahwa setiap orang pasti memiliki sisi buruk menjadi keyakinan bahwa there's nothing better than doing kindness to others.

Mohon do'anya :)

P.S.: Semoga temen-temen yang mau berubah juga bisa diberikan kesadaran dan kepahaman bahwa setiap orang berhak untuk menjadi lebih baik. Setiap orang bisa menjadi lebih baik. Asal ada usaha, do'a, dan pertolongan dari Allah.
Share:

Sunday 26 November 2017

Review 1 Cinta dalam Ikhlas : Why I Love Love Stories


       Sekarang-sekarang ini lagi ada Islamic Book Fair di tempat yang dekat dengan kampusku. I spent lots of time wandering around, comparing between one place and another, trying to get the overall view of what the Book Fair has got to offer. Ternyata, ga terlalu banyak buku yang menarik dengan diskon menarik. Paling-paling yaa, bukunya menarik, diskonnya biasa aja. Atau, sebaliknya. But well, in the end aku ngambil tiga buah buku yang menurutku mungkin cukup worth it untuk kubaca di momen-momen menjelang ujian ini. Salah satunya, sebuah buku berjudul Cinta dalam Ikhlas karya Kang Abay. Mirip kaya pelesetan dari Kang Abik ya, tapi pasti beda sih.

Ada miripnya sama kisah siapa ya?
       Tokoh utama dalam buku ini adalah seorang cowok yang awalnya salah niat untuk hijrah, begitu mungkin istilahnya ya. Tapi, kemudian mendapatkan keindahan dan kenikmatan hijrah itu sendiri dalam prosesnya. Athar namanya. Well, di bagian awal, buku ini sarat dengan flashback dan mengingat ulang memori masa kecil. Saya rasa ini menarik, ini membuat pembaca merasa engaged 'terikut(?)' karena kisah yang diangkat memang apik. Cuman karena aku baru baca awal-awal jadi masih agak bingung saat disebutkan bahwa kehilangan itu membentuk kehidupan masa depan si tokoh utama, Athar.

       Yang menarik dari buku ini sebenarnya tentang konsep yang diangkat. Salah niat hijrah tapi malah jadi seriusan. Kenapa dia mau berubah? Karena cinta. Itu yang mau kukupas lebih dalam kali ini.

       Dunno, mungkin buat sebagian orang cowok suka baca novel romance itu agak aneh ya, yang tentang kisah-kisah cinta gitu. Well, kalo aku sendiri aku punya buku tentang self-development, self-understanding, soft-skill, tokoh-tokoh, dll. Cuman ya aku juga punya sekumpulan novel, ada yang tentang perjuangan ada juga yang tentang cinta. Cemcem karya Tere Liye, dan seperti yang mungkin kalian tau, novel Cinta 3 Benua.

       Intinya, aku suka kisah cinta. Terutama yang beneran ya, seperti kisah cinta dua orang ini :". Well, pada dasarnya, aku suka karena kisah cinta seringkali menunjukkan keberanian dan ketulusan. 

       Pertama, tentang keberanian : Cinta membuat seseorang berani untuk melakukan sesuatu yang selama ini tak ia lakukan dan mungkin tak terpikirkan untuk lakukan. Be it good, or bad. For us, hopefully it will give us good changes rather than bad ones. Saat ia membuat seseorang menjadi courageous, itu akan bermula dari sikap berani untuk vulnerable 'rapuh' di hadapan orang lain, di hadapan dia yang dicintai. Cinta memang seringkali membuat seseorang tampak lemah, tetapi justru di dalam kelemahannya itulah muncul kekuatan yang seringkali membuatku(dan mungkin orang lain juga) merasa iri dan ingin memiliki kekuatan tersebut. Seperti misal pada buku ini. Dari yang awalnya urakan, hobi nge-band, bisa jadi juara kelas, jadi anak rohis pula. Terkadang memang ajaib bagaimana cinta bisa mengubah seseorang.

       Lalu, tentang ketulusan : Cinta adalah sebuah sikap jujur yang sangat jarang ditemukan di tengah zaman yang begitu jahat dan sering terjadi tusuk-menusuk dan tikam-menikam, baik di depan maupun di belakang layar.  Keberadaannya membuatmu merasa tenang karena ternyata hidup ini tidak semuanya jahat. Meskipun hanya dalam sebuah narasi pendek, maupun panjang. Pasti pernah ngerasain kan? Misal waktu baca kisah kakek nenek yang masih bisa serasi dan saling mengasihi. Rasanya itu masyaAllah, hati jadi adem. Ternyata hidup ini masih menyisakan kebaikan-kebaikan yang tulus tanpa maksud di baliknya, buktinya mereka bisa bertahan saling mencintai sampai masa sepuh mereka.

       Semoga kita bisa diberikan cinta yang berani dan tulus itu utamanya kepada Dia Yang Maha Mengatur Kehidupan Kita, aamiin. Terakhir, mengutip seorang pejuang yang rela berubah dari sesuatu yang terkadang disebut orang sebagai tak mungkin,

"The fight continues every single day. Fighting for her, and our love, fighting for each other and our future family is what saved me. That's the kind of love, that I fight for."

"Perjuangan terus berlangsung setiap hari. Berjuang untuknya, dan cinta kami, berjuang untuk satu sama lain, dan untuk keluarga masa depan kami, itu yang menyelamatkanku. Jenis cinta seperti itulah yang aku perjuangkan."

Smiling when he said it :)

 - Matt, 28 y.o., now live in Maryland.

 source : https://www.youtube.com/watch?v=ylJhaQC0jko

P.S. : Semangat ujiaan!
Share:

Tuesday 21 November 2017

Aku Suka Perjalanan Jarak Jauh

Menurutmu mengapa ujung perjalanan sering kali tak terlihat?
Apakah karena keterbatasan penglihatan manusia?
Hidup sebagai perantau, aku sudah cukup sering menggunakan kereta api. Perjalanan ditempuh selama sekitar 13-14 jam. Perjalanan yang membuatku sadar akan satu lagu masa kecil yang benar-benar menggambarkan keberangkatan dan tujuan keretaku.

Naik kereta api, tut tut tut... .. Ke Bandung.. Surabaya..

Kadang aku juga naik pesawat. Termasuk sekarang. Dalam weekend ini aku dua kali melakukan penerbangan. Satu jam perjalanan.

Selama satu jam menunggu pesawat kemarin, sesuatu terlintas di benakku.

..

Rasanya, aku makin suka dengan perjalanan jarak jauh.

I don't know, aku bukan orang yang terlalu tertarik dengan traveling. Cuman, salah satu hal yang paling aku suka adalah bahwa perjalanan panjang itu begitu filosofis.

Mengapa filosofis?

1) Aku ingat aku pernah merasa bahwa hidup itu begitu mirip dengan perjalanan kereta api. Sampai saat ini pun begitu. Dalam perjalanan timeline 'lini masa' dari dunia ini, setiap orang punya titik keberangkatan saat ia dilahirkan, dan punya titik tujuan akhir dimana ia akan turun dari kereta perjalanan.

Sampai pada tataran konsep keberangkatan dan tujuan/kepulangan, kehidupan dan perjalanan masih memiliki kemiripan. Tapi, satu hal yang membedakan, nobody really knows about both things. The only thing known is that there are two existing points : departure and arrival point. We don't know when we're gonna arrive and how, and nobody knows from where, what background do we depart from?

Allah, Tuhan menciptakan kita semua dengan salah satu kesamaan dua titik tersebut.

Saat kita naik ke dalam kereta, kita akan bertemu dengan banyak orang. Tentu orang paling dekat physically adalah the person sitting next to us 'orang yang berada di sebelah kita'. Kita yang memutuskan apakah perjalanan itu akan sepi dari diskusi, atau akan menjadi sebuah perjalanan dimana kita akan bertukar pikiran dan membuka wawasan akan pelajaran kehidupan yang dimiliki oleh kita dan orang di sebelah kita. Dalam kehidupan, be it family, best friend, dunno. Sepanjang perjalanan, kita lah yang menentukan apa yang ingin kita lakukan dalam kehidupan, apakah akan berdiam diri dan hanya duduk saja menikmati pemandangan, atau melakukan sesuatu yang lebih berarti?

Hal lainnya adalah tentang kecepatan perjalanan. Terkadang kereta bisa begitu cepat sampai kita tidak menyadari bahwa kita sudah sampai pada titik pemberhentian selanjutnya. Kadang ia bisa begitu lama sampai kita terlupa bahwa kita semua pasti punya titik tujuan where we'll get off from the train. Terkadang saat kehidupan menjadi begitu cepat, kita tak bisa menikmati pemandangan sekeliling karena ia begitu cepat berlalu. Padahal, ya, apa lagi yang bisa kita nikmati dalam hidup jika bukan indahnya perjalanan yang sedang kita tempuh? Dunno.

2) Terkadang aku juga naik pesawat.
Pesawat terkadang membuatku merasa lebih dekat dengan kematian sedikit. Pikiran-pikiran seperti this might be your last flight 'ini boleh jadi penerbangan terakhirmu' bisa dengan mudah muncul.

Satu hal yang kusuka adalah saat ia, kesadaran itu, membuatku lebih banyak berpikir ulang tentang kehidupan. Introspeksi kesalahan, meminta ampun pada sang pemberi kehidupan. Well, special things that we'd do if we were about to die.

Tapi mungkin itu berpikir terlalu jauh? Dunno.

Itulah, buatku menunggu keberangkatan perjalanan jauh itu begitu nostalgik. Boleh jadi karena itu aku suka perjalanan jarak jauh.
Share:

Wednesday 8 November 2017

Pengalaman Presentasi Konferens : Ternyata Gak Sesulit Itu


Held at 6-7 November @ITB

Kemarin aku habis presentasi di konferens internasional, ICICI-BME. Diselenggarakan oleh IEEE(Asosiasi Insinyur Elektronika) cabang Indonesia, dengan panitia adalah tim biomedical engineering nya ITB. Alhamdulillah, aku bisa ikutan konferensnya, which cost 1 million rupiahs (mahal yak? Padahal itu udah termasuk murah, di konferens yang lain ada yang 2.5 jt. Fhuu). Dibayarin sama perusahaan. Gimana ceritanya?

Well, semua bermula dari aku gak bisa ngambil mata kuliah wajib semester 4 karena permasalahan praktikum, yakni praktikum Elektronika. Karena ada slot SKS kosong yang cukup banyak akhirnya aku pun mulai mencari-cari mata kuliah non elektro yang menarik. Kata kuncinya jelas, biomedik! My long lasting dream. Sampai akhirnya aku menemukan satu mata kuliah fisika untuk tingkat 2, yakni Instrumentasi Medis. Mata kuliah ini kuikuti, dan very luckily, salah satu asisten dosen yang mengajar di kelas adalah seorang peneliti di C-Tech Labs milik Pak Warsito. Awalnya aku nggak kebayang, tempatnya seperti apa, sampai kemudian.. Aku KP disana! Saat proses pencarian tempat KP di akhir semester 6, aku mencoba menghubungi asdos ini lagi. Alhamdulillah, beliau mempermudah proses menjadi mahasiswa KP disana.

KP pun dimulai sekitar sejak awal Ramadhan, dan berakhir sekitar sebulan setelah Idul Fitri. Banyak hal menarik yang sebenarnya aku juga tertarik untuk menceritakan, but my mood, really, some events that happened recently kill my mood drastically. Yah, di sana aku merasakan banyak hal luar biasa. Aku baru tahu bahwa bekerja itu semenarik itu. Kita bangun tiap pagi, bersiap untuk kerja. Kerja, pulang, dan dengan kerjaan-kerjaan tambahan yang kita mau. It's like my life got a new routine, meaningful routine. Ga kayak waktu kuliah yang keos dan jadwalnya ancur -_-. Dapet pengalaman, kenalan, dan apa hubungannya dengan konferens? Well, at the end of our internship we're asked to make a paper about our research there. After that, we submitted it to the conference committee, and.. Tadaaa! Two from 3 teams from our internship are invited to present our presentation there!

Jadilah kemarin aku mempresentasikan semua kerjaan selama 2 bulan hanya dalam 15 menit dan 10 slide. Which is very stressful and confusing for me at first. Awalnya aku bingung luar biasa apa aja yang harus diisi di dalem presentasinya, apakah semuanya bisa dikompres dan dipadatkan hanya dalam sekian slide?? Apa aja isinya kalau gitu? Momen-momen pengerjaan adalah momen-momen penolakan, aku ngerjain sambil buka game. Eh, seringnya karena pusing aku malah ngejalanin game nya daripada ngerjain slide -___-". Awalnya teh pusyiang(pusing) banget, bingung, dan tekanan makin meninggi. Sampai akhirnya waktu J-1, aku masih di kosan soalnya PPT baru banget aja selesai bagian kesimpulan. Belum sempat simulasi, kata-kata yang mau disampaikan belum semuanya tersusun.

Sebelum aku berangkat dari kosan, mendadak hujan. Harus banyak do'a. Termasuk do'a semoga hujannya gak deres-deres banget jadi aku masih bisa berangkat. Banyak minta do'a ampunan biar semoga ga ada masalah berarti. Berangkat dari kosan jam 14.40, harus presentasi jam 15.15. Agak gila sih. Tapi ya gimana lagi ya. Sampai di kampus jam 15.01, mikir mau shalat dulu atau langsung ke lokasi. Akhirnya? Ke masjid salman dulu, wudhu, liat jam, 15.08. Ya udah gajadi ngikut shalat deh habis wudhu, langsung ke lokasi aja. Pas, presenter pertama lagi presentasi. Lima menit setelah itu, aku yang presentasi. Wuhh.. mepet banget coy.

Aku presentasi, dan cuman dapet 1 pertanyaan. Ternyata.. gak sesulit itu :((. Segala stress yang tertumpuk waktu sebelum presentasi itu, ternyata gak perlu sebingung dan se-pusyiang itu. Audiens nya juga cuman 10 orang aja, terus situasi nya juga santai tapi formal. Walaupun hampir telat, ternyata mostly, 90% dari yang kurencanakan untuk kusampaikan juga bisa tersampaikan. Bahasa inggris nggak bletat bletot, tetep bagus.

Allah, aku jadi ngerasa sangat kasihan dengan diri sendiri yang sampai harus segitunya karena stress mempersiapkan. Ternyata sangat dimudahkan dan hanya perlu penjelasan yang jelas aja, gak usah ribet-ribet. Overall, alhamdulillah banget.

Notes : Logo EMB.
Asosiasi Insinyur Biomedik.
Kalau kalian pernah baca DDS dan tahu Meiosei, mungkin kalian juga akan muncul kecurigaan-kecurigaan tertentu =-=.

Share:

Sunday 15 October 2017

"Nggak Bisa " —  part 2.1 : Penanaman Awal Idealisme

.. continued from “Nggak Bisa”  —  part 1

       Kesadaran akan hal-hal tersebut telah membuat aku bisa melihat secara lebih jelas kejadian-kejadian terkait hal ini dalam diri sendiri, maupun orang lain. Hal ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi seseorang yang berusaha untuk menjadi seorang idealist but realistic person, termasuk aku.

"Is it possible to become a person like that? How’s that possible?"

Well, before we go further into how we can become an idealist but still realistic person, I think I'll try to tell you a stories of my life about one of my always-kept-idealism.

       Aku terlahir dalam keluarga Muslim yang sangat perhatian dengan pendidikan agama. Hal ini ditunjukkan salah satunya lewat dimasukkannya aku dan kakakku ke sebuah pondok yang berjarak sekitar 1 hari naik bus antarkota. Pondok ini banyak memberikan kesan yang luar biasa. Maklum, tempatnya ndeso juga sih, beda sama kota asal hehe. Tapi, gak semua tentang desa saja yang berkesan sih, hal-hal lain selain itu juga ada yang berkesan. Salah satunya tentang tradisi pondok terkait penjagaan jarak dan komunikasi antara santri dan santri putri.

       Pertama, bangunan dan tempat shalat untuk santri putra berbeda dengan untuk santri putri. Jaraknya sekitar 100 m. Jarak ini membuat sangat jarang terjadi kasus dimana kami bisa bertemu dan bercengkerama di luar kegiatan sekolah atau acara-acara gabungan, seperti misal bermain bareng atau ngobrol-ngobrol. Yang laki-laki mainnya dengan sesama ngelakuin sesuatu yang sometimes pretty adventurous, like throwing cutter to a banana tree, making bows and becoming an archer, and some other cool experiments :). Meski biasanya kami santri kalau mau main ayun-ayunan juga ke daerah depan dari tempat santri putri sih(aku inget soalnya pernah ada kejadian menarik di sana). Sedangkan yang santri putri, ya gatau.

       Entah rasanya sudah menjadi tradisi turun temurun atau gimana, tapi suasana 'permusuhan' antara santri putra dan putri di pondok kami itu sangat terasa. Ini memuncak saat sekitar kami berada di kelas 4. Biasanya kalau lagi sekolah, kami berada pada satu kelas, biasanya nanti santri putra di satu sisi dan santri putri di sisi lain. Awalnya hari-hari berjalan seperti biasa, sampai suatu ketika karena perseteruan kecil yang makin lama makin memuncak, santri putri berbuat tidak menyenangkan -_-. Saat itu sedang waktu istirahat, tiba-tiba kelas ditutup oleh santri putri karena mereka tidak senang dengan kehadiran kami, which is.. annoying -_- . Waktu itu kami tidak terima, kami meminta kelas dibuka, untung dibuka. Usai itu, kami pun merencanakan pembalasan.

       Sepulang sekolah kami pun berkumpul dan mencari ide, sampai akhirnya diputuskan agar kami mempelajari sebuah sandi (yang gak tau dapetnya dari mana) untuk menyerang santri putri. Tentu, kode-kode itu hanya santri putra yang tahu. Esoknya saat kelas, kami membuka salinan huruf dan kode yang tersedia pada sebuah kertas. Dari sana, kami buat kalimat-kalimat yang bersifat menyerang pada secarik kertas(yang tentunya tidak akan pernah diketahui oleh santri putri apa maksudnya). Kata-kata macam apa ya, aku lupa sih, tapi kayanya sih ngejek gitu. Lalu, kami lipat kertasnya dan kami lempar ke para santri putri. Sampai puncaknya, ternyata mereka mengunci kami lagi saat istirahat .. -_-. Kami pun menyerang tanpa ampun. Lewat jendela, lewat bawah pintu, kertas-kertas beterbangan. 'Peperangan' asik dan seru itu berlangsung beberapa kali. Sampai seingetku akhirnya guru pun turun tangan dan menenangkan. Phew.

       Seusai peperangan itu, ternyata ketegangan tidak menurun. Saking tegangnya, rasanya jika dalam satu ruangan ada banyak santri putri hanya ada 1 santri putra, sudah jelas. Akan muncul 'tenaga gaib' ketidaknyamanan suasana yang akan membuat santri putra ini tidak tahan di kelas hingga akhirnya memilih untuk hengkang dari kelas, atau sebaliknya. Jadi, mulai dari sekadar berada dengan lawan jenis dalam satu ruangan, apalagi sampai berdekat-dekatan, itu sudah sangat terkondisikan dalam pesantrenku. Semenjak itu pula, dalam diriku mulai muncul sebuah bibit penjagaan jarak dengan lawan jenis.

.. continued in “Nggak Bisa”  —  part 2.2
Share:

Tuesday 10 October 2017

Mimpi

Baru-baru ini aku bermimpi. Mimpi yang membingungkan. Tiga kali berturut-turut semua memiliki kesamaan tema dan membingungkan.

Saat mimpi mu tak memihak, mungkin kamu masih merasa tenang.

Tapi saat ia menjadi memihak pada satu sisi, pada satu nama? Bukankah kamu akan bingung?
Share:

Friday 22 September 2017

“Nggak Bisa”  —  part 1 : Asumsi dan Idealisme

       "Idealisme." Saat kamu punya idealisme, secara tidak langsung kamu akan mempertahankan keberadaan idealisme itu. Dimulai dari diri sendiri, lalu mungkin kamu akan mencoba untuk beranggapan bahwa dunia di sekitarmu juga akan bisa menerima idealisme-mu, sesuatu yang kamu anggap ideal dan seharusnya, tersebut. 

       "Asumsi." Banyaknya hal yang tidak kita ketahui seringkali membuat kita mulai untuk berasumsi. Asumsi muncul untuk menjawab kebutuhan dan keinginan kita agar sesuatu itu seperti harapan. Itulah sebabnya asumsi seringkali sangat subjektif dan jauh dari kenyataan. 

       Asumsi memiliki hubungan dekat dengan subjektifitas, yang berhubungan dengan idealisme seseorang. Idealisme membantu membentuk kerangka berpikir seseorang dalam memandang sesuatu. Ia berkaitan erat dengan nilai, apa yang kita anggap benar ataupun indah. Maka saat kita menilai sesuatu secara subjektif, kita akan melakukan sebuah perbandingan antara apa yang ada dengan nilai-nilai yang kita miliki. Apa yang kita anggap ideal.

       Asumsi sendiri adalah suatu proses menilai sesuatu yang tidak kita ketahui, memberikan sebuah ‘kondisi awal’ yang kemudian akan diiterasikan dan diperbaiki setiap kali ia menghadapi kenyataan. Kita berasumsi bahwa orang lain itu bisa menerima idealisme kita dan mereka akan menerapkan idealisme kita,

       Asumsi bahwa orang lain itu shalatnya tepat waktu, orang lain itu masih shalat isya’ lah kalau semisal udah pulang dari acara malem, orang lain itu masih beragama, orang lain itu masih percaya Tuhan. 

       Asumsi-asumsi ini kita buat sebagai bentuk melindungi diri kita sendiri dari ketidakidealan kenyataan. Karena jika sesuatu menjadi sangat jauh dari ideal, maka sesuatu dalam diri kita akan merasa tidak nyaman, berontak, atau bahkan hancur. Keberadaan asumsi ini akan membantu membuat kita merasa nyaman dan ‘tidak hancur’ ataupun kecewa saat kita tidak mengetahui kenyataan. 

       Kesadaran akan hal-hal tersebut telah membuat aku bisa melihat secara lebih jelas kejadian-kejadian terkait hal ini dalam diri sendiri, maupun orang lain. Hal ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi seseorang yang berusaha untuk menjadi seorang idealist but realistic person, termasuk aku.

"Is it possible to become a person like that? How’s that possible?"

.. continued in “Nggak Bisa”  —  part 2
Share:

Monday 11 September 2017

Satu Nafas Panjang

       Kata-kata ini kutemukan dari seorang pemateri dalam sebuah acara di Depok. Aku harus berangkat dari Bandung ke Depok demi memenuhi semangat menggebu untuk mendapatkan materi Karya dari dua tokoh idolaku, Dalu Nuzlul Kirom dan Ricky Elson. Aku baru saja menjadi kepala divisi di organisasiku, divisi Karya. Wajar, semangat itu masih membara. Bandung-Depok, tak masalah. Seperti biasa, aku membuat catatan dari keseluruhan rangkaian acara hari itu. Di akhir aku juga bertemu dengan teman dari Surabaya. But, well, that’s not my point of this writing.

       Satu frasa yang sangat berkesan dari hari itu. Kata-kata ini diucapkan oleh Mas Dalu saat ia bercerita tentang bagaimana ia memulai gerakan yang ia buat, yakni Gerakan Melukis Harapan. Sebuah gerakan yang secara nyata telah memberikan harapan bagi siapapun yang mencarinya, bahwa sebuah daerah yang awalnya adalah prostitute and gives a very bad perception about it, berubah menjadi sebuah daerah produsen oleh-oleh, kampung wisata. Luar biasa :)

       Satu frasa itu adalah “Nafas Panjang”. Beliau menganalogikan apa yang beliau lakukan sebagai hal itu. Momen saat ia mengambil satu langkah besar perubahan dalam hidup, bukan sekadar hidupnya, tetapi juga hidup orang lain, adalah momen di saat beliau menghirup sebuah nafas panjang. Sebuah nafas yang akan sangat lama ia tarik dan sangat lama pula untuk ia hembuskan. Saat yang diawali dengan pengambilan bekal yang panjang dan penggunaan semua sumber daya yang juga tidak sebentar. 

       Menarik nafas panjang juga biasanya merupakan sebuah cara yang biasa digunakan untuk mencari ketenangan dalam hidup, seperti pada meditasi, atau olahraga. Satu per satu nafas panjang dihirup, dan dilepaskan. Hingga pada akhirnya ia mencapai satu titik konstan waktu nafas dan ketenangan yang tak tergoyahkan. Mungkin, ini pula yang kucari. Sebuah jawaban akan keresahan yang selalu terjadi pada diri saat melihat orang lain, lalu membuatku merefleksikan dengan diri sendiri.

       Pengalaman-pengalaman yang telah kudapatkan selama ini. Amanah dan jabatan tahunan, usaha mengikuti lomba, soft-skill yang diasah, kursus, bimbingan dari mentor dan orang-orang khusus. Semua nafas-nafas pendek itu akan menjadi sebuah bekal untuk satu nafas yang lebih bermakna pada hidup. Sebuah nafas yang ingin diambil untuk mencari ketenangan akan hidup.

       Mohon do’a nya. :)
Share:

Sunday 6 August 2017

Ada Hati yang Harus Dijaga - Part 5 (Extended Final)

Bagian ini adalah bagian yang (almost) terlupakan. Bagian untuk menjawab sebuah pertanyaan,

"Hati siapa yang harus dijaga, Haw?"

       Aku sudah pernah terpikir tentang pertanyaan ini sejak jauh-jauh hari. Sejak tulisan tentang perceraian kukisahkan, aku sudah terpikir untuk berhati-hati dalam menjaga hati. Eh, lagi-lagi, kemarin diingetin umi tentang kondisi anak muda yang suka pacaran jaman sekarang. Putus, yang satu pacaran lagi, eh ternyata mantannya gagal move on. Sampe yang satu nikah juga masih aja si gagal move on ini kepikiran, kan sakit yak rasanya. Mending kalau dipendem, yang sulit kalau jadi ngegangguin hubungan mereka, curi-curi kesempatan waktu rumah tangga mereka lagi retak misalnya. Hmm.

Dari sekilas cerita itu tentu ada di antara kalian yang bisa menduga, hati siapa yang harus dijaga.
Atau.. belum cukup jelas?
Baiklah, akan kujelaskan. Sedikit mengutip kembali dari tulisan tentang perceraian tadi,

       "We are the people who think that marriage is much better than having a temporary boyfriend or girlfriend. It gives us more time to chat with friends, it doesn't distract us from our top priority mission which is studying, it removes a whole lot probability of problems which may arise by having one, or maybe like me, it makes me appreciate my future wife even more. I need someone who put being with me in her priority, so the one thing I should never do is to hurt her intentionally(regardless of the traits or qualities that she has). Especially, comparing her with another woman, particularly, a woman from my past, or even worse(imaginary women, or pixelated women, if you know what I mean)."

       Yak, kukira di situ sudah cukup jelas disebutkan. Bahwa satu hati, selain hati ortu tentunya, satu hati yang harus kujaga untuk masa depan nanti dan harus kumulai dari sekarang adalah hati-nya. Hati dia yang akan menjadi pendampingku, yang akan mengikat dengan perjanjian yang agung, yang akan diserang badai bahtera rumah tangga bersama, yang akan paling mengerti masa lalu, kini, dan masa depanku. Dia yang berusaha menjaga hatinya demi menjaga hati calon pendampingnya juga di masa depan. Seperti aku.

       Sederhana saja, jangan sampai aku membuat hati-mu berkompetisi dengan hati lain, nama lain, baik di masa lalu maupun di masa itu. Aku (berdo'a -- karena ini teramat sangat berat, dan aku sangat yakin aku bukanlah manusia yang sempurna) agar hati ini terkunci dengan baik dan hanya benar-benar terbuka saat ia bertemu dengan kuncinya yang sempurna. Yang berani mengikat perjanjian suci sehidup semati.

       Yakinlah kawanku, rasanya sakit saat engkau memberikan hatimu kepada seseorang, tetapi ia tak menganggapmu melakukannya. Makan tak sedap, tidur tak tenang, well itu jika cintamu kepada sesama manusia terlalu berlebihan sih. Tapi, yakinlah bahwa setiap kebaikan pasti akan dibalas dengan kebaikan. Saat kamu menyimpan hatimu untuk hati dia yang akan bertemu di ujung perjalanan kesabaran ini, ia akan menjadi kunci yang secara sempurna membuka hatimu. *Click* Kelegaan luar biasa akan menjalarimu, seolah kamu adalah musafir kehausan yang dengan setetes air saja sudah seperti merasa berada di tengah derasnya guyuran air terjun. Kenapa? Karena kalian cocok, satu sama lain, dalam semua aspek.

Maka dari itu, kembali lagi, kepada para penjaga hati di jalan kesabaran. Saya meminta do'a, sekaligus mengajak kalian untuk becermin lagi. Perhatikan hatimu, satukan dulu cintamu hanya kepada Sang Pencipta Cinta, yang dengan itu ia akan menyatukan hatimu dengan hati yang terbaik. Aamiin.
Share:

Friday 28 July 2017

Ada Hati yang Harus Dijaga - part 4 (Final)

"Bagaimana cara menjaga hati yang telah terlalu banyak bermain hati? Hati yang sebegitu mudahnya tergantung pada hati lain sehingga ia berontak saat akan berpisah. Bagaimana?" 

       Saat mata seorang lelaki terpaku pada keindahan satu orang perempuan, biasanya itu bisa dikompensasi dengan keindahan perempuan lain. Bukan hal yang terlalu menyulitkan jika ia tidak melihatnya sekian lama. Tapi jika hati seorang lelaki terpaku pada hati seorang perempuan, the world changes. Berpisah dengannya bukan hanya berarti terpisahnya kedua hati, tetapi juga terpisahnya sang lelaki dengan dunianya.

       Tentu kalian sudah sering mendengar cerita tentang playboy yang bergonta-ganti pacar hingga berkali-kali. Tapi sebaliknya, justru ada juga cerita tentang seorang ayah yang tidak ingin menikah lagi setelah istrinya meninggal. Atau kisah terkenal di Autumn in Paris, tentang seorang lelaki yang gagal move on hingga akhirnya meninggal karena ia sedang melamun saat sedang melihat konstruksi bangunan yang tiba-tiba jatuh menimpanya. Kisah pertama tentang playboy adalah kisah tentang mata yang terpikat. Sedangkan kisah kedua dan ketiga adalah tentang hati yang terikat.

       Tentu tak mudah bagi hati yang berontak untuk bisa berdamai dengan kenyataan bahwa sudah saatnya bagi sang bintang untuk pergi dan berlanjut mengorbit pada lintasan orbitnya. Padahal, baru saja lintasan orbit kehidupan sang hati hampir beririsan, sangat dekat, dengan orbit lintasan sang bintang. Kenyataan bahwa sudah saatnya untuk berpisah dan kembali mengitari orbit masing-masing, saling menjauh, tentu bukan hal yang dengan begitu mudahnya bisa diterima.

       Tapi, kawan, itulah kenyataan. Perpisahan adalah perpisahan. Tak bisa kau memaksa sesuatu yang bukan berada pada kekuasaanmu. Atau menolak kenyataan dan bersikap seolah tak ada perpisahan. Apa kau berani mempertanggungjawabkan konsekuensi jika memaksakan untuk terus berdekatan? Di hadapan dirimu sendiri dan di hadapan Tuhanmu? Sesuatu yang orang sebut dengan,

mendahului Takdir. ... hmm, terdengar menyeramkan.

       Jadi, tidak. Itu tak akan kulakukan. Tampaknya yang terbaik adalah menerima kenyataan, belajar untuk bersabar, dan memantapkan diri akan jalan yang akan ditempuh ke depan. Serta menyerahkan kepada-Nya perihal Takdir yang diri ini juga tidak tahu siapa yang akan ditemui di akhir jalan perjuangan kesabaran. Apakah manusia, ataukah malaikat-Nya? Langsung dipanggil oleh-Nya untuk menghadap. 

       Simpulannya, jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah :

1) Menyadari akan bahayanya bermain hati, dan memintakan ampunan akannya.
2) Menerima kenyataan saat perpisahan dan bersabar akannya.
3) Menyadari bahwa sejarah ada untuk menjadi pelajaran, bukan untuk dilupakan.
4) Menatap ke depan dan mulai menyusun langkah dan strategi dalam menjalani orbit kehidupan di depan
5) Meminta do'a kepadanya agar diberi kemudahan.

Selesai.

Note : Oh ya, yang ke-6, tentunya juga harus minta do'a dari pembaca sekalian semoga kita dimudahkan untuk bisa lebih menjaga hati, mata, kemaluan, dan kehormatan dari sesuatu yang belum saatnya :) 


Lastly, cheers(semangaat) untuk para pasukan penjaga hati! Semoga Allah memberikan kemudahan dan mempertemukan hati-hati yang memang terjaga, Aamiin.
Share:

Thursday 20 July 2017

Ada Hati yang Harus Dijaga - Part 3


... (lanjutan)

       Sejauh ini pertanyaan yang membimbingku adalah tentang masa depan, sekarang mari kita mengubah sudut pandang sejenak. Mari bertanya, tentang masa lalu.

"Kenapa sih Allah mengirimkanmu ke Bandung, Haw?"

       Pertanyaan ini menghantuiku terutama saat aku sedang menjalani libur Ramadhan pertamaku di Bandung. Saat-saat dimana aku masih kesulitan menghadapi perasaan ketidakpantasan menjadi seorang mahasiswa ITB. Saat-saat dimana tiap kali aku melewati kolam Intel(Indonesia Tenggelam, red.) aku selalu mempertanyakan mengapa aku yang diterima di ITB, bukan orang lain. Kamu tau, pemandangan 'sungai' terusan kolam Intel yang dipagari dengan indahnya oleh pohon berjajar di sebelah kanan dan kiri yang sedang kulihat ini, bisa jadi inilah yang akan dilihat oleh mata lain seorang mahasiswa ITB dari sekolah dengan asal yang berbeda denganku. Jika dia yang masuk ke ITB dan bukan aku.
Apa yang kulihat saat itu.
       Aku masih ingat bahwa jawabanku saat itu adalah karena di Bandung ini aku bisa bertemu dengan lingkungan yang luar biasa supportif untuk bisa berkembang, belajar, dan berdakwah. Salman namanya. Dari dulu, sampai tingkat 3 akhir, basecamp ku untuk berdiskusi santai hingga serius dengan teman-teman adalah Masjid Salman. Terikku, hujanku, sedihku, ramaiku, banyak sekali yang terjadi di Salman. Tapi.. bukan hanya tentang itu. Salman juga menyimpan cerita tentang hati dan dinda.

       Dulu, sebelum memasuki SMA, berurusan dengan perempuan adalah hal yang cukup jarang bagiku. Paling bantuin temen ngusilin temen perempuan, nge-bully nyindir-nyindir lah, nge-ciye ciye-in lah, apa lah. Saat memasuki SMA, aku mulai berkenalan dengan wide range personality of a woman. Di masa itu juga aku mulai mengalami pergolakan batin dengan perempuan. Interaksi kami yang terjadi biasanya tidaklah secara fisik karena aku memiliki rasa malu yang besar untuk terlihat dekat dengan perempuan. Banyak rasa, mulai dari dinda, bahagia (jika ia disebut bahagia), menerima, memberi, sakit hati, kecewa, dan yang terpenting yang pernah kupelajari adalah : peduli (care). In the end, aku merasa bahwa pengalaman berurusan dengan perempuan di masa-masa itu bukanlah pengalaman yang begitu menyenangkan.

       Then I was accepted in ITB, Bandung. City of flowers. Kota dimana satu angkot bisa penuh sama perempuan dan kamulah satu-satunya cowok di dalam angkot (berdua sama supir sih). Can you imagine this? For me sometimes it felt like a nightmare. 
 
Back to Salman. 

       Pernah ngerasain nggak, saat-saat dimana kita sedang berusaha untuk menjaga orang lain agar tetap semangat saat kita sedang menjadi work colleague, and we say or do something personal to make them feel comfortable working with us? Things like bertanya kabar, rencana ke depan mau ngapain, apa ada masalah pribadi, berbagi hadiah, atau kita yang perlu untuk share dan memberi jawaban akan pertanyaan-pertanyaan itu.  

       Terkadang, saat kita berada di Bandung, di Salman, itu terjadi dengan perempuan. This is common. *jedeer* Biasanya, masalah muncul saat aku merasa bahwa aku telah menitipkan sesuatu kepada seseorang yang itu tidak kutitipkan kepada orang lain. Hati ini mulai tergoda oleh bisikan setan untuk 'menambah' titipan, seperti cerita permasalahan pribadi dan curahan hati kepada perempuan. Lama kelamaan, saat karena kondisi hati ini diminta untuk berhenti untuk bercerita, ia berontak. To whom should I share my stories with if we were to depart from each other?? Said my heart impatiently *padahal, ada Allah

       Aku menyebutnya, "main hati". Kadang aku perlu main hati agar bisa menjaga staf. Meski selalu kutekankan bahwa saat bertanya tentang hal-hal yang meningkatkan intimacy sebagai work partner ini biasanya kutekankan bahwa kalau ini penting untuk kerja yang kami lakukan bersama. Bahwa kalau dia tiba-tiba menghilang, itu akan menghambat kerjaan. *Sampai di sini aku memohon perlindungan pada Allah agar bisa menjaga hati agar tidak membelok rasa cinta horizontalnya menjadi lebih kuat dari yang vertikal, aamiin.*

       Lalu, saat masa perpisahan(departing times) itu tiba, saat hati sedang berontak, di saat itulah aku mulai bertanya lagi,


"Bagaimana cara menjaga hati yang telah terlalu banyak bermain hati? Hati yang sebegitu mudahnya tergantung pada hati lain sehingga ia berontak saat akan berpisah. Bagaimana?"

... (berlanjut di Ada Hati yang Harus Dijaga - part 4) 
Share:

Saturday 8 July 2017

Ada Hati yang Harus Dijaga - part 2

"Selepas masa aktif di Salman, apa yang akan kamu lakukan, Haw?"

... (lanjutan)

       Sekarang, sudah tingkat empat. Time flies. Rasanya perihal apa yang telah dilakukan selama ini tak terlalu masalah, tapi yang sekarang menggayut di pikiran adalah pertanyaan di awal tadi. After all this fight, what will happen next? Jalan mana yang akan ditempuh?

Apa jawabannya ?

       Perumusan tentang apa yang akan dilakukan pada tingkat 4 sebenarnya adalah sebuah hasil dari pengintegralan akan semua pengalaman-pengalaman yang telah disimpan selama ini. Layaknya sebuah kurva 2D sederhana dengan sumbu y sebagai pengalaman hidup dan sumbu x sebagai waktu, maka saat dilakukan integrasi akan muncul sebuah bilangan khusus. Itulah bekal yang telah kita dapatkan. Yang jadi masalah sekarang adalah akan ke arah manakah sekarang kurva kita?

       Well, aku sendiri sudah pernah dengar cerita tentang mahasiswa yang tidak lulus-lulus, atau seperti diceritakan dosen ada juga yang karena main game sampai tidak pernah muncul lagi batang hidungnya hingga di-DO. This is not common, but this happens sometimes. Kesibukan yang selama ini telah menjaga kita untuk terus dan terus bergerak, kini mulai berkurang. Waktu tidur yang dulu terasa sedikit tapi membahagiakan, bisa jadi saat masuk di tingkat 4 ini malah akan jadi banyak tapi rasanya tak juga cukup. Karena di masa ini, it's up to us. Tentu kita akan fight untuk mata kuliah SKS pilihan kita karena kita mungkin suka dengannya, tuntutan belajarnya jelas, dll. Sedangkan TA? What you're gonna do with it is your own decision. Dosen mungkin akan meminta laporan progress, tapi iya kalau beliau peduli. Teman mungkin akan meminta untuk mengerjakan bareng, tapi kita yakin bisa meninggalkan our illusory activities? Activities like playing FIFA, DOTA, or.. watching drama, maybe? Sekali lagi, terserah kita.

       Well, ada juga kok mahasiswa yang di tingkat akhirnya malah semakin "sukses", or maybe you could say, productive. Seperti menginisiasi gerakan pengmas, atau menambah amanah saat di tingkat 4. Mereka gak merasa cukup hanya dengan TA saja. Kesadaran akan salah satu tridharma perguruan tinggi, yakni pengabdian masyarakat serta akan pentingnya menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama ada pada diri mereka. They choose not to stop moving. Ada, tapi gak banyak. Sepenglihatanku, biasanya yang banyak ya di antara keduanya, mau fokus TA, tapi kalau jenuh ya main game. Mau fokus ke pengmas, ragu soalnya nanti ga bisa fokus TA-nya. Katakan padaku kalau ini salah. Kalau ditanya pandanganku, no problem sih. Sekali lagi, terserah kita.

       Balik ke pembahasan di awal tentang integral. Semua pengalaman-skill-dan-leadership dalam keorganisasian, link teman-teman seperjuangan dulu, duit, kit dan komponen bekas proyek, great ideas, rencana proyek, buku, dan semua bekal yang adalah hasil pengintegralan kehidupan kita selama ini, mau diapakan? Apakah akan terus diasah dengan digunakan lagi? Beruntung buat orang-orang yang bisa dapet topik TA yang menggunakan hampir semua bekal yang udah dikumpulkan. Kalau enggak, mau dipakai apa? Apakah kurva sederhana kehidupan kita itu akan menurun begitu saja? Tentunya, kalau bicara soft-skill, pasti lebih baik kalau ia terus diasah sampai menjelang ke tahap mencari kerja.

       Aku sendiri baru sadar itu beberapa saat lalu. Apa sih gunanya kenalan sama semua orang selama ini? Ikut organisasi A, B, C. Bantu-bantu disini, sana. Baru kepake di saat sekarang saat mencoba mengalkulasikan hasil integral dari semua langkah yang udah ditempuh selama ini. Untuk menentukan langkah apa yang akan diambil di masa depan. Bismillah, insyaAllah my ship is ready to set sail, some of you might be too. May Allah bring Rahmah to our journey. Aameen.

Scene dari film Mohammed Al-Fatih.
Setelah akhirnya kapal bisa diloloskan melalui rantai lewat jalur darat.
Crazy ideas.
Note : tinggal.. satu masalah, ini apaan sih judul tulisan pake kata hati segala?

... (berlanjut di Ada Hati yang Harus Dijaga - part 3)
Share:

Thursday 6 July 2017

Ada Hati yang Harus Dijaga - Part 1

"Selepas masa aktif di Salman, apa yang akan kamu lakukan, Haw?"

Masa-masa refleksi tentang apa yang telah terjadi selama ini.
Pertanyaannya, kemana jalan yang kita lalui ini akan membawa kita?
       Itu adalah sebuah pertanyaan yang belum pernah terlintas di pikiranku selama ini. Tak pernah terpikir bahwa segala perjuangan ini akan sampai pada satu titik dimana aku akan melihat ke belakang dan menemukan pertanyaan itu di belakang kepalaku, mengikutiku. Tapi memang begitulah manusia, sering lupa akan apa yang harus dipersiapkan untuk masa depannya.

       Tahun pertama adalah tentang belajar, belajar, dan belajar. Belajar beradaptasi, berkenalan dengan teman-teman dengan berbagai macam latar belakang, belajar menjadi staf kepanitiaan di sebuah masjid, belajar cara belajar dengan beratnya materi kuliah, intinya belajar untuk lebih mengerti bahwa tahun ini adalah tahun penyiapan bekal untuk tahun-tahun ke depan yang akan lebih berat.

       Tahun kedua, segala macam perihal perjurusan mulai menghampiri. Minat pribadi mulai tumbuh karena sudah merasa mulai mengenal hal-hal menarik di Salman, di kampus, atau di luar kampus. Kebiasaan-kebiasaan baru mulai dibangun sebagai pembentuk karakter di masa depan. Karakter peduli dengan sekitar lewat pengabdian kepada masyarakat, karakter untuk bangkit lagi meskipun baru saja mengalami kegagalan, serta karakter-karakter lainnya yang masih ingin dicoba apakah itu sesuai dengan karakter dalam diri. Tawaran-tawaran menarik berdatangan untuk aktif di tempat a, b, dan c. Sudut pandang yang dulunya masih terpusat pada diri sendiri, kini mulai lebih terbuka dan sadar bahwa permasalahan itu bukan hanya tentang diri kita sendiri loh. Ada teman kita yang mulai hilang dan tidak pernah datang kuliah, ada masjid di dekat rumah yang kita rasa sepi dan butuh pengurus aktif, atau lingkungan masyarakat yang rasanya perlu disadarkan bahwa mereka memiliki potensi terselubung.

       Tahun ketiga, saatnya untuk sadar bahwa kuliah sebagai S1 kemungkinan besar hanya dialami sekali. So, let's make it all worth it, giving our best in something. Kadang merasa terlalu banyak memberi perhatian pada suatu hal, sampai lupa bahwa kadang diri juga perlu diurus. Kadang sakit, kadang kecewa dengan hasil akademik, kadang ditanya kenapa jarang menghubungi keluarga. Time to lose ourselves in something. Romantika perjuangan yang sesungguhnya. Akademik memuncak, tapi pada saat yang sama, keinginan dan keyakinan untuk take part dalam membuat perubahan menjadi semakin kuat. Di saat ini pula, segala kekurangan dan kekanak-kanakan dalam diri ini semakin menjadi-jadi. Awalnya kebiasaan menunda-nundanya hanya untuk sehari saja, jadi sampai berminggu-minggu untuk sekadar mencuci, atau hal-hal sepele lainnya. Dulu, malas hanya membuat diri terlambat kuliah, tapi di masa ini bahkan berangkat kuliah pun ogah. Tak jarang, diri menjadi linglung, tak yakin apakah yang dipilih sudah merupakan jalan yang tepat? Apakah perjuangan ini worth it? Bermanfaat bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi sesuatu yang lebih berarti.

       Sekarang, sudah tingkat empat. Time flies. Rasanya perihal apa yang telah dilakukan selama ini tak terlalu masalah, tapi yang sekarang menggayut di pikiran adalah pertanyaan di awal tadi. After all this fight, what will happen next? Jalan mana yang akan ditempuh?

Apa jawabannya ?

... (berlanjut di Ada Hati yang Harus Dijaga - part 2)
Share:

Friday 23 June 2017

Oleh-oleh dari Mu

KBBI :
oleh-oleh /oléh-oléh/ n sesuatu yang dibawa dari bepergian; buah tangan:

Mengutip pepatah terkenal,
"Gajah mati meninggalkan gading harimau mati meninggalkan belang."

       Katanya yang pergi pasti akan meninggalkan sesuatu. Entah saat pergi, atau saat pulang. Meski sebenarnya menurutku itu terkait sudut pandang saja. Saat seseorang meninggal, ada yang menyebutnya sebagai "pergi dari dunia", atau "pulang ke alam sana". Ya, hanya tentang sudut pandang saja. Tentunya kita tahu, salah satu kebiasaan yang biasa dilakukan saat seseorang telah pulang, atau dalam sudut pandang lain, baru pergi adalah memberi oleh-oleh.

       Sebentar lagi.. akan ada yang pergi dari keseharian kita. Lalu, apa kita sudah mendapatkan oleh-olehnya? Seperti catatan kemarin pada catatan harian yang biasa kubuat,

"Kesadaran apa yang sudah kita dapatkan, yang akan membedakan kita semenjak kepergiannya hingga datangnya lagi?"

       Apa, apa yang sudah kita sadari? Apakah kita sudah sadar bahwa ada orang yang untuk makan saja sampai sudah melupakan gengsi nya? Berat lho ninggalin gengsi itu. Bayangin kamu pake baju badut, terus nyetel lagu dangdut, di pinggir jalan sampai bikin orang yang ngeliat cuman bisa merengut? Nih orang ngapain. Mungkin kita baru tau jawabannya saat ngeliat kalo di kakinya ada sebuah gelas minum berukuran agak besar, pertanda minta diisi dengan koin. Bayangin kita ngelakuin itu hanya demi sesuap nasi untuk buka, atau sahur, untuk kita atau untuk anak kita. Sedangkan kita.. (isi sendiri)

       Apa yang kita sudah sadari? Apakah kita sudah sadar bahwa hidup ini cuman senda gurau? Bahwa banyak teman-teman kita yang di siang hari nya dia mungkin tertawa bersama kita, tetapi di malam harinya bisa jadi dia menangis sejadi-jadinya di dalam sujudnya maupun bangunnya. Bukan karena ia bermuka dua, kita semua tahu, bukan itu. Teman-teman kita itu, biasanya sudah sadar bahwa hidup ini hanya persinggahan sementara. Jika memang mereka harus ikut tertawa dengan kita yang masih sering lupa, ya tentunya mereka akan ikut tertawa. Tetapi di saat malamnya mereka menjelma menjadi diri mereka yang mereka sangat berharap itu menjadi diri mereka yang sesungguhnya. Seperti kata pepatah, "Siangnya seperti prajurit, malamnya seperti rahib." Siangnya adalah untuk dunia, tetapi malamnya adalah sungguh-sungguh untuk paska dunia.

Apa lagi yang sudah kita sadari? Oh, tidak. Apalagi penyadaran yang sudah (ku)kita dapatkan pada Ramadhan ini?

Akankah penyadaran-penyadaran ini bertahan hingga kita bertemu dengannya lagi? Akankah ia membekas dan memberi makna baru dalam kehidupan kita?

       Atau jangan-jangan, Ramadhan ini hanya merupakan seperti Ramadhan sebelum-sebelumnya, saat kita masih spiritually childish, masih kekanak-kanakan, masih belum ngeh ketika ada yang bilang "pemaknaan hidup", atau "mencapai derajat takwa", atau "menangisi dosa-dosa". Ramadhan yang tidak memberikan kita oleh-oleh, pun kenangan apa-apa.

Allah, adakah oleh-oleh Ramadhan kali ini menjadikan hidup(ku) kita lebih bermakna?
Share: