Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Friday 16 December 2016

Antara Nurani, Kebaikan, dan Syukur

       Semua manusia, terlepas dari latar belakang apapun, dibekali oleh Tuhan sebuah karunia yang mampu menuntunnya untuk menjadi lebih manusiawi. Karunia itu adalah hati nurani. Tetapi, mengapa makin ke sini makin sering muncul pertanyaan, di mana hati nuraninya?

"Antara nurani, dan kejahatan"
       Saat melihat ada orang yang korupsi, atau yang membunuh sanak keluarganya sendiri, atau bahkan, 14 pemuda yang dengan teganya memperkosa seorang wanita berusia 14 tahun, lalu membunuhnya usai terlampiaskan hasrat mereka.  

Tanyaku, di mana hati nurani nya? 
Tanyaku pada kalian, kalian sendiri masih punya hati nurani tidak?
Tanyaku pada diri sendiri, apakah aku masih bisa menjaga hati nuraniku? 

Apa yang sebenarnya terjadi? Who's the one behind the scene, the one that makes people more inhumane -- makin kehilangan hati nurani.

"Antara nurani, dan kebaikan"
       Saat melihat seekor kucing kecil yang mendatangi kita yang sedang makan sambil mengeong pertanda kelaparan, saat melihat wajah teman kita begitu keruh, tak tenang, sedikit-sedikit memegang dahinya pertanda gelisah, saat mata kita tiba-tiba beradu pandang dengan mata pemulung yang sedang membawa karung goninya di tangan kiri, dan besi berbentuk L nya di tangan kanan. Dan, kita tidak melakukan apa-apa. Kita teruskan makan kita, kita terus berangkat kuliah, kita teruskan saja bersikap seolah tidak ada yang salah.

Tanyaku pada diri sendiri, apakah aku sudah melakukan sesuatu di saat-saat seperti itu?
Tanyaku padamu, apa yang kau lakukan saat tidak melakukan apa-apa? Menyesalinya, atau merasa itu memang bukanlah permasalahan apa-apa?
Tanyaku, dimanakah letaknya hati nurani kita?



"Antara nurani, dan syukur"
       Aku bersyukur aku memiliki seorang teman yang banyak memberikanku pelajaran terkait menjaga kebersihan. Ia memiliki kebiasaan memungut sampah yang ia temui di pinggir jalan. Ya, kulihat tidak di semua tempat, tetapi setidaknya jika ia tidak mengambil sampah, ia akan senantiasa mengingatkan temannya jika ada yang membuang sampah sembarangan. Ia suka bercerita,

"Kamu tahu, Haw, rasanya sungguh menyenangkan bisa memungut sampah. Nggak ngerti kan senangnya dimana? Mungkin aku hanya satu di antara ratusan juta penduduk Indonesia, satu di antara belasan ribu mahasiswa ITB, tetapi dengan melakukan ini aku menjadi yakin, bahwa aku adalah salah satu di antara sedikit orang yang sedang membuat perubahan untuk Indonesia. Yaa, seenggaknya Cisitu juga bagian dari Indonesia, kan? Hehe."

Aku takjub.
Sesederhana itu mengubah Indonesia. Tak perlu muluk-muluk membuat sistem persampahan nasional. Sistem daur ulang limbah. Atau apapun yang bisa dikerjakan hanya jika sudah lulus kuliah. Kutanya padanya apa dorongan yang membuatnya konsisten dalam melakukannya, is it worth it?

Jawabnya lagi,

"Kamu juga harus tahu, Haw, (kebiasaanku) ini sangat erat dengan menjaga hati nurani. Ia(hati nuraniku) berkata bahwa tidak benar ada sampah di pinggir jalan. Kuturuti hati nuraniku dan kuambil sampah-sampah tersebut lalu kubuang di tempat sampah yang kulalui kemudian. Aku jadi sadar, saat aku menurutinya dengan langsung, ia(hati nurani) merasa dihargai dan menjadi lebih sering muncul. Ia menjadi hidup dan mewarnai kehidupanku, tidak terbunuh oleh modernisasi ataupun rasa terburu-buru karena aku yang terlalu sibuk. Aku menjadi peka terhadap permasalahan teman, peka terhadap apa yang tidak manusiawi, bahkan terkadang, terhadap apa yang benar dan yang salah. Dan bukan sekadar peka, tetapi aku juga melakukan sesuatu dengan masalah tersebut. Tidak membiarkannya diam begitu saja."

Menarik. Benar-benar menarik.
Boleh jadi itu rumus yang kita cari selama ini. Sepertinya, masalah orang zaman sekarang adalah, pertama, kita semakin kurang mendengarkan apa suara hati kita, misal di saat momen-momen di bagian awal tadi terjadi, kita malah memilih sibuk dengan hal lain seperti gadget. Atau, memilih belajar. Atau tergiur dengan pikiran ini,

"Maaf, nggak ada waktu, dikejar deadline." *kadang aku juga sih ._.v*. 

 Well, masalah kedua udah cukup jelas, boro-boro ngelakuin sesuatu terkait permasalahan yang ditemuin oleh hati nurani kita, mendengarkan suara hati nurani aja enggak.

Jadi, begitu ternyata rumusnya, dengarkan apa kata hati nurani, lakukan sesuatu jika memang kita merasa ia benar, dan lihatlah bahwa ia akan menjadi lebih hidup. Ia akan lebih sering memberikan kita pencerahan, hati yang dituntun oleh nurani dari Tuhan.

"Antara nurani, kebaikan, dan syukur"
       Syukur. Sungguh menakjubkan lagi pembahasan yang satu ini. Saat kutanya padanya, apa dia tidak lelah melihat kotornya daerah yang ia lalui, dan ia yang biasa mengambilnya, apa ia tidak bosan? Apa tidak menyalahkan keadaan? Apa tidak menuntut orang supaya tergerak hati nuraninya untuk turut serta dalam menjaga kebersihan? Apa tidak marah melihat kenyataan?

Apa katanya? 

"Aku bersyukur, Haw. Aku pernah ke kajian di Daarut Tauhid. Disana Aa Gym berpesan terkait syukur dan kebaikan. Waktu itu beliau bertanya pada jama'ah. Kalau kalian bersedekah kepada seorang pengemis, siapa yang seharusnya bersyukur? Kamu pasti berpikir, jelas pengemisnya karena dia yang butuh kan? Kata Aa' bukan. Harusnya kita yang bersyukur. Kita yang digerakkan oleh Tuhan untuk memberi, yang masih diberikan hati nurani, dan diberikan kekuatan untuk mengikuti apa kata hati nurani. Nggak banyak yang diberikan karunia itu. Sama dengan kasusku, aku juga bersyukur karena aku diberikan kesadaran oleh Tuhan untuk menjaga kebersihan. Do'akan istiqomah yah. Dan semoga ada yang mengikuti."

Aamiin.

Dan aku pun mengikutinya. Aku benar-benar kagum dengan prinsip yang ia punya. Buat apa juga seseorang yang melakukan kebaikan merasa tinggi hati, ujub, dengan apa yang kita perbuat. Itu semua adalah karunia dari Tuhan untuk menjaga kita tetap dalam kebaikan. Bersyukur, tidak kufur akan nurani, dan hidayah yang telah Ia berikan pada kita.

"Penutup"
       Pagi ini, seekor kucing tidur dengan posisi menyamping di pinggir jalan. Tampaknya seperti menikmati indahnya pagi. Tapi ada yang aneh. Mulutnya agak terbuka sedikit. Perutnya, ternyata tidak naik turun sama sekali, tak bernafas. Ia sudah mati. Terlindas oleh kendaraan yang memilih untuk hanya meminggirkannya saja.

Jika kita melihatnya, apa yang kita lakukan?

Atau, permasalahan lainnya. Gempa aceh, Aleppo, Rohingnya. Atau permasalahan 'kecil', teman yang sedih dengan hasil ujian, or it could be anything.

Enak ya punya temen kaya Dori,
Atau mungkin, lebih enak lagi kalo bisa jadi temen kaya Dori?

 Selamat menjaga hati nurani, para penjaga hati :)
Share:

Saturday 10 December 2016

Review Novel : Nikah Aja, Yuk!

- Sebelum berkata apa-apa, saya akan nyatakan dengan gamblang di awal: Buku ini bukan tentang menyegerakan menikah, buku ini tentang apa yang harus dilakukan jika kita belum menikah - 

        Kamis sore kemarin saya kebingungan, ada masalah. Setelah berpikir sebentar, kuputuskan untuk coba mencari solusinya di toko buku. Kenapa ke sana? Well, begitulah saya. Sebentar-sebentar tiba-tiba pengen beli buku. Kalau lagi ada masalah besar yang saya nggak ngerti sebenarnya masalah saya apa, biasanya opsi pergi ke toko buku menjadi menarik. Di toko buku saya akan muter-muter, nggak jelas sebenarnya apa yang dicari. Ya itu, saya sendiri nggak ngerti masalah saya apa, cuman berharap aja siapa tahu ada buku di Gra***ia yang seolah-olah mengerti bahwa saya sedang ada masalah, dan buku ini menawarkan solusi. Buku ini, setelah saya ambil di antara tumpukan buku yang lain dan berada dalam genggaman tangan, keinginan untuk memilikinya mendadak meninggi. *I want this book so much, sow much*. Meski tidak lama setelah itu, rasionalisasi datang, lalu saya pun jalan-jalan lagi dan coba mencari buku lain yang mungkin memiliki 'tingkat resonansi' lebih tinggi. Biasanya yang mengerti buku apa yang saya cari itu bukan akal dan rasio saya, tapi hati. Mungkin karena masalah yang saya alami seringnya masalah hati ya? Well, who knows. Untuk kemarin, saya berjumpa dengan dua buku menarik, Your Sin is Not Greater Than God's Mercy milik Nouman Ali Khan dan Nikah aja, Yuk! milik Irma Irawati. Sekarang, saya ingin coba berdiskusi tentang buku yang kedua karena buku itu yang paling cepat saya habiskan, baru Kamis kemarin, tadi siang sudah habis.

Buku ini menarik.

       Saya mengerti bahwa salah satu masalah yang saya hadapi adalah saya ingin mencoba mencari template yang cukup tepat untuk buku yang ingin saya buat. Saya mencari buku tentang hijrah cinta, novel lebih tepatnya. Because to me, novel is a friend, while non-novel is (often) a teacher. And I'd prefer a friend than a teacher at the moment. Awal melihat, saya khawatir isinya hanyalah lompatan-lompatan bahasan tentang jangan pacaran, lalu bagaimana menjaga hati, dalil-dalil, teoretis lah kalau bahasa teman saya. Padahal, bukan guru pendikte yang sedang saya butuhkan. Soalnya di buku-buku lain di sana, rata-rata settingnya begitu, bosen :d. Tapi.. buku ini beda. This book tells me stories. *I love stories* Akhirnya setelah kubanding-bandingkan, sepertinya buku ini memang outstanding buat saya jadikan referensi dibandingkan buku yang lain, harganya pun terjangkau (<40 rb). Jadi deh dibeli.

       Tentang isinya, ceritanya tentang bagaimana seorang kakak menjaga adik nya yang sedang mengalami masa remaja. Lucu sebetulnya. Idenya keren. Gue suka banget sih. Apapun, walaupun isinya ada yang mungkin sebagian menganggap picisan, tapi buat aku yang punya (pengalaman) jadi mau ga mau tertarik haha. Ooh, ternyata gitu. Macem gitulah rasanya waktu baca.

       Kalau di buku yang kusuka sebelumnya, Puisi Hati, ada seorang tokoh yang begitu menarik kepribadiannya karena penggambaran fisiknya yang sederhana(tidak digambarkan cantiknya bagaimana, hanya tentang bermata teduh saja sebetulnya). Di buku ini, ada tokoh yang lebih dari sekadar menarik, tetapi sampai sukses membuatku merasakan rasa ketidakpantasan, apa ya, rendahnya diri ini dibandingkan tokoh tersebut. Beliau dalam menjaga diri dan hatinya sangat subhanallah. Berikut salah satu nasihat yang ia berikan kepada adik kecilnya,

"Diri ini ibaratnya lubang kunci dan jodoh kita ibarat kuncinya. Daripada sibuk mencari-cari kunci yang tepat, lebih baik fokus membersihkan karat dan cacat di dalam diri. Memperindah kepribadian."

       Bukan hanya frasa itu indah didengar, tetapi sangat terasa tinggi, mulia. Sedangkan diri ini? Untuk berbenah diri saja rasanya seringkali masih setengah-setengah. Kalau udah capek, lelah, balik lagi buang-buang waktu, lupa jaga pandangan, macem-macem. Sedangkan tokoh itu? Bayangin coba, anak kuliahan, sudah mencari makna frasa 'Cinta kepada Allah'. Gimana supaya cinta yang paling utama kepada Allah dulu baru sama sesama manusia. Kalo gue, udah sampe mana? Rasanya diri ini malu masih berani berbicara tentang buru-buru menikah. Padahal, mungkin mirip dengan apa yang umi bilang, menikah itu gerbang penderitaan *kalau ga siap kali yak*. Tapi ya gitulah, intinya mah dari buku itu, aku jadi mikir, aku udah nyiapin apa berani mikir nikah? Tiba-tiba jadi pengen ndekem di pondokan, membersihkan diri dari kotoran-kotoran diri :(. Mau ngomong ape ane ke calon bini kalo ane bilang ane punya aib? Ga jadi nikah? Emang ga pantes lah kalo gitu mah.
Eh, sori jadi ngomong sendiri.

       Yah, begitulah. Buku ini mengajarkanku tentang keberadaan sosok ideal yang sebaiknya kita contoh tentang bagaimana usahanya untuk tetap menjaga dan membersihkan diri ini dari dosa, bahkan dari celah untuk melakukan dosa sekalipun.

Awalnya waktu kuliatin ke temen, pada nolak gitu.
Waktu kukasih tau isinya, langsung pada minat wkwkwk

Simpulan : Top Markotop.

*lirik lagu* Diri ini penuh dosa, kuharapkan ampunan dari diri-Mu. Bersihkan diri dari debu dan noda. Padamu, kuserahkan jiwa, kuserahkan jiwaku.

P.S. : Sulit dibahasakan dengan kata-kata gimana rasa malu nya diri ini saat membaca semangat membina diri yang dimiliki oleh tokoh di dalam cerita. :"(
Share: