.. continued from “Nggak Bisa” — part 1
Kesadaran akan hal-hal tersebut telah membuat aku bisa melihat secara lebih jelas kejadian-kejadian terkait hal ini dalam diri sendiri, maupun orang lain. Hal ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi seseorang yang berusaha untuk menjadi seorang idealist but realistic person, termasuk aku.
Kesadaran akan hal-hal tersebut telah membuat aku bisa melihat secara lebih jelas kejadian-kejadian terkait hal ini dalam diri sendiri, maupun orang lain. Hal ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi seseorang yang berusaha untuk menjadi seorang idealist but realistic person, termasuk aku.
"Is it possible to become a person like that? How’s that possible?"
Well, before we go further into how we can become an idealist but still realistic person, I think I'll try to tell you a stories of my life about one of my always-kept-idealism.
Aku terlahir dalam keluarga Muslim yang sangat perhatian dengan pendidikan agama. Hal ini ditunjukkan salah satunya lewat dimasukkannya aku dan kakakku ke sebuah pondok yang berjarak sekitar 1 hari naik bus antarkota. Pondok ini banyak memberikan kesan yang luar biasa. Maklum, tempatnya ndeso juga sih, beda sama kota asal hehe. Tapi, gak semua tentang desa saja yang berkesan sih, hal-hal lain selain itu juga ada yang berkesan. Salah satunya tentang tradisi pondok terkait penjagaan jarak dan komunikasi antara santri dan santri putri.
Pertama, bangunan dan tempat shalat untuk santri putra berbeda dengan untuk santri putri. Jaraknya sekitar 100 m. Jarak ini membuat sangat jarang terjadi kasus dimana kami bisa bertemu dan bercengkerama di luar kegiatan sekolah atau acara-acara gabungan, seperti misal bermain bareng atau ngobrol-ngobrol. Yang laki-laki mainnya dengan sesama ngelakuin sesuatu yang sometimes pretty adventurous, like throwing cutter to a banana tree, making bows and becoming an archer, and some other cool experiments :). Meski biasanya kami santri kalau mau main ayun-ayunan juga ke daerah depan dari tempat santri putri sih(aku inget soalnya pernah ada kejadian menarik di sana). Sedangkan yang santri putri, ya gatau.
Entah rasanya sudah menjadi tradisi turun temurun atau gimana, tapi suasana 'permusuhan' antara santri putra dan putri di pondok kami itu sangat terasa. Ini memuncak saat sekitar kami berada di kelas 4. Biasanya kalau lagi sekolah, kami berada pada satu kelas, biasanya nanti santri putra di satu sisi dan santri putri di sisi lain. Awalnya hari-hari berjalan seperti biasa, sampai suatu ketika karena perseteruan kecil yang makin lama makin memuncak, santri putri berbuat tidak menyenangkan -_-. Saat itu sedang waktu istirahat, tiba-tiba kelas ditutup oleh santri putri karena mereka tidak senang dengan kehadiran kami, which is.. annoying -_- . Waktu itu kami tidak terima, kami meminta kelas dibuka, untung dibuka. Usai itu, kami pun merencanakan pembalasan.
Sepulang sekolah kami pun berkumpul dan mencari ide, sampai akhirnya diputuskan agar kami mempelajari sebuah sandi (yang gak tau dapetnya dari mana) untuk menyerang santri putri. Tentu, kode-kode itu hanya santri putra yang tahu. Esoknya saat kelas, kami membuka salinan huruf dan kode yang tersedia pada sebuah kertas. Dari sana, kami buat kalimat-kalimat yang bersifat menyerang pada secarik kertas(yang tentunya tidak akan pernah diketahui oleh santri putri apa maksudnya). Kata-kata macam apa ya, aku lupa sih, tapi kayanya sih ngejek gitu. Lalu, kami lipat kertasnya dan kami lempar ke para santri putri. Sampai puncaknya, ternyata mereka mengunci kami lagi saat istirahat .. -_-. Kami pun menyerang tanpa ampun. Lewat jendela, lewat bawah pintu, kertas-kertas beterbangan. 'Peperangan' asik dan seru itu berlangsung beberapa kali. Sampai seingetku akhirnya guru pun turun tangan dan menenangkan. Phew.
Seusai peperangan itu, ternyata ketegangan tidak menurun. Saking tegangnya, rasanya jika dalam satu ruangan ada banyak santri putri hanya ada 1 santri putra, sudah jelas. Akan muncul 'tenaga gaib' ketidaknyamanan suasana yang akan membuat santri putra ini tidak tahan di kelas hingga akhirnya memilih untuk hengkang dari kelas, atau sebaliknya. Jadi, mulai dari sekadar berada dengan lawan jenis dalam satu ruangan, apalagi sampai berdekat-dekatan, itu sudah sangat terkondisikan dalam pesantrenku. Semenjak itu pula, dalam diriku mulai muncul sebuah bibit penjagaan jarak dengan lawan jenis.
Aku terlahir dalam keluarga Muslim yang sangat perhatian dengan pendidikan agama. Hal ini ditunjukkan salah satunya lewat dimasukkannya aku dan kakakku ke sebuah pondok yang berjarak sekitar 1 hari naik bus antarkota. Pondok ini banyak memberikan kesan yang luar biasa. Maklum, tempatnya ndeso juga sih, beda sama kota asal hehe. Tapi, gak semua tentang desa saja yang berkesan sih, hal-hal lain selain itu juga ada yang berkesan. Salah satunya tentang tradisi pondok terkait penjagaan jarak dan komunikasi antara santri dan santri putri.
Pertama, bangunan dan tempat shalat untuk santri putra berbeda dengan untuk santri putri. Jaraknya sekitar 100 m. Jarak ini membuat sangat jarang terjadi kasus dimana kami bisa bertemu dan bercengkerama di luar kegiatan sekolah atau acara-acara gabungan, seperti misal bermain bareng atau ngobrol-ngobrol. Yang laki-laki mainnya dengan sesama ngelakuin sesuatu yang sometimes pretty adventurous, like throwing cutter to a banana tree, making bows and becoming an archer, and some other cool experiments :). Meski biasanya kami santri kalau mau main ayun-ayunan juga ke daerah depan dari tempat santri putri sih(aku inget soalnya pernah ada kejadian menarik di sana). Sedangkan yang santri putri, ya gatau.
Entah rasanya sudah menjadi tradisi turun temurun atau gimana, tapi suasana 'permusuhan' antara santri putra dan putri di pondok kami itu sangat terasa. Ini memuncak saat sekitar kami berada di kelas 4. Biasanya kalau lagi sekolah, kami berada pada satu kelas, biasanya nanti santri putra di satu sisi dan santri putri di sisi lain. Awalnya hari-hari berjalan seperti biasa, sampai suatu ketika karena perseteruan kecil yang makin lama makin memuncak, santri putri berbuat tidak menyenangkan -_-. Saat itu sedang waktu istirahat, tiba-tiba kelas ditutup oleh santri putri karena mereka tidak senang dengan kehadiran kami, which is.. annoying -_- . Waktu itu kami tidak terima, kami meminta kelas dibuka, untung dibuka. Usai itu, kami pun merencanakan pembalasan.
Sepulang sekolah kami pun berkumpul dan mencari ide, sampai akhirnya diputuskan agar kami mempelajari sebuah sandi (yang gak tau dapetnya dari mana) untuk menyerang santri putri. Tentu, kode-kode itu hanya santri putra yang tahu. Esoknya saat kelas, kami membuka salinan huruf dan kode yang tersedia pada sebuah kertas. Dari sana, kami buat kalimat-kalimat yang bersifat menyerang pada secarik kertas(yang tentunya tidak akan pernah diketahui oleh santri putri apa maksudnya). Kata-kata macam apa ya, aku lupa sih, tapi kayanya sih ngejek gitu. Lalu, kami lipat kertasnya dan kami lempar ke para santri putri. Sampai puncaknya, ternyata mereka mengunci kami lagi saat istirahat .. -_-. Kami pun menyerang tanpa ampun. Lewat jendela, lewat bawah pintu, kertas-kertas beterbangan. 'Peperangan' asik dan seru itu berlangsung beberapa kali. Sampai seingetku akhirnya guru pun turun tangan dan menenangkan. Phew.
Seusai peperangan itu, ternyata ketegangan tidak menurun. Saking tegangnya, rasanya jika dalam satu ruangan ada banyak santri putri hanya ada 1 santri putra, sudah jelas. Akan muncul 'tenaga gaib' ketidaknyamanan suasana yang akan membuat santri putra ini tidak tahan di kelas hingga akhirnya memilih untuk hengkang dari kelas, atau sebaliknya. Jadi, mulai dari sekadar berada dengan lawan jenis dalam satu ruangan, apalagi sampai berdekat-dekatan, itu sudah sangat terkondisikan dalam pesantrenku. Semenjak itu pula, dalam diriku mulai muncul sebuah bibit penjagaan jarak dengan lawan jenis.
.. continued in “Nggak Bisa” — part 2.2
0 komentar:
Post a Comment