Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Saturday 28 January 2017

Hijrahku, Maharku - part 2


https://supramistik.files.wordpress.com/2012/07/masjid-kubah-emas-depok_01bayugmurti1.jpg
- - - - - - - - - - - - - -

       Salah satu titik perubahan penting dalam perjalanan hijrahnya adalah momen-momen bulan Ramadhan. Baginya, bulan ini spesial. Bulan ini adalah saat dimana ia membuat kejaran-kejaran terkait hijrahnya. Target yang selalu ia canangkan adalah,

" Membuat notulensi x/30 kajian tarawih yang kuikuti. "

       Rasanya sangat berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Yah, rasanya ia tak pernah melihat ada seseorang yang mencatat hikmah kajian tarawih pada masjid yang sama dengannya. Mungkin orang lain membuat kejaran ingin tilawah 2x khatam, atau 3x. Kalau dirinya tidak. Dia hanya berharap bahwa semua ilmu yang ia terima dalam satu bulan penuh bulan Ramadhan ini bisa terserap dengan baik dan bisa ia putar ulang lagi di masa depan saat ia membutuhkan ilmu dan sentuhan Islam.

       Dalam salah satu kajian itu, ia ingat pernah mencatat pesan penting seorang penceramah. Tentang parameter kesuksesan bulan Ramadhan. Beliau berpesan bahwa salah jika kita mengira bahwa bisa khatam Qur'an selama bulan Ramadhan berkali-bali, menambah hafalan sekian juz, jadi rajin ke masjid, shalat qiyamul layl rutin, semua amalan itu saja yang menjadi penanda kesuksesan seseorang dalam bulan Ramadhan. Bukan itu saja. Sesungguhnya, Allah lebih mencintai amalan hambanya yang sedikit, tetapi istiqomah. Amalan yang meskipun hanya khatam 1x saja, tapi itu bisa ia pertahankan hingga bulan Syawal, bahkan bulan-bulan setelahnya hingga Ramadhan menjemput kembali.

       Saking seringnya mendengar pembahasan tentang taqwa, ia jadi hapal di luar kepala definisinya. Dari sanalah, ia mulai menurunkan kejaran-kejaran amalan bulan Ramadhannya, plus dari rasa penyesalan dan dorongan perubahan dalam dirinya. Ia paham, bahwa taqwa bukan hanya tentang memperbanyak amalan shaleh, tetapi juga tentang mengurangi perbuatan yang membawa pada kerusakan. Maka, dimulai dari bulan Ramadhan itulah, ia mulai berhenti berkata kotor, memaki-maki orang, mengorbankan alunan lagu yang ia sukai demi memperbanyak tilawah dan hafalan. Rasanya lucu, mengingat pada beberapa Ramadhan sebelumnya, sebelum ia mendapat hidayah dari-Nya, sering ia pamit kepada orang tua nya hendak itikaf di masjid. Padahal, ketika waktu paket jam malam dari warnet langganannya telah dimulai, yakni pukul 21.00, ia segera menyudahi tilawah dan itikaf -nya dan bersegera mengubah lokasi 'itikaf ' dan aktivitas nya(baca: main game) hingga pagi menjelang, tentunya tak lupa sahur juga. Rasanya jahiliyah sekali. Dari dulunya yang seperti itu, sekarang ia sudah lebih mampu untuk menerapkan definisi taqwa. Memang, hidayah ada di tangan Allah.

       Pada Ramadhan selanjutnya, ia sudah lebih dewasa. ..

- - - - - - - - - - - - - -

Berlanjut di : Hijrahku, Maharku - part 3
Share:

Wednesday 25 January 2017

Hijrahku, Maharku

       There is this phrase that somehow I stumbled upon recently. It felt intriguing to me, so I think I'd like to share it with you here. Frasa ini entah kutemukan pada buku nikah kelas tinggi tentang kepantasan diri saat membaca buku-buku bukaan yang ada di Gramedia beberapa hari lalu, entah di blog saat blogwalking. Ceritanya begini:

Seorang lelaki melamar seorang perempuan baik-baik(bahasa lainnya : sholehah) dengan berkata,

"Kurasa, maharku untukmu, adalah semua usaha perubahan kebaikan yang telah kulakukan untuk memantaskan diri ini untukmu. Apakah itu cukup?"

Dan sang perempuan menjawab,

----

Yak! Jawaban sang perempuan tidak menjadi bahasan sama sekali ya, mohon maaf jika telah membuat Anda kecewa. Yang kubahas adalah pernyataan sang lelaki ini.

       Tersebutlah seorang ikhwan, lelaki, yang dahulu bukanlah orang baik-baik. Lalu, ia masuk ke dalam sebuah organisasi, gerakan berbasis Islam. Disana, ia berkenalan dengan banyak sekali 'kasta' orang. Mulai dari teman seangkatan, adik angkatan yang cenderung lebih culun 'lucu', pendahulu dakwah yang sudah kelihatan subhanallah nya. Ia melihat bahwa ternyata di zaman sekarang ini, jumlah lelaki baik itu tidaklah banyak. Ia mendengar beberapa komplain melalui murobbi nya bahwa akhwat zaman sekarang banyak yang terpaksa menurunkan standar karena memang di lingkungan tempat ia berada tidak ada suplai lelaki baik-baik. Kalau mau yang rajin ke masjid, yang ngerokok baru ada. Mau yang biasa jenguk tetangga, sopan, dan santun, eh udah ga pernah ke masjid. Susah kan.

       Pada suatu titik dalam hidupnya, dibarengi dengan kesadaran akan kelangkaan lelaki baik-baik itu, ia juga sadar bahwa ia sangat jauh dari kata 'baik' itu. Setidaknya, ia sadar bahwa di hadapan Tuhannya, dia terlalu banyak menyimpan dosa. Kebohongan-kebohongan itu yang ia gunakan untuk menutupi aib dalam dirinya rasanya sudah menggerogoti hati nuraninya terlalu dalam. Ia tak sanggup membohongi kenyataan. Bagaimana nanti di masa depan? Ia terpekur. Rasanya jika ingin selamat dalam mengarungi dunia pekerjaan yang lebih berat, ia takkan sanggup jika juga harus membina pendamping hidupnya. Padahal, justru ia yang perlu dibina. Ia tak ingin dituntut oleh anak istrinya yang (naudzubillah) masuk neraka karena kekurangmampuan dirinya dalam membina mereka. Saat itulah ia sadar bahwa ia butuh pendamping yang baik.

       Dalam masa pemikirannya itu, ia ingat akan salah satu ceramah yang ia dengar terkait konsep pernikahan dalam Islam. Konsep 'se-kufu',  atau biasa diartikan se-level/se-tingkat. Hindari menikah sama orang yang belum setingkat sama kita secara agama, pemikiran, dll. Kalau ingin mendapatkan pasangan yang seperti itu, ya kita maksimalkan mendekati level seperti itu *kalau merasa kurang ganteng atau cantik, ya mbok diusahakan ke sana, terus banyak do'a sama Allah semoga diberikan kegantengan ataupun kecantikan itu, seenggaknya kalau gak fisik ya hati kita*. Salah satunya karena asbab 'sebab' ini, dia memutuskan untuk berubah, untuk memperbaiki diri, mengurangi kebiasaan buruk, dan meningkatkan kebiasaan baik. Be it his gaming habit, inappropriate internet consumption, etc. Ia coba tinggalkan itu semua, demi memantaskan diri. Di saat ia sudah merasa cukup baik, saat itulah ia melamar sang perempuan yang telah lama ia jadikan alasan untuk memperbaiki diri. Meski ia sebetulnya ia tak tahu siapa nama yang tertera di lauh mahfudz, tetapi ia hanya tahu bahwa ia harus memilih perempuan baik.


-- Continued in Hijrahku, Maharku part 2
Share:

Monday 16 January 2017

Tidak Nafsu Makan

Today has been my 17th day since my last relapse. It was a slugfest. 

Pertarungan yang penuh lumpur dan kotoran. Udah beberapa kali aku ga kuat dengan beratnya beban dalam diri. Beberapa hari yang lalu, mirip kaya pernah terjadi dulu, aku kehilangan nafsu makan. Hampir 24 jam penuh aku tidak makan berat, hanya kacang ijo, minuman, dll. Rasanya, untuk apa makan? Entah.

Untung, pada sore kemarin aku duduk dengan temanku. Saat itu aku sedang duduk dengannya dalam satu meja makan, dengan makanan yang sudah terhidang di depanku. Tinggal makan, tetapi beratnya masyaAllah. Lalu, aku bercerita padanya tentang nafsu makanku yang menghilang, rasa malas yang amat sangat itu. Dia pun berkomentar,

"Ojok Haw, engkok pingsan lho."
--
"Jangan Haw, nanti pingsan lho."

Dengan terseok-seok, dengan ogah-ogahan, akhirnya kumakan makanan berat pertama yang kumakan sejak 1 hari sebelumnya. Rasanya, biasa saja, hambar -..-. Tapi, somehow, kekhawatiran sederhana itu bisa menjadi antidote 'penyembuh' yang ampuh bagi hilangnya nafsu makanku.

Humm, thanks brow!
Share:

Thursday 12 January 2017

Willl Work Hard Beats The Impossible ?

So, have you ever been in your life, coming face to face with a condition where you are given a very challenging task? 

With a very great risk. Very little chance of success. 

And then, there you are,

Crying.

You're afraid that your hard work won't work.

. .

That what you will do, won't give any difference in outcomes.

You are so overwhelmed by the thoughts of having to make sure everything go well.

Then you remember who you were.

All you've been through, all the failure you've ever made.

Felt like a screen has been put in front of you and you watched them all.

Time tickles, and that question comes,

Can. tick.

you. tock

?

You felt powerless, you ask power from your God, from Allah.

You hope so much that He will cleanse that fear, that doubts, all from your hearts.

Aameen.

But still, you're afraid, the past mistakes and the past sins that you've ever made are gonna go back.

Crushing you.

Punch you in the stomach, then let you get back up.

Only to punch you back, even harder.

Blood flows from your mouth.

You look around. . . where is everyone?

Felt like it's pitch black, the darkness that surrounds you.

Still, you're looking for a light, a ray of hope.

A door to get out of this rooms full of aromas of self-loathe, self-curse.

There are only 3 people in the room.

You. Your beater. Your seducer.

Your seducer seduce you, you follow it.

Then the beater punches you back to make you realize that you are not supposed to be in this room.

It was there to make you realize that you're afraid of it, of being beaten.

Making you wanting to get out of the room quick.

And you comes back to your reality.

With this analogous imagination of your own life in your mind following you all around

. . .

You. Yes you. Are asked to do, to take these great risks, to push you to take a leap of faith.

Now, you faced doubts.

Your second boss monster has already been waiting for you.

Negotiating you to come back and not take that path.

Will you insist to go on? Haw?

- - -

O Allah, help me.
Share:

Sunday 1 January 2017

Apa yang Kalian Takuti?

Kalian pernah merasa takut?

...

Menurut kalian, ketakutan apakah yang paling menakutkan?

Apakah itu tentang dunia di luar kalian? Atau, kalian lebih takut pada imajinasi kalian?

Pada kelemahan kalian, pada bara lava di dalam diri kalian yang selama ini belum pernah memiliki kesempatan untuk keluar. Takut jika ia keluar maka ia tak akan bisa tertahankan.

Ketakutan terbesar apa yang kalian miliki?

Orang tua kalian yang tidak akan mengizinkan kalian melakukan ini dan itu, teman-teman kalian yang tampaknya membicarakan kalian di belakang kalian, menunggu dari balik selimut untuk menikam dengan pisau paling tajam dan dengan langkah paling tanpa pertanda, atau, senyuman kecil yang masih saja diberikan oleh orang terdekat kita yang sedang mengalami sakit keras. Takut bahwa mungkin ternyata segala apa yang tampak di hadapan kalian hanyalah sementara. Bahwa semuanya akan berubah, segera atau tidak, tapi ia akan berubah

Pernahkah kalian takut, begitu takut?

Takut pada Tuhan, mungkin?

Saking takutnya kalian sampai tak tahu siapa di antara diri kalian yang sebenarnya takut, apakah itu diri kalian, atau, siapa? Ku tak tahu.

Karena tampaknya pada saat lain kadang ketakutan itu tidak lagi terasa.

Jadi, seberapa besar ketakutan kalian?

...

Dari dulu, hidup dalam ketakutan dan kekalutan.

Kalian tahu salah satu tulisan yang paling kusuka?

"Orang-orang yang Berlari."

Because it defines so many things, it tells me a story, a whole lots of story. Not just about the characters inside that story, but I believe, this story takes the heart and soul of so many people in this world. The people who run. 

From fear, from anger, from revenge, from self-pity, from sadness, from failure, from a broken relationship, from boredom, from reality.

Cerita ini menceritakan kepadaku bahwa sekian puluh persen (pengalaman dan instingku mengatakan mungkin sekitar 30-80%) dari manusia hidup dalam bayang-bayang akan sesuatu. Terus berusaha menjauh darinya.

Seperti tulisanku pada Maybe.

Sisanya, hanya sedikit orang yang benar-benar tenang menjalani hidup, setenang air yang mengalir.

Yang lainnya?

People like me, or maybe like you. Or if it isn't you, maybe it's your parent, your close friend, your brother, sister, or maybe your grandpa who's gone through war.

Orang-orang yang sibuk untuk mencari kesibukan. Mereka-mereka yang sibuk untuk berusaha melupakan. 

Tahukah kalian rasanya?

Takut. Takut. Takut.

Jujur, aku ingin belajar cinta.

Mencintai segala ketakutan itu, memeluknya erat dan berkata pada diri sendiri,

Tidak apa-apa, mereka tidak akan menggigitmu lebih kuat dari dirimu, Nak. Kamu masih akan terus bangkit lagi, berjuang lagi, terus mencari cinta. Mencari cinta agar kau mampu memberikan semua ketakutanmu rasa bahwa mereka dicintai.

Agar pada akhirnya, rasa takut itu akan lelah karena ia merasa tidak mampu untuk mengubahmu lagi.

Bahwa keberadaannya tidak lagi membuatmu takut, tapi kau malah akan memberikan ia penerimaan, dengan didasari kesadaran, bahwa memang kita manusia.

Sudah sepantasnya kita takut pada Tuhan, pada kemungkinan bahwa diri kita tak akan mampu untuk langsung menerima takdir yang telah Ia tetapkan untuk kita.

Teruslah berharap. Lantunkan do'a :"

Jujur, aku takut.

Akankah aku menemukan cinta yang bisa membuatku mendekap ketakutanku dengan hangat?

Akankah cintaku berlabuh pada-Nya sebelum ia berlabuh pada selain-Nya?

Aku takut bila jawabannya adalah,

tidak.

Naudzubillah.

Share: