Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Tuesday 22 May 2018

Target Bikin Buku Terdekat : Hijrah Sarungers

Hijrah Sarungers

-----

Because Hijrah Hijabers is too mainstream.

Tunggu yaa!

Doakan bisa segera mulai penyusunan hehe
Share:

Wednesday 16 May 2018

Sekolah Melupakan #4 : Mendebat Rindu

       Kadang rindu, yang lahir dari rahim cinta, muncul dengan sangat kuat. Ia membuatku terkadang merasa menjadi manusia yang sangat lemah dibandingkan Sang Pemberi Rasa. Rindu datang dengan membawa sekumpulan tuntutan dan menawarkan jaminan bahwa jika dipenuhi, seolah aku akan bahagia. Seolah memang benar ini cinta bukan sekadar dinda. Seolah ia bisa membuatku melupakan amanah, melupakan semua pikiran lain dan hanya terfokus pada rasa yang sedang membuncah.

       Padahal, semestinya tidak perlu begitu. Aku perlu terus dan terus belajar bahwa tidak ada cinta sejati kepada sesama manusia selain cinta selepas ijab kabul diucapkan. Aku belajar ini dari satu tokoh yang menjadi banyak inspirasi buatku mulai dari perihal kesholehan ibadah, akhlak, sampai perihal cinta. Dia adalah Fahri Abdullah dari novel Ayat-ayat Cinta. Dalam AAC 1, Fahri sempat mendapatkan surat cinta dari Nurul sesaat setelah dia sudah menikah dengan Aisha. Nurul ini temannya sesama dari Indonesia dan sama-sama termasuk kuat dalam belajar agama juga(dan seingetku sempat bikin Fahri galau juga).

Isi surat Nurul, 

“Kak Fahri,
Sungguh aku maaf sampai hati menulis surat ini. Namun jika tidak maka aku akan semakin menyesal dan menyesal. Bagi seorang perempuan, jika ia telah mencintai seorang pria, maka pria itu adalah segalanya. Susah melupakan cinta pertama apalagi yang telah menyumsum dalam tulangnya. Dan cintaku kepadamu seperti itu adanya, telah mendarah daging dan menyumsum dalam diriku. Jika masih ada kesempatan, mohon bukakanlah untukku untuk sedikit menghirup manisnya hidup bersamamu. Aku tak ingin melanggar syariat. Aku ingin yang seiring dengan syariat.”Surat ini beliau balas sama pendeknya dengan mutiara kata-kata yang masih terus aku coba pahami dan pelajari,

“Nurul,
Cinta sejati dua insan berbeda jenis adalah cinta yang terjalin setelah akad nikah. Yaitu cinta kita pada pasangan hidup kita yang sah. Cinta sebelum menikah adalah cinta semu yang tidak perlu disakralkan dan diagung-agungkan.

Nurul,
Dunia tidak selebar daun anggur. Masih ada jutaan orang saleh di dunia ini yang belum menikah. Pilihlah salah satu, menikahlah dengan dia dan kau akan mendapatkan cinta yang lebih indah dari yang pernah kau rasakan.”
 
       Sebagian orang bilang bahwa menikah itu butuh cinta. Sebagian lagi bilang bahwa cinta bisa ditumbuhkan setelah menikah saja. Yang mana yang benar? Ku tak tahu. Aku sedang tidak mengajak diskusi tentang cinta setelah menikah, tetapi sebelumnya.

       Yang jelas adalah bahwa cinta sebelum menikah itu bukan benar-benar cinta. Bahwa rindu sebelum menikah itu adalah godaan syaithan. Bahkan setelah menikah sekalipun, rindu dan cinta pada yang bukan pada orang yang seharusnya juga merupakan godaan syaithan. Godaan yang sangat kuat.

       Bismillah. Mari berdoa semoga kita yang mungkin sedang dilanda rindu mendapatkan kesabaran yang sedang sangat kita butuhkan. Semoga cinta dan rindu kita kepada-Nya sudah sempurna sebelum kita bertemu dengan manusia yang kita cinta. Cukup sempurna untuk tidak membuat kita lupa diri bahwa cinta yang kita miliki untuk sesama juga datang dari-Nya. Cukup sempurna untuk membuat kita kita mesti terus mensyukuri rasa yang dititipkan kepada kita dengan lebih dan terus berusaha mendekat pada-Nya.

Aamiin.
Share:

Tuesday 1 May 2018

Sekolah Melupakan #3 : Transisi Cinta Menjadi Dinda

Dulu, aku termasuk orang yang suka dengan lagu-lagu terkait cinta. Masa-masa dimana cintaku masih lemah dan jauh dari kata dewasa. Dimana cintaku masih jauh dari mengenali Yang Maha Cinta, Allah.

Dulu, aku adalah seorang kritikus kutipan-kutipan cinta dan relationship. Saat itu, yang kulakukan adalah aku mencoba menabrakkan antara apa yang ada dalam quotes dengan realita serta apa yang saat itu kuhadapi. Ya, memang.

Dulu aku pernah mencoba untuk belajar menerapkan salah satu bentuk cinta pada seorang teman. Bentuk cinta yang kumaksud adalah kepedulian. Bertanya kabar, mengirimkan do'a, memberi tanpa minta kembali, berharap yang terbaik baginya. Aku belajar tentang sesuatu yang dulu kuketahui sebagai cinta.

Itu dulu.

Sampai kemudian aku belajar tentang cinta pada sesuatu yang bukan manusia, bukan makhluk. Cinta pada Tuhan yang mem-fuse, memasukkan cinta ke dalam hati seorang manusia, sekaligus juga bisa mengeluarkannya. Dia yang membolak-balikkan hatiku, dia, kita, semua manusia, ciptaan-Nya.

Setelah itu aku mulai belajar bahwa banyak lagu yang kudengar terkait cinta, sebagian besar banyak yang meninggikan cinta pada manusia di atas cinta pada Tuhan. Which some people warned to me to be aware that some lyric in those songs may be another form of syirik or at least, a lie.

Ya, betul. Saat mengatakan kau adalah darahku. Tidak juga. Saat mengatakan kau adalah segalanya bagiku. Nah, terus posisi Tuhan dimana? Saat mengatakan I can't live without you. Gabungan dari yang tadi, sudah bohong, terus seharusnya kita teh ngomong gitu pada Allah, bukan pada manusia.

Jadi, aku memutuskan untuk menggunakan kata dinda. Dinda is like a crush. Gebetan. Atau kecengan. Pertama jelas, bahwa Dinda itu pastilah terkait dengan rasa suka pada manusia. Tidak terkait dengan rasa ingin memiliki, rasa butuh berlebih, atau kegilaan-kegilaan lain yang mungkin diasosiasikan dengan kata cinta. Jadi, tidak berbohong. It's just like, not love.

Kedua, dengan membiasakan menggunakan kata dinda, aku mulai belajar bahwa dinda bisa berubah-ubah. Rasa suka bisa berganti menjadi biasa saja. What you like today may be not the one you like tomorrow.

Dengan menggunakan kata dinda, aku belajar bahwa cinta itu bukan sembarang frasa. Di baliknya ada kepedulian, rasa sayang, yang semuanya diatas sebuah komitmen dan tanggung jawab. Jadi bukan sekadar sayang-sayang sembarangan, tapi harus berani untuk konsisten, walaupun mungkin sudah bosan, sudah tidak suka. Harus tetap komitmen untuk terus menumbuhkembangkan cinta dan apa yang ingin dicapai bersama dengan cinta, termasuk bersama dalam mengejar cinta-Nya.

Banyak sekali pelajaran yang aku dapatkan dari memberikan pembatas yang jelas antara cinta dengan dinda.

Nyata, itu membuatku lebih mudah untuk bisa melupakan seseorang yang butuh kulupakan. Aku sadar, bahwa dia bukan segalanya. Ini, hanyalah sebuah rasa yang hinggap sementara dan mungkin esok jua tak kan kembali berkunjung.

Jangan pula terlena dengan apa yang ada di lagu dan novel roman picisan yang seolah memosisikan cinta sebagai sebuah rasa yang menjadi tokoh utama. Seolah-olah cinta adalah segalanya. Mampu mengubah persepsi, pandangan, bahkan keyakinan. Salah dibenarkan. Buruk dibaikkan.

Semoga kita tidak sampai tercebur ke sana yah :)

Mungkin, di akhir ini aku ingin menutup dengan sebuah lagu yang dulu suka kudendangkan,

Terlanjur mendindai dirimu,
terlambat bagiku, pergi darimu.

PS : Tenang, Haw. Dinda itu bisa datang dan pergi. Ikut kata ibu aja, namanya ada di sana di Lauh Mahfudz. Tenang, sabar, fokus berbuat kebaikan. Semangat :)
Share: