Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Friday 29 April 2016

Cinta 3 Benua : Ketakutan yang kutaktahu kenapa

Bahan covernya bagus (?)
Malam kawans,
Kali ini, biarkan ku bercerita padamu tentang sebuah novel yang baru saya baca 1/5 bagian nya saja, bapernya sudah setengah hidup, rasanya kayak kadang melayang-layang, terus bingung, wah ada suatu emosi nakal yang mengusik masuk dalam benak saya. Yang sayangnya, sampai sekarang saya masih belum benar-benar tahu itu emosi apa. Saya kira, itu ketakutan.  ... Ya, ketakutan,

Judul buku ini adalah Cinta 3 Benua karya Faris BQ dan Astrid Tito. Di samping itu gambarnya.

Dari awal membaca buku ini, ya tipikal buku bagus lah ya, aku sudah bisa membayangkan dengan cukup detail setiap setting dari suatu peristiwa, setiap kata-kata terkait rindu, cinta, dan kawan2nya tidak terlalu rumit untuk dicerna, dan bahasa yang digunakan, ketika sang laki-laki bercerita sangat kelakilakian pola pikirnya, dan sebaliknya ketika sang perempuan bercerita, sangat keperempuan ceritanya.


Si tokoh adalah seorang lelaki dengan masa lalu kelu. Lelaki gagal move on, bahasa gaoel nya. Sang laki-laki adalah seorang yang digambarkan seorang yang baik, taat beragama. Seperti biasa, di negeri orang, bertemu dengan sekian banyak wanita, perhatiannya terjatuh pada salah satunya. Sang perempuan adalah seorang perempuan yang taat beragama juga, hijabnya tertutup dengan baik, warna pakaiannya tidaklah menarik perhatian, tutur katanya sopan, pemalu juga. Semua bermula dari suatu kejadian kecil yang menunjukkan keberanian sang perempuan untuk mengambil inisiatif untuk lebih saling mengenal satu sama lain(kalo mau tau gimana, baca :)). Semua berlanjut hingga ke email, surat, dan telefon, bahkan saat tengah malam ataupun setelah Shubuh.

Penggambaran sang wanita yang begitu anggun dan cerdas mempesona seolah membuatku turut dimabukkan dan seolah memiliki rasa yang sama dengan sang tokoh utama. Kesenduan yang disiratkannya sangat kentara. Tak sedikit waktu sang tokoh utama ter'buang' untuk bernostalgia tentang sebuah kenangan lama. ..  Di sana.

Di sana aku tampaknya mulai merasakan rasa takut itu.

Aku takut jatuh cinta. Aku takut jatuh dinda terlalu dalam.

Aku khawatir melihat perkembangan sang tokoh utama, yang awalnya begitu menghormati dan menghargai kekuatan agama seseorang, tetapi ternyata ketika bertemu dengan seseorang yang memiliki paras wajah yang sama dengan cerita lamanya, ia langsung tercekat dan seolah-olah dunia berputar kembali. Begitu banyak kenangan melintas mengenai sang cerita lama. Betapa ternyata, fisik masih merupakan perekat memori yang kuat di dalam kepalanya. Entahlah, aku baru baca sampe segitu.

Kupikir, aku takut. Aku takut kalau aku jatuh cinta kepada seseorang yang tak pasti akan jadi siapaku nantinya, aku akan tersiksa. Siksaan batin yang begitu mendalam ketika harus berpisah dengannya. Siksaan-siksaan yang tertera dalam cerita di buku ini dengan apiknya. Aku takut bahwa aku yang cinta ku kepada Allah saja masih belum baik benar, kemudian aku dilimbungkan dengan sebuah cinta horizontal kepada sesama manusia akan membuatku terbuai dan lebih memikirkan cintaku kepadanya daripada cinta kepada Sang Maha Kuasa. Aku takut semua hanya bermula dari fisik, dari rasa suka, menjadi pemabuk yang mampu merusak banyak rencana. Sebenarnya, haruskah seorang yang dilanda cinta melewati tahapan seperti itu ya? Ku tak tahu. Kuharap kisah cinta tak harus serumit dan sekompleks itu ya.

Ku berharap, hanya kepada Allah lah aku akan berharap..
Share:

Monday 18 April 2016

Kurasa

Ku t'lah jatuh dinda.

"Aku mau ngisi kertas yang coklat aja dong, soalnya somehow sekarang aku lagi suka sama sesuatu yang berwarna coklat," kataku.

Kau tahu, di zaman ini, bahkan hanya untuk menyukai saja, sudah ada begitu banyak pergolakan dalam diri.

Sudah ada pro dan kontra, sudah ada harapan dan kekhawatiran dan kecemasan.

Sudah ada kegelisahan, apakah boleh aku memiliki perasaan ini ya?

Padahal, pada dasarnya ia adalah sebuah rasa yang indah, rasa pemberi warna bagi kehidupan orang yang merasakannya.

Bila pada makanan, mungkin ia seperti berambang, bumbu racikan, atau bahkan micin.

Sesuatu yang sebaiknya tepat pada takarannya, bila tidak ada akan tidak terasa berkesan makanannya, bila ada maka baiknya tidak perlu lah banyak-banyak.

Jadi, kubiarkan saja rasa mendindakan seseorang ini tumbuh.

Akan kurawat dan kujaga, sebagai suatu bentuk penghargaan kepada Allah Yang Maha Kuasa.

Akan rezekinya ini.

Karena, ada banyak orang di luar sana yang mungkin tidak bisa merasakannya.

Karena mungkin hati mereka telah mati, masa lalu mereka adalah masa-masa traumatik, dan mereka menolak untuk memberikan hati mereka lagi.

Kan kurawat rasa ini, tanpa perlu ada balasan dari sang dinda.

Biarkan ku mendindakannya saja, untuk diriku sendiri.

Dan Allah sebagai saksi.
Share:

Sunday 3 April 2016

Orang Tua Datang Wisuda

       Kemarin, 2 April 2016, adalah hari 'agak' besar bagi ITB. Wisuda April. Momen kelulusan secara resmi, momen pertemuan (yang mungkin) terakhir, momen apresiasi oleh massa himpunan, dan banyak yang lain, bagi wisudawan. Dulu, aku pernah ditawarin oleh temanku untuk ikut membantu menjadi panitia, ya lewat oprec(open recruitmen) 'rekrutmen terbuka' biasa. Dulu karena khawatir akan jadi tidak amanah, jadinya aku menolak. Tapi pada akhirnya, somehow aku join an dan pada hari H menjadi Liasion Organizer/Officer atau lebih biasa dikenal dengan LO. Tugas seorang LO adalah bertanggung jawab untuk memenuhi segala kebutuhan tamu, atau untuk acara wisuda ini, sang tamu adalah wisudawan/wati dan keluarga. Di bawah ini aku akan menceritakan tentang pengalaman paling berkesan kemarin. Menyentuh.

Kenapa mau jadi LO?
       Sebenarnya aku tertarik untuk ngelihat orang tua-orang tua yang datang jauh-jauh buat ngelihat anaknya kelulusan sih. Aku ingin membandingkan situasi kemarin dan dulu. Aku masih ingat dulu wisuda saat aku masih TPB, aku datang ke tempat resmi acara wisudaan nya, di Sasana Budaya Ganesha(Sabuga). Di sana aku hunting foto-foto menarik. Tau apa yang ku dapat? Foto seorang ibu yang sedang di luar Sabuga menunggui sambil melihat ke arah Sabuga dengan penasaran, dan tampak sangat penuh harap, seolah sudah tak sabar menanti tantangan dan kesuksesan yang akan segera dihadapi anaknya pascakuliah. Ga cuman ibu-ibu, bapak-bapak juga ga sedikit yang berekspresi gitu. Aku somehow tergerak. Jadi gini, ekspresi orang tua bila melihat anaknya resmi hendak diluluskan. Tampaknya ada banyak emosi yang tersirat, tapi yang paling tampak bisa dilambangkan dengan satu kata, "harapan". Sayang fotonya ilang, hapenya sih. -_-

       Kemarin adalah hari yang cukup, hmm menyenangkan ya nggak juga, boring ya nggak juga, lumayan menarik lah. Kemarin adalah hari pertama ku mengenakan jaket himpunan HME ku. WOW. Ternyata ada fungsi aslinya! Kukira buat gaya-gaya an aja #eh. Makanya dulu-dulu ga suka dipake. Pagi-pagi nungguin orang tua dan wisudawan/wati keluar semua. Ketika orang tua sudah keluar, kami LO mengantar orang tua ke Basecamp untuk ditawarkan apakah ingin mengikuti acara dari HME bagi orangtua. Karena, anak-anak nya akan arak-arakan, dilempar2i cairan cat atau sabun lah, ada yang dipukuli pake koran pula katanya. Well, beda himpunan beda tradisi. Selesainya mungkin sekitar Ashar sampai Maghrib. Padahal acara formal dari ITB selesai sampai Dzuhur saja. Makanya, daripada orang tua bingung hendak ke mana, ditawarkan untuk ikut acara siang dari himpunan, tempat orang tua bisa ngaso dulu sambil nungguin anaknya arak-arakan.

Yeaayy, itu abu-abu jahim! Akhirnya kupake coba, ckck
       Sekarang, masuk ke kejadian paling berkesan kemarin. Jadi, kemarin seperti biasa, aku dan teman-teman sedang menunggu orang tua satu per satu keluar dari ruangan Sabuga, sambil mengecek apakah yang itu atau yang sana orang tua wisudawan/wati HME atau bukan dari bros yang dikenakannya. Menjelang siang, ada yang berbeda, tiba-tiba ada satpam yang keluar dari gerbang dalam sabuga itu, dan meminta untuk dibukakan jalan pada orang-orang yang terlalu mengerumuni pintu gerbang. Aku penasaran. Kenapa? Apa ada pejabat mau lewat? Atau kami aja yang memang udah terlalu menutupi gerbang? Ternyata.. enggak. Di sana, di gerbang tempat keluar orang tua, ada seorang orang tua wisudawan yang sudah sangat berumur dan sudah beruban(read: tua). Beliau berjalan sangat perlahan, kepala beliau miring ke kanan dan tampaknya memang tidak bisa digerakkan. Setahuku itu pertanda stroke, atau malah memang mungkin beliau terkena stroke sebagian. Masih bisa berjalan sedikit. Tapi berjalannya pun dituntun, di sisi kiri beliau ada istri beliau memegangi tangan kirinya, dan di sisi kanan ada anak(atau mungkin cucu) dari sang kakek, memegangi tangan kanannya, menuntun jalan beliau, langkah demi langkah. Jalan beliau sangat lambat, dan kondisi beliau memang bukan seperti orang tua pada umumnya yang masih bugar, makanya satpam meminta untuk dibukakan jalan. Jujur, aku trenyuh. Ketika melihat sang kakek, aku teringat alasanku menjadi LO, dan aku benar-benar melihat hal itu terjadi. Semangat orang tua untuk sekadar melihat anaknya sukses, walaupun masih di tahap lulus kuliah. Gimana tingginya harapan sang kakek bagi anaknya. Hatiku bener-bener tersentuh. Beliau (mungkin) dari daerah yang jauh, pada umur yang sudah sangat tua, dengan kondisi fisik terkena stroke sebagian, rela datang ke wisudaan anaknya. Aku bayangkan mungkin sang kakek sudah memiliki mimpi dulu, "Anakku harus jadi lulusan di kampus ternama. Dan saat dia lulus, aku harus hadir di acara kelulusannya!" Atau mungkin semacamnya. Betapa berartinya sang wisudawan, kelulusannya, bagi sang kakek. Sangat melambangkan yang aku ingin dapatkan dari pekerjaan LO ku hari itu. Melihat seberapa tinggi "harapan" orang tua terhadap anaknya. Saat melihat beliau, 2 detik kemudian aku langsung membalikkan badan. Nggak sanggup. Aku takut aku nangis di tempat. Well, jujur akhir-akhir ini aku memang lagi agak mudah tersentuh. Mataku berkaca-kaca, dan mungkin udah agak merah. Aku langsung agak mundur dari temen-temen sehimpunan. Ga mau keliatan kalo nangis.

       Hari itu, 2 April 2016. Aku mendapatkan jawaban dari alasanku mengikuti wisudaan. Dan kini aku semakin percaya bahwa memang tidak banyak yang orang tua minta dari anaknya. Cukup agar ada yang bisa dibanggakan ke tetangga sebelah-sebelah saat ketemu, saat arisan. Cukup dengan membicarakan, "Anakku masuk kampus ini lhoo, anakku sekarang sudah kerja, sekarang sudah bisa ini, bisa itu." Betapa orang tua hanya meminta agar kita sebagai anak bisa memberikan mereka harapan. Itu aja, udah cukup.
Terima kasih, kakek kemarin :"

Share: