Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Wednesday 13 June 2018

TED Talks - Story 1 : Apa yang Kau Lihat Hanyalah Sebuah Bayangan

       Awal Ramadhan kemarin gerakan aku sama temen-temen FightForFreedom, alhamdulillah dapat sebuah kesempatan, kehormatan, dari teman-teman di TEDxITB untuk membawakan gagasan kami di panggung TED. Setelah berdiskusi, akhirnya kami memutuskan aku yang akan menjadi speaker. Persiapan dilakukan, tapi disamping itu juga ada sesi foto speaker untuk dipasang di IG TEDxITB. Setelah difoto, aku ditanya,

"Kak, akun IG kakak apa?"

"Nggak punya."

"Wah, kakak satu-satunya pembicara yang gak punya akun IG lho. Bahkan Pak Zorro aja punya."

(ya pak zorro pak zorro aku aku - eh)

"Gak tau sih, kaya kurang nemu manfaatnya."

"Hoo.. Kalau bisa dibikin ya, Kak. Supaya nanti bisa dimention di akun kami. Kaya linkedin aja bentuknya gapapa, formal gitu."

"Okee, kupikirkan."

       Terus.. sampe akhirnya presentasi, gak kubikin juga. Ada beberapa alasan pribadi, dan salah satunya terkait fakta yang kutemukan di lapangan yaitu saat orang-orang jadi mendewakan apa yang tampak di IG. Dan melupakan apa yang terjadi di balik foto tersebut. Gimana kehidupannya, gimana hubungannya sama sodara-sodaranya, gimana masa kelamnya, gimana hal-hal yang mungkin nggak terpikirkan di kepala kita saat kita melihat foto dia.

       Selama ini, aku sangat jarang menggunakan foto pribadi untuk keperluan yang tidak perlu. Dulu, berfoto pun aku paling males. Apalagi buat bikin IG -_-. Kalau dulu prinsipnya gini sih,

Kalau acaranya gak manfaat, banyak dosa, aku gak berani adanya foto itu jadi bukti di akhirat bahwa aku pernah berada di tempat itu.

       Sehingga foto hanya di tempat-tempat baik, atau di tempat di mana aku berusaha untuk berbuat baik, regardless of the type of the place. Sedangkan untuk foto pribadi, ada sebab lain. Kalian harus tahu gaes, bahwa ada sebuah video TED (aku nontonnya dulu waktu SMA) yang imenunjukkan bahwa saat itu saja sudah ada kacamata yang hanya dengan mengarahkan kacamata itu ke orang lain, si pengguna langsung bisa melihat data-data personal seperti tanggal lahir, jumlah saudara, dari orang yang dilihat.

Gimana, kok bisa?

       Kacamata ini pake software face recognition dengan disertai database foto pengguna FB yang di download dari internet. Jadi saat kacamata diarahkan ke seseorang, akan dicari apakah dari database foto yang dipunya, ada yang match dengan wajah yang dilihat pengguna. Saat ketemu, ditunjukkan profil pribadi seperti yang saya sebutkan tadi. Jangan ngawur, itu bisa berbahaya, kita tau kan ada teman yang menggunakan tanggal ulang tahu sebagai password? Atau hal-hal lain. Jadi saat kalian taruh foto di FB, itu di download tuh, masuk database. Tapi kalau nggak, jadi gak ketemu.

--- Wait, ini oot nya agak jauh.

       Balik lagi. Setelah fase itu, foto yang kugunakan untuk profil diri biasanya pantulan di kaca. Karena agak blur, gak jelas, jadi gak akan nemu walaupun pake face recognition. Dan makin ke sini, aku makin seringnya menggunakan bayangan sebagai foto profil. Bedanya, makin ke sini udah bukan sekadar masalah teknis. Tapi juga masalah filosofi. Tadi, tentang masalah IG.

       Seiring makin banyaknya jenis orang yang kutemui, dan hal-hal di balik layar kehidupan seseorang yang tampak, aku jadi makin suka dengan pernyataanku yang ini,

Saat bertemu, melihat, seseorang, aku seperti melihat sebuah puncak dari pohon. Di baliknya ada ribuan daun, ratusan ranting, puluhan batang, batang utama, dan akar ke dalamnya juga masih sangat dalam.

       Bahwa saat kamu melihat seseorang, yang kamu lihat itu hanya bayangan. Hanya apa yang nampak di permukaan. Bisa jadi bukan dia yang sebenarnya.

       Sehingga saat melihat seseorang, aku berusaha untuk gak terkecoh dengan apa yang ada di permukaan. Ada banyak hal yang bisa jadi terjadi di balik layar.

       Ada teman yang sehari-hari tampak suka ketawa, tapi saat aku ngajak ngobrol, ternyata dia hampir dicabut beasiswanya dan gak ngerti gimana harus membiayai kuliahnya kalau sampai itu terjadi. Ada teman yang somehow sudah pernah kepikiran untuk bunuh diri, yang aku yakin pasti gak sedikit. Atau, di balik sebuah keluarga yang tampak harmonis atau sukses sekalipun, bisa jadi ada luka menganga yang tidak tampak dari luar, jurang dalam yang tembus pandang bagi orang luar.

Jadi, begitulah.

       Buat kamu yang suka berfoto, pertama aku minta maaf kalau aku mungkin pernah menyalahgunakan fotomu. Kedua, aku berdoa semoga kalian tidak menjadi hamba dari likes dari orang-orang saat kalian memposting foto kalian di IG, atau dimanapun (semoga aku juga).

       Lalu, buat kamu yang udah mulai jarang berfoto. Hayuk, mulai untuk enjoy the moment. Bisa jadi saat kamu foto dan posting, ada hal baik yang bisa kamu lewatkan. Try mindfulness. Nikmati apa yang ada. Karena beda antara kamu ngeliat foto orang surfing dengan benar-benar surfing. Beda antara kamu ngeliat orang travelling dengan benar-benar travelling. Bahkan, beda antara kamu baca tulisanku dengan kamu benar-benar mencoba memosisikan diri di posisiku menulis. There's a difference, dan perbedaannya besar. Yuk jadi lebih in the moment, maksimalkan apa yang kita punya sekarang. Jangan terdistraksi karena itu banyaknya akan bikin apa yang masuk ke otak kita jadi masuk ke short term memory bukan long term memory.

Foto akun profil ku yang terakhir.


Share:

Saturday 9 June 2018

Sekolah Melupakan  —  part 7 : Ini Hanyalah Kesalahpahaman

(maaf untuk konten ini karena terlalu personal jadi tidak ku-publish)

Tapi aku terus mendoakan agar semua teman-teman yang mungkin mempunyai struggle masing-masing menghadapi perasaan yang kadang terlalu menguasai diri sehingga kurang bisa membuat kepala menegoisasi,

Semoga Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati, bisa membalikkan hati kita. Terutama jika apa yang kita kira adalah cinta, atau mungkin dinda, bisa mereda. Dan kita bisa mengembalikan rindu kita paling utama hanya pada-Nya.

Aameen.
Share:

Takut

Takut.

Yang menjadi-jadi.

Aku masih ingat, dulu aku pernah berkata pada seorang teman baik.

Aku ingin pulang.

Dan dia bertanya balik, mau pulang kemana, Haw?


Dan jawaban yang akan kujawab seringkali membuatku dulu ingin menangis.

Karena aku takut.
Share: