Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Friday 27 July 2018

Mengingat Ciheras

Belum genap satu minggu aku pergi dari Ciheras. Tapi pikiran-pikiran tentangnya selalu kembali dengan mudah.

Saat liat ada kucing kuning putih hitam, jadi ingat Dewi.

Saat liat ada domba kurban, jadi inget waktu lagi ngerjain kerjaan selama di sana biasanya selalu aja ada suara mbeekk. Saat liat ke langit malam, tiba-tiba muncul pertanyaan. Kemana semua bintangnya ? Bukan ini yang kulihat di Ciheras.

Saat pagi hari juga, suka dengerin dongeng-dongeng Bang Ricky yang direkam sama Raku.

Kalau pagi ngusahain brifing diri. Tapi kalau malem hampir gak pernah evaluasi.

Saat mau pesen Indomie seharga 5 ribu. Aah, terakhir aku makan Indomie harganya hampir setengahnya ini. Gak jadi beli.

Beli gorengan apalagi. 500-an cuy. Enak, tepungnya juga banyak.

Saat lagi butek, pengen olahraga, kadang semangat sendiri, kadang lagi sepi. Harus nunggu ada yang ngajakin futsal. Trus biasanya pas aku lagi nggak bisa lagi futsalnya.

Temen-temen Ciheras.. kukira nggak kusebutin karena aku nggak gitu. Bukan tipe yang menangisi perpisahan. Tapi aku berharap kalian jadi orang keren.

Saat lagi gabut dan banyak mainnya. Jadi inget lagi gimana di suatu tempat sana ada yang semangat di momen belajar. Main di momen bermain. Bahwa ada yang sebaiknya kukejar.

Saat lagi merasa kecewa dengan sekitar, kukira itu nggak perlu. Bang Ricky aja bisa sampai segitu, kenapa aku nggak mampu?

Semangat. Istirahat. Main. Teman. Kincir. Jamaahan. Makan. Ngenergen.

Ah, rindu akan ketenangan itu.

:")

#CeritaCiheras

ps : Semoga suatu waktu nanti kita bertemu lagi jika itu baik untuk kita. Mohon doanya agar aku diberikan kekuatan untuk mengambil satu lagi nafas panjang penuh pertimbangan dan kesungguhan.


Membumi
Topi dan kenangan yang hilang di Ciheras :(
Share:

Tuesday 24 July 2018

Profil Pribadi Ideal

"Seharusnya sebagai mahasiswa itu kamu mengabdi ke masyarakat."

"Seharusnya sebagai seorang anak itu kamu patuh pada orangtua!"

"Seharusnya sebagai seseorang yang terdidik kamu itu nggak buang sampah sembarangan, masak masalah gitu aja kamu gak tahu sih."

"Seharusnya kamu sebagai perempuan itu gini, sebagai laki-laki itu gitu."

dan bunyi-bunyi sejenisnya yang lain.

Sering gak denger yang seperti itu?

Gimana? Enak gak rasanya di telinga, dan di hati?

Kalau aku, kadang bukannya malah termotivasi untuk melakukan yang diharapkan agar kulakukan di ucapan tersebut, tapi bisa jadi malah muncul perasaan gak terima, atau bahkan jadi pengen ngelakuin yang sebaliknya karena ingin berontak. Pikiran-pikiran seperti,

Well, kenapa aku harus ngikutin apa yang menurut orang lain mereka haruskan? Emangnya sama antara yang mereka haruskan dengan yang kuharuskan? Emang mereka siapa?

Atau.. Kadang di lain waktu aku akan merasa menjadi seorang pribadi yang buruk. Karena tidak bisa mengikuti ekspektasi yang telah diberikan pada aku, baik secara pribadi, peran, maupun posisi. Sehingga berujung pada rasa ketidakpantasan terhadap apa yang sedang kuemban.

Aku bersyukur sekali di penghujung akhir masa kuliah ini aku mendapatkan sebuah insight 'pemahaman' terkait hal ini, salah satunya dari Prince Ea (youtuber) yang membuat video dengan judul Why I Stopped Musturbating. Mungkin judulnya agak aneh ya, mungkin memang ingin dibuat seperti clickbait. Tetapi, untuk kontennya sendiri menurutku cukup bagus. Membahas tentang banyaknya orang yang terjebak penggunaan kata must 'seharusnya' yang bukannya memberikan efek bagus, tetapi sebaliknya.

Menurutku, penggunaan kata seharusnya adalah cara yang kurang baik untuk mengubah realita menjadi kenyataan. Seringnya, penggunaan kata seharusnya itu memaksakan sesuatu ataupun seseorang untuk menjadi ideal, tanpa memperhatikan bagaimana sikon riil, tanpa memperhatikan sebab ketidaksanggupan sesuatu tersebut untuk mencapai ideal, dst. Kita seolah memasangkan sebuah garis finish profil keidealan pada sesuatu yang tidak mungkin menjadi ideal.

Terkadang, penggunaan kata ini juga bisa menyakitkan. Terutama, jika ini digunakan dengan memaksa, tanpa adanya logika ataupun alasan sama sekali. Seolah, seorang lelaki itu harus kuat dan tidak boleh menangis, sebagai seorang perempuan itu seharusnya di rumah. Dan pemaksaan-pemaksaan tak berdasar lainnya (jika tanpa dasar).

Saat menggunakan seharusnya, sering kita lupa untuk menyertakan alasan. Yang ada hanya kita ingin agar sesuatu atau seseorang yang kita lihat itu menjadi ideal. Tidak seperti dia sekarang. Bagaimanapun caranya.

Ini saja menurutku sudah menyakitkan. Ini adalah bentuk ketidakmenerimaan kita akan keberadaan orang tersebut. Memaksakan dia berada pada profil pribadi ideal yang kita inginkan.

Syukur, kini aku mulai belajar untuk tidak menggunakan kata ini pada konteks dan situasi yang tidak tepat.

Kini, aku belajar bahwa ternyata ada kata-kata yang lebih baik. Apakah itu?

Sebaiknya.

Dalam menggunakan sebaiknya, yang kita dorong pada orang lain bukanlah sesuatu yang imajiner yang sifatnya ideal dan hanya ada di kepala kita. Penggunaan kata sebaiknya sering diikuti dengan alasan mengapa sesuatu itu baik, atau tidak baik sehingga harus ditinggalkan.

Sebagai contoh,

"Sebaiknya sebagai mahasiswa itu kamu mengabdi ke masyarakat. Karena, nanti juga kamu akan menjadi masyarakat dan akan sangat merasakan bagaimana butuhnya kamu akan pemikiran-pemikiran fresh dan jiwa-jiwa yang bersemangat."

"Sebaiknya sebagai seorang anak itu kamu patuh pada orangtua yaa, karena nanti ayah dan ibu akan senang dan bangga pada kamu."

Siapa yang tidak senang jika diberikan pernyataan-pernyataan seperti itu?

Daripada jika dibandingkan dengan menggunakan seharusnya yang bersifat menuntut tapi tak beralasan di contoh bagian awal tulisan ini.

Maka dari itu, bagi semua pribadi-pribadi yang memiliki pandangan akan sesuatu yang dianggap ideal, aku mengajak agar teman-teman sebaiknya coba belajar untuk melakukan transisi penggunaan kata (secara langsung maupun tidak langsung) dari seharusnya menjadi sebaiknya.

Karena seharusnya itu menuntut seseorang atau sesuatu untuk menjadi ideal menurut standar yang bahkan terkadang tidak kita sampaikan. Seharusnya juga seperti merupakan sebuah penolakan sehingga terkadang bisa membuat orang merasa sakit hati jika tidak bisa mencapainya. Seharusnya juga terkadang membuat kita berhenti untuk memberikannya dukungan karena kita sudah terlanjur membuat sebuah benteng antara kita dengan apa yang kita anggap ideal, dengan dia yang sudah kita anggap tidak ideal.

Mari kita belajar untuk menggunakan kata sebaiknya, baik dalam kata maupun dalam sikap. Karena manusia adalah makhluk logis yang mengharapkan penerimaan positif, timbal balik, dan alasan rasional untuk mendasari tiap tingkah lakunya.

Begitulah, maka saya sarankan teman-teman sebaiknya menggunakan kata sebaiknya karena alasan-alasan yang telah saya sebutkan di atas.

Terimakasih :)

-- pelajaran mahasiswa tingkat akhir bab Revisi Idealisme
Share:

Sunday 8 July 2018

Ramadhan Perubahan - Edisi 2 : Ricky Elson

       Orang kedua yang akan menjadi topik pembahasan dalam edisi Ramadhan bersemangat beda, Ramadhan Perubahan, kali ini adalah Bung Ricky. Orang luar biasa yang telah menggemparkan Indonesia setelah kepulangannya dari Jepang ini mulai membuat gagasan-gagasan gila paska kepulangannya. Gagasan-gagasan seperti mobil listrik yang desainnya kece badai (baca: keren banget nget nget), atau kincir anginnya yang telah terpasang di berbagai bagian dari negara ini. Dalam usianya yang belum sampai 40 tahun, beliau sudah memiliki hingga 14 paten serta mendirikan sebuah pusat riset bernama Lentera Angin Nusantara(LAN). Saking kerennya, beliau sendiri memiliki gelar tersendiri, Putra Petir. Luar biasa.

       Suatu kebetulan yang telah diatur oleh Allah bahwa aku sendiri pernah mengikuti acara yang diisi oleh beliau. Pertama, ketika Ramadhan tahun lalu. Sore hari itu Bung Ricky akan menjadi pengisi dalam kajian sore Inspirasi Ramadhan(Irama)di Masjid Salman ITB. Kami panitia sangat beruntung sekali karena beliau menyempatkan untuk mengisi sebuah acara khusus untuk panitia sebelum ashar sekitar satu jam. Di sana, beliau bercerita tentang bagaimana dulunya beliau adalah anak yang sangat bengal. Setelah itu, kami bertanya tentang banyak hal, salah satunya tentang ide mobil listrik nya yang diserang dan tidak diakui. Masih ada satu pertanyaan teman yang saya ingat terkait membuat perubahan,

Bung Ricky : "Mobil buatan saya gagal dalam serangkaian tes kelayakan produksi. Letak kegagalannya adalah di dalam tes emisi."

Temenku : "Bang, saya tidak mengerti, bukannya mobil listrik tidak memiliki emisi sama sekali karena bahan bakarnya yang berasal dari listrik?"

Bung Ricky : "Itu.. wallahu a'lam."

       Di titik itu saya pengen ketawa, wkwkkw. Sebegitunya ya Indonesia dalam tidak mendukung berkembangnya industri dan inovasi teknologi oleh anak bangsa. Saat itu saya lebih dari sekadar tergelitik untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di dunia riset dan teknologi Indonesia. Yang saya tahu, kasus ini tidak hanya terjadi sekali, tapi sudah beberapa kali. Dengan tokoh yang berbeda-beda. Mulai dari Ricky Elson dengan mobil listriknya, Pak Warsito Taruno dengan teknologi pembunuh kankernya, serta cerita tentang seorang yang mengembangkan sebuah desa dengan menggunakan pembangkit listrik sederhana dari algae(ini saya dengar dari teman saja), tapi kemudian begitu Pemerintah masuk ke desa tersebut, Pemerintah memerintah untuk mengakuisisi usahanya. Semua berakhir dengan berhentinya usaha mereka untuk mengembangkan apa yang mereka temukan di Indonesia.

       Sekitar semester lalu, ada sebuah acara di Depok yang diselenggarakan oleh Rumah Kepemimpinan (RK) dengan menghadirkan Bung Ricky Elson sebagai pembicara. Karena tidak ingin ketinggalan kesempatan luar biasa untuk bisa mengembangkan dorongan berkarya, aku langsung mencari tiket untuk bisa berangkat ke Depok. Alhamdulillah-nya, walaupun berangkat di pagi hari seminar itu, tetapi ternyata nggak terlalu terlambat materinya. Di sana, Bung Ricky bercerita tentang bagaimana sekarang beliau sudah mendapatkan sebuah ilham untuk mendirikan pesantren engineer di Ciheras. Tawaran untuk kembali ke Jepang saat itu sebenarnya ada, tetapi beliau lebih memilih untuk tetap berada di Indonesia. Menetap mendirikan sebuah tempat dimana para engineer bisa belajar untuk membangun negeri. Di sana, 'santri' harus bisa mencari uang sendiri dengan berjualan lele dan lain-lain, di sana juga ada proses belajar rumus-rumus sulit terkait perancangan pembangkit tenaga angin, teknologi yang keren.

       Di akhir materi, beliau menutup dengan sebuah pernyataan. Bahwa kita boleh ingin membuat perubahan di Indonesia ini. Banyak yang ingin. Tapi, banyak juga yang patah semangat. Jauh-jauh belajar ke luar negeri, pulang hanya untuk mendapati bahwa apa yang dipelajari dengan penuh perjuangan ternyata tidak terpakai. Ujung-ujungnya jadi handle bagian administrasi, ada juga yang jadi usaha kebun sawit, atau kerjaan-kerjaan sepertinya. Mereka hanya bisa mendapati kenyataan, sambil sebagiannya merutuki kondisi Indonesia. Kata beliau,

"Sudah, nggak usah menyalahkan kondisi. Kalau mau bikin perubahan di Indonesia, memang gak bisa kita mengandalkan Pemerintah. Jangan berharap duit, atau dukungan."

       Sungguh, sebuah pernyataan dari seseorang yang bukan hanya sudah belajar, tapi juga menerapkan ilmunya lewat belasan paten yang dimilikinya. Lebih dari sekadar menarik. Bahwa ternyata seseorang dengan paten sebanyak itu pun masih harus berjuang tanpa mendapatkan dukungan dari Pemerintah.


Gimana dengan kita?

       Gimana mau mikirin mengubah negeri. Waktu masih dibuang-buang. Fokus belum jelas. Kalau ditanya di masa depan mau bikin paten, masih ga kebayang bahkan di bidang apa. Trus punya mimpi, suatu saat nanti, saat atau setelah sesuatu terjadi, kita akan membuat suatu perubahan. Padahal, mengubah diri aja mungkin masih belum serius, masih butuh ditemenin, masih butuh diingetin, masih butuh support atau iming-iming.

       Gimana ya, kalau sudah mau bangun negeri? Apa bisa ga dapet support dana dan pengakuan dari Pemerintah? Padahal, ngurus birokrasi ke Pemerintah. Dan ini berarti segalanya. Mulai dari bangun perusahaan, sampai ke pemasaran pengiklanan, pengakuan masyarakat, dll.

Gimana ya?

       Harus banyak belajar. Banyak mempersiapkan diri, meningkatkan kapasitas. Bangun relasi. Pinter-pinter cari jalan keluar seperti cari jarum di tengah tumpukan jerami. Harus banyak belajar dari Bung Ricky.

sumber : https://www.dompetdhuafa.org/post/detail/1310/ricky-elson--tenaga-angin--mobil-listrik--dan-nasionalime

- Tulisan lama Ramadhan tingkat 6
Share: