Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Thursday 14 March 2019

Ruang Ketidaksempurnaan  —  part 1: Sebuah Eksplorasi

       Hari-hari ini, kukira banyak permasalahan yang muncul dari kehidupan sehari-hari itu bermula dari ketidakbijakan kita dalam menghadapi ketidaksempurnaan.

       Saling menjatuhkan antar golongan satu dengan yang lain. Terutama, dalam Islam. Sangat tampak bahwa saat ada seseorang yang memiliki ‘label’ baik. Dan dia melakukan keburukan, desas desus yang beredar pun sangat tidak menyenangkan.

       Ketika seorang guru agama mengambil jalan yang tidak sempurna dalam menyampaikan agama, hujatan muncul satu demi satu. Ada yang menggunakan metode musik, ada yang dakwah di dunia skate, bahkan mungkin ada yang ke nigth club.

       Aku harus bilang bahwa media adalah salah satu faktor pengompor paling hebat. Saat ada calon legislatif mengakses konten pornografi, ramai. Saat ada partai yang menggunakan semangat kebaikan lalu di tangkap tangan korupsi, ramai. Pun saat ada calon Presiden yang melakukan kesalahan, baik di masa kini ataupun di masa lalu, ramai.

       Kita semua seolah di-framing kan dengan sebuah konsep kesempurnaan yang bersih dari segala keburukan. Bahwa jika ada seseorang mengaku baik, tetapi memiliki keburukan, sudah tidak ada artinya kebaikan yang ia miliki.

       Pun dengan munculnya golongan orang yang tidak setuju dengan mengatakan,

 “Ambil baiknya, buang buruknya.”

       Seolah-olah bahwa jika seseorang memiliki satu saja keburukan. Tak selayaknya kita mengambil kebaikan yang ia miliki. Mereka lebih memegang prinsip,

       “Jangan percaya padanya, saya khawatir nanti kamu terbawa pada keburukan yang dimilikinya.”

       Pun dengan satu isu yang akhir-akhir ini membuatku sangat resah. Yakni tentang kemunculan teman-teman Feminis ekstrim. Mereka menuntut kebebasan yang sama dengan yang dimiliki oleh laki-laki. Mereka tidak mau bahwa perempuan harus tunduk pada laki-laki, baik secara pribadi, ataupun secara sistem. Kata-kata sesederhana,

“Bukan badan kami yang harus ditutupi, tapi pikiran kamu yang ngeres.”

       Bermula dari kegagalan laki-laki dalam menutupi dan memperbaiki ketidaksempurnaannya, diletakkanlah hujatan demi hujatan, tuduhan demi tuduhan. Bukan hanya pada lelaki yang memang seperti itu, tetapi pada semua jenis lelaki. Sampai lelaki yang baik pun merasa heran kenapa dia seperti dianggap sebagai sesosok manusia yang haus seks dan tidak pernah puas (meminjam istilah teman).

Yang kupelajari hingga saat ini, saat kita menghadapi ketidaksempurnaan, kita seolah diarahkan oleh suatu bisikan kasatmata, pada dua hal,
  1. Generalisasi.
  2. Kebencian.
Sehingga sangat wajarlah jika kita melihat negeri kita ini semakin terpecah. Padahal orang-orangnya shalat. Punya spirit gotong royong.

       Dan aku yang melihat ini merasa tak berdaya. Kenapa kita harus keras pada ketidaksempurnaan orang lain? Kenapa kita harus mem-bully orang yang tidak berhasil mencapai apa yang kita kira dia bisa capai?

       Dengan kata bully aku bermaksud bukan sekadar mengejek, merendahkan. Tapi juga tindakan yang lebih kasar seperti menghujat jilbab-nya, menghujat kebiasaannya shalat.

“Heh, buat apa sholatmu kalau kayak gitu aja gak kamu lakuin? Buang sampah sembarangan.”

“Kamu itu, masih bercanda sama laki-laki padahal udah malem gini. Orang yang berjilbab harusnya udah tahu!”

       Dan ada orang yang tersakiti, dan ada orang yang sedih, dan boleh jadi ada orang yang benci.

Kenapa kita harus keras pada ketidaksempurnaan orang lain?

       Melalui serial tulisan ini, aku mengajak temen-temen semua untuk masuk ke dalam sebuah space ‘ruang’ dimana kita akan mencoba lebih peka akan ketidaksempurnaan di sekitar kita, dan mulai untuk lebih bijak dalam menyikapinya.

P.S. : Aku pun sedang belajar, tapi aku berharap bisa membagikan ilmu ini pada mereka yang belum sampai mengambil mata kuliah kehidupan ini. Atau mungkin ada kakak tingkat yang bersedia memberikan ilmu lebih, saya akan sangat mengapresasi :)
Share:

Wednesday 6 March 2019

Sharing : Meletakkan Target Sedikit di Atas Capaian Tangan

Haloo, manteman. Long time, very long time no see.

Alhamdulillah kabar baik. Kalian gmn? Semoga dilancarkan urusan kebaikannya yaa,

Trus ini sedang tidak banyak menulis nih. Anywhere. Sedang banyak bertindak. Banyak belajar hal-hal teknis yang mungkin nggak terlalu perlu untuk dipikirkan lebih sehingga perlu dijadikan catatan pribadi.

Banyaknya pemikiran-pemikiran diolah, atau didiskusikan.

Perasaan-perasaan berlebih pun sekarang sudah bisa dengan lebih baik kuolah. Nggak overreacting, overthinking. Jadi belum menemukan dorongan kuat lagi untuk menulis.

Kalau ada yang bisa kushare, hmm apa ya,

Yaa, lagi belajar tentang menggantungkan mimpi sedikit di atas capaian tangan.

Gimana semisal lagi ada deadline yang ingin dikejar, berusaha mencapai sesuatu. Sekarang lagi belajar untuk meletakkan deadline itu cukup dekat dengan kepala (di dalam otak, dan di keseharian), tapi tidak terlalu dekat juga.

Meletakkan deadline itu cukup dekat agar aku tergerak untuk melakukan perubahan dalam keseharianku semisal membuat jadwal belajar yang menyesuaikan dengan kejaran itu. Tapi tidak terlalu dekat juga karena kalau terlalu dekat malah bikin stress dan tertekan. Ga bagus.

Dan meletakkan deadline itu ga jauh-jauh amat, jelas. Karena kalau terlalu jauh aku jadi bingung yang mau kukejar teh apa sih. Dan ga ada perubahan deh dalam keseharian.

Yaa, mungkin itu. Bismillah yak, semoga bermanfaat juga.
Share: