Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Friday, 22 December 2017

"Nggak Bisa " —  part 2.2 : Pemupukan Idealisme

.. continued from “Nggak Bisa”  —  part 2.1

       Bibit kebiasaan ini, kebiasaan untuk memiliki jarak dengan lawan jenis, ternyata tidak berhenti hanya selama aku berada di pondok. Ia terbawa sampai saat aku pindah SD saat kelas 5 kembali ke daerahku. Sekolah Islam tempat kami berada ternyata memiliki suasana yang mirip seperti di pesantrenku, meski untungnya itu hanya sikap childish kami saja. Meski jumlah kami satu kelas hanya sedikit, total hanya 14 an orang, rata-rata hubungan kami semua dingin. Meski terkadang tentu hal-hal seru kami lakukan bersama seperti berbagi mimpi selepas SD, dll. Akan tetapi, secara overall, hubungan kami memiliki 'jarak', baik itu fisik maupun kedekatan.

       Berlanjut ke sekolah menengah, di SMP maupun SMA aku sudah tidak berada di sekolah Islam dan masuk ke sekolah negeri. Saat SMP, aku jadi tidak berusaha terlalu dekat dengan teman-teman perempuanku, dan ya kalau berteman ya alakadarnya. Kalau suka biasanya malah jadi ga berani ngobrol. Ya, begitulah. Seringnya aku sibuk dengan diriku sendiri dan games yang sedang kugandrungi saat itu. Paling pernah dekat sama teman perempuan nya cuman pas aku lagi mempersiapkan diri belajar fisika bersama sebagai percobaan menuju olimpiade. Sisanya ya main sesama cowok sih. Meski, ada dampak buruk yang mulai kukenali juga terkait perempuan pada masa ini.

       Berlanjut ke masa SMA-ku, awalnya aku biasa saja berteman dengan lawan jenis. Malah, saat aku mulai menjadi calon panitia MOS, aku mulai menjadi pribadi yang aktif, yang sangat suka berdiskusi, yang paling pertama menyapa orang lain. Satu hal yang aku ingat adalah masa ketika aku mengikuti kegiatan LDKMS (Latihan Dasar Kepemimpinan dan Manajemen SMALA). Saat itu, tahap dua dilakukan di luar kota, di hutan-hutan, tapi aku lupa di mana. Saat itu ada jelajah malam, dilakukan dalam kelompok berdua-dua, dan harus melewati sekian pos. Aku ingat, saat itu pasanganku adalah adik kelas berkerudung, dan karena kebiasaanku, akhirnya aku minta daripada kita pegangan tangan, aku tawarkan agar kita memegang satu kain yang sama saja. Jadi agar kami tetap saling bersama saat perjalanan, kami terhubung oleh sebuah kain. Pada akhirnya, kami berhasil menyelesaikan pos dengan baik (meski sempat hampir tersasar, sih) :).

       Tak lama kemudian, saat kelas XI SMA aku mulai ditarik untuk mengikuti kegiatan keislaman dan kebiasaan ini mulai menguat lagi. Rapat pengurus ikhwan dan akhwat di sekolahku biasa dipisah dengan hijab shalat yang tingginya sekitar 2 meter, jadi kami tidak bisa saling melihat. Obrolan dilakukan melalui bagian bawah hijab yang ada lubang sekitar 30 cm. Lalu, saat sedang ada agenda kumpul besar, anggota ikhwan dan akhwat biasanya ada jarak. Hal-hal ini menjadi pupuk yang semakin menggemburkan idealisme dalam diriku tentang pentingnya jarak antara laki-laki dan perempuan.
       Saat SMA itu pulalah aku mengenalnya, mengenal dia.

.. continued in “Nggak Bisa”  —  part 2.3
Share:

0 komentar:

Post a Comment