Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Friday 30 March 2018

Walk the Talk. Make Change!

Akhir-akhir ini aku mulai coba ngutak-atik Linkedin. Just in case, good opportunity comes. Ga mau kehilangan kesempatan yang mungkin kudapat di momen-momen menjelang mencari pekerjaan ini.

Terus aku bingung di bagian profil. Bagian Motto Profesional. Karena orang lain pada pake status kerja atau kemahasiswaan mereka sekarang gitu. Is that a professional motto? Really, dude. Karena aku baru tau sama istilah motto professional, awalnya kukira harus pake motto pribadi. Jadi, ya biarlah pake motto pribadi aja. Kata-kata yang menurutku sedang inspiratif sekali. Sederhana, bernyawa dan penuh isi.

Walk the Talk. Make Change.

Dulu, pertama kali aku belajar tentang benar-benar ngelakuin sesuatu daripada membicarakan bahwa akan melakukan sesuatu, adalah dari ngeliat billboard di pinggir jalan, iklan rokok. Isinya sederhana, talk less do more. Ini berbekas banget. Diperkuat dengan ribuan pertarungan yang kujalani di game online dulu ngelawan orang lain dari berbagai daerah di Indonesia. Aku belajar bahwa pro ga banyak bacot. Yang sukanya ngeluh, yang sukanya nyinyir, yang sukanya sumpah serapah, yang sukanya ngomong gak penting itu seringnya bocah. Kalau bukan bocah secara fisik berarti bocah secara pola pikir.

Banyak hal berubah sejak itu. Terus aku juga belajar dari salah satu prinsip imam besar yang melegenda. Prinsip itu adalah,

Hindari pembicaraan yang tidak ada orientasi perbuatan di atasnya. 

Maksudnya adalah, daripada berbicara, berdebat ga jelas sama orang padahal setelah itu ga akan ada apapun yang dilakukan, kaya ga akan nambah sedekah, ga bikin mulut senyum, ga bikin iman bertambah, gini-gini mending ditinggalin aja obrolannya. Kalau ga ada kebaikan, ga ada perbuatan baik yang akan muncul dari pembicaraan, baiknya tinggalkan aja.

From that point on, aku makin mantap untuk hidup dengan prinsip kerja dulu, baru ngomong. Satu hal yang sempat kusadari waktu awal kuliah adalah, saat aku mengatakan kepada orang lain bahwa aku akan melakukan sesuatu, seringkali aku ujung-ujungnya ga konsisten. Terus aku sadar, bahwa ngomong itu sebenarnya maksudnya apa? Mau minta disanjung orang lain? Diapresiasi? Terus kalo ga diapresiasi jadinya ga ngelakuin?

Di situ letak jebakannya.

Akhirnya aku jadi memegang teguh prinsip, lakuin dulu. Kalau kamu udah konsisten, kalau ucapan, komentar, dan nyinyiran orang lain ga akan membuat kamu berhenti ngelakuin apa yang kamu percayai sebagai sebuah tindakan yang benar, nah itu saatnya untuk kamu sanggup menyampaikannya ke orang lain. Kalau belum, sebaiknya ga usah diucapin, daripada malu karena ternyata ujung-ujungnya ga istiqomah. Mending lakuin dulu, dan lakuin aja. Peduli amat orang lain peduli atau nggak.

Well, itu kondisi idealnya. But, at least, aku terus berusaha untuk menjaga keidealan itu.

Jadi, itu filosofi kalimat pertama. Sekarang, masuk kalimat kedua.

Make Change!

Sederhana aja. Di saat orang lain berorientasi untuk mengejar posisi dan pekerjaan dengan menunjukkan apa pekerjaan dan tingkat mereka sekarang, aku sih ga ngejar itu banget. Bukan profesi yang kucari. Sederhana aja, ngutip Pak Michael Jackson,

Heal the world, make a better place ~

Mengubah dunia sedikit saja lebih baik, sedikit demi sedikit. Tapi kalau nanti aku dapet profesi yang kuinginkan, alhamdulillah. Aku berharap pilihanku benar bahwa profesi itu bisa membuat perubahan besar yang positif. Aamiin.

So, keep fighting! Tidak ada kata terlambat untuk perubahan yang lebih baik. Save the talk, do the work.
Share:

Sunday 25 March 2018

Menjadi Bintang untuk Seseorang

Kalau kamu gak bisa jadi bintang untuk semua orang. Kalau kamu gak bisa menginspirasi ribuan orang.

Jangan tertekan.

Menginspirasi, memberikan harapan, untuk satu orang saja sudah luar biasa.

Semangat menebar kebaikan !
Share:

Wednesday 14 March 2018

Siapa Namanya, Haw?

Kisah selanjutnya dari bahasan terkait hati.

Beberapa hari terakhir aku sudah dua kali diberikan pertanyaan terkait ini.

"Siapa orangnya, Haw? Namanya?"

Kalau kalian mendapat pertanyaan seperti ini, apakah kalian bersedia untuk menjawabnya? Menjawabnya dengan nama sesosok manusia yang telah berada dalam dzahir dan batinmu. Kau tulis namanya dalam daftar rencana masa depanmu, kau ukir di hatimu sebagai sosok yang telah pernah mengetuk dan mungkin pernah mengisinya meski mungkin sebentar.

Jujur saat pertama ditanyakan itu, kemarin lusa pagi, aku tidak tertarik untuk menjawabnya. Jawabanku saat itu sederhana,

"Namanya ada di sana, di atas. Di lauh mahfudz. Udah ditulis. Cuman aku belum tahu siapa."

Ke adik-adik mentor yang kasih pertanyaan itu di sesi sharing santai di kantin Salman.

Malamnya, pertanyaan yang mirip dengan bentuk yang lain dan metode yang lebih menohok, dilontarkan oleh temanku selepas kami makan malam. Awalnya ia bercerita sedikit,

"Iya, Haw. Urang lagi berproses nih, ta'aruf. Eh iya, maneh udah ada calon belum? Siapa tuh?"

Awalnya aku tak berniat untuk menjawab karena mungkin itu dia maksudkan hanya sebagai pertanyaan iseng biasa. Sampai dia melanjutkan,

"Namanya siapa, Haw? Biar gak rebutan. Takutnya sama."

Baru deh aku shock. 

.. Iya, ya. Bisa jadi dia berproses dengan sesosok orang atau nama yang telah menemani hatiku di sebagian waktu.

Ragu. 

...

What if? What if?

Pikiran ini berlanjut bahkan sampai kemarin. Saat aku berpikir apakah aku sebaiknya menyampaikannya atau tidak. Seperti setan dan malaikat berputar-putar di kepalaku.

Jangan dikasih tau. Ntar bisa disebar. Ntar kalau sampai di orangnya bisa jadi ujian. Buat kamu dan buat dia. Tapi.. kalau nggak dikasih tau, terus kamu nerima surat undangan dari dia dengan nama itu, kamu rela?


... aargh.

Semenjak aku belajar tentang menjaga hati, aku dengan sangat sadar menghindari bahkan menyebutkan bahwa di dalam hatiku ada satu nama. Tetapi khusus untuk tulisan ini, aku hanya sekadar ingin berbagi ibroh 'pelajaran'.

- Pelajaran #1 : 

Aku jadi teringat dari cerita Ayat-ayat Cinta 2 yang menceritakan saat dimana Fahri mendapatkan surat dari Nurul (kalau aku nggak salah) tentang gimana kondisi perasaan Nurul untuk Fahri. Surat itu baru sampai di Fahri setelah Fahri bertunangan dengan Aisha. Saat itu, satu frasa yang baru benar-benar coba kumaknai beberapa hari terakhir ini adalah,

"Sesungguhnya cinta yang sebenarnya itu adalah cinta dalam pernikahan."

Bahwa boleh jadi sekarang aku menulis satu nama, atau mungkin membuat alternatif-alternatif nama lain, tapi tetap saja. Allah yang menentukan. Kenapa harus mencoba melangkahi-Nya dengan bersikap bodoh seolah hanya ada satu orang saja dan tidak ada pilihan lain?

- Pelajaran #2 :  

Pelajaran kedua adalah tentang mengikhlaskan, tentang jodoh yang sebenarnya. Bahwa kalau toh ternyata aku akan menerima surat undangan berisikan nama temanku dan dia, ya berarti memang mereka berjodoh. Itu berarti bahwa aku dan dia memang bukan jodoh satu dengan yang lain. Seberapapun pahitnya, itu yang Allah berikan. 

Pelajaran selanjutnya jika itu benar terjadi, adalah tentang mengamalkan konsep mengikhlaskan. Belajar lagi tentang lupa, belajar lagi tentang bingung, belajar lagi tentang mencari satu nama, belajar lagi untuk menemukan cinta. Meski, tetap cinta yang sesungguhnya adalah cinta selepas pernikahan. Cinta yang Dia anugerahkan bagi mereka yang telah dengan sungguh-sungguh berkomitmen dengan cinta tersebut. Yang akan membuatku berani mengucapkan perjanjian yang setara dengan janji para Nabi, berani untuk mengguncangkan Arsy dengan menyebutnya.

Jadi. Hati. Belajarlah.

Belajarlah untuk ikhlas.

Lalu. Kepala. Belajarlah.

Belajarlah untuk fokus pada berbuat kebaikan. Belajar untuk yakin bahwa menikah dengan siapa itu adalah sarana dan bukan tujuan utama. Pahamkan pada isi kepalamu bahwa menikah memiliki both tujuan ibadah dan tujuan dakwah.

Lalu. Kembali ke hati.

Pemahaman yang telah dicapai oleh saudaramu kepala, sambutlah ia dengan baik. Bersikaplah terbuka, lalu belajarlah untuk meyakininya. Semoga dengan keyakinan itu kamu menjadi bisa lebih setia pada nilai dan bukan pada materi. Pada maksud dari pernikahan dan bukan sarananya. Dan dengan kesetiaan itu, belajarlah untuk bisa berkomitmen. .. Meski jujur aku tak tahu bagaimana aku bisa menceriterakan padamu terkait komitmen untuk bahasan ini karena aku sendiri masih belum berani untuk berkomitmen.

Barakallah.

Teruntuk hati dan kepala,

Jadilah berkomitmen sebagaimana kamu belajar untuk berkomitmen dalam beragama, dalam mencintai-Nya, dalam iman kepada-Nya.

--------

Kutipan sebagai penutup.

"Pengetahuan akan melahirkan keyakinan yang mantap. Keyakinan yang mantap akan melahirkan kesetiaan. Kesetiaan akan melahirkan komitmen (iltizam) melaksanakan segala konsekuensi syahadat."

- Ma'na Syahadatain - Syuruthu Qabuulisy Syahadatain

PS : jangan ada yang nanya lagi yaa, huhu
Share:

Monday 5 March 2018

Dewasa Cinta

Dewasa. Cinta.

Kukira, ketika aku menghadapi permasalahan cinta, aku sudah cukup dewasa untuk bisa menghadapinya. Banyak pelajaran yang pernah kudapat dulu, terkait dinda, akan membuat aku bisa menghadapi cinta dengan lebih baik, lebih sabar, lebih pengertian, lebih tidak reaktif, dan lebih-lebih lainnya. Tapi, ternyata nggak juga.

Saat cinta menyapa kembali, energi ini datang tak ubahnya hujan gerimis di tengah siang bolong. Awalnya tidak terasa karena ia tidak tampak mengubah dunia sekitar. Cuaca tetap cerah, aktivitas tidak terlalu banyak terganggu. Tapi, pada satu titik, rasa itu akan terkumpul. Cinta akan menempel pada pakaianku dan pada dunia sekitarku, kadang menempel kadang mengisi. Seolah-olah segala sesuatu mengingatkanku padanya. Dia mulai masuk dan merasuk ke sudut dan sendi-sendi duniaku.

Kupikir, cinta memang akan selalu berbeda untuk setiap kasusnya. Tidak ada rumus pasti tentang bagaimana kamu bisa menghadapi cinta, dan bagaimana kamu bisa melupakannya. Jadi, apakah ada orang yang bisa dewasa dalam hal cinta?  Kukira, sulit.

Acap kali cinta datang, ia membuat tuan rumah harus menata kembali apa yang telah ia susun selama ini. Beda kedatangan, beda penyikapan. Beda waktu, beda respon. Beda orang, beda pengaruh. Tuan rumah seperti harus belajar lagi dan lagi. Seperti kembali menjadi anak-anak yang tidak mengerti apa itu cinta, kenapa dia datang, dan bagaimana mengolahnya.

Seperti menjadi anak-anak lagi. Saat aku bertemu dengan cinta kembali.

- belajar dewasa cinta
Share: