Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Sunday 15 December 2019

Mencintai Ketidaknyataan

       Pernah, dalam kelas Bahasa Jepang yang biasa kuikuti, diadakan diskusi terkait buku cetak vs buku elektronik. Diskusi yang menarik, mengingat setiap dari kami peserta diskusi hampir pasti memilih salah satu di antara keduanya. Kami yang sama-sama sudah lulus kuliah ini, pasti sering berinteraksi dengan salah satu dari keduanya. Dan waktu itu, untuk bisa memberikan poin argumen yang ingin kuberikan, aku membaca-baca referensi terkait argumen bahwa buku cetak masih lebih baik daripada buku elektronik.

       Pada suatu titik dalam diskusi kami, salah satu temanku berargumen bahwa tujuan dari buku adalah untuk mendapatkan pemahaman, maka dari itu cukup dengan membaca buku elektronik saja sudah cukup. Pada buku elektronik kita bisa memberikan stabilo, bisa langsung menggunakan fitur search, dan bisa dengan mudah mengganti-ganti di antara sekian banyak buku untuk mencari hubungan antara satu buku/paper dengan yang lain. Nah, terhadap poin itu, aku akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa argumen itu kurang lengkap. Bahwa selain untuk mendapatkan pengetahuan, ada aspek, tujuan lain yang membuat orang jadi menyukainya, yaitu bahwa buku adalah teman.

       Aku lupa membaca dari artikel mana, tapi ada salah satu argumen orang yang menyukai buku yang mengatakan bahwa saat membaca buku, ia sering sekali jatuh cinta pada salah satu tokoh dalam buku itu. Mengikut kisah hidupnya. Hingga sampai pada saat dimana ia menghadapi kenyataan bahwa halaman terakhir sudah di depan mata. Dan sudah saatnya berpisah dengan tokoh tersebut. Dan itu adalah bagian paling menyedihkan dari membaca sebuah buku. Kalau ngga salah ini pendapat orang dari Quora kayanya, jadi tadi waktu kucari lagi nggak ketemu. 

       Awalnya saat membaca opini orang itu, aku ngerasa agak ngga paham. Bisa gitu ya kalau orang baca novel/fiksi itu.. Sampai aku sadar sekarang-sekarang ini. … Ketika aku juga mulai merasakan cinta pada sebuah karakter yang ada di dalam novel. Hingga aku menuliskannya bahwa aku harus menemukannya. Meskipun ia tak ada. Mencari seseorang yang menyerupainya. Ah, memang ada-ada saja isi kepala ini. Tapi, kalian harus tahu…

       Kalian harus tahu bagaimana penulis mengatur sedemikian rupa, membuat kita merasakan menjadi tokoh utama, menjalani jalan hidupnya. Hingga bertemu dengan sesosok wanita yang misterius, menarik, dan jatuh hati padanya. Dengan segala pernik, misteri, dan jarak yang ada, tak membuat sang tokoh utama untuk berhenti perhatian padanya, berusaha menjaganya meski itu bukan hal yang dibutuhkan, ditolak dan masih terus berusaha untuk mendapatkan rasa kepercayaan darinya. Kalian harus tahu, dan merasakan bagaimana menjadi sang tokoh utama selama sekitar 1000 halaman, dan merasakan teraduk-aduknya perasaan ketika ingin mencinta tapi tak jua bisa. Ah, seperti merana tapi tak juga. 

       Begitulah, aku ingin mencarinya. Dan ini bukan berarti aku mencintai sosok yang tidak ada, tapi mungkin karena lama hati ini tak berlabuh pada yang nyata.. hingga akhirnya ia berusaha menggapai sesuatu yang tak ada. Ah, semoga hati ini bisa berlabuh pada kenyataan yang bisa menenangkannya.
Share:

Monday 28 October 2019

Perempuan Seperti Apa yang Kau Cari? Part 2 : Mencari Diri Sendiri

       Dalam kelas Bahasa Jepang yang sedang kuikuti sekarang-sekarang ini, sebagai persiapan kerja, aku belajar banyak hal tentang kehidupan, tentang orang Jepang, dan terkadang, tentang diri sendiri. Di dalam buku paket Bahasa Jepang yang digunakan, ada berbagai macam soal dan pertanyaan-pertanyaan keseharian, dan terkadang ada hal-hal menarik. Seperti, kalau ada uang tabungan, memangnya apa yang paling ingin dilakukan? Sampai sekarang, hadiah dari siapa yang paling dijaga sampe sekarang? Kalau anak pengen ngelakuin apa pun apa bakal dibolehkan? Dan yang ngga kalah menarik, tolong definisikan kepribadian diri sendiri dan kepribadian pasangan yang diinginkan!

       Well, pertanyaan-pertanyaan itu awalnya kedengeran sederhana, tapi begitu udah mulai dipikir tuh, kayak sampai 10 menit juga kadang belum dapet jawabannya. Ya, kalau jawaban normatif sih ada, tapi biasanya bukan jawaban sebenernya. Kalau mau dapet jawaban sebenernya, mesti dipikir lebih dalem lagi. Salah satu pertanyaan yang begitu akhirnya berhasil kutentukan aku merasa dapet banyak tenaga dan semangat baru dalam hidup adalah pertanyaan yang paling terakhir.

       Akhir-akhir ini, aku beberapa kali terpikir tentang calon pasangan yang kuinginkan. Dan makin lama dipikir dan dirunut, rasanya tetap saja bagaimanapun kriteria yang kutentukan, rasanya tidak akan pernah terasa cukup aman untuk dipilih sebagai seseorang untuk dinikahi. Masih tetap ada kekhawatiran apakah yakin kriteria ini sudah merupakan yang terbaik buatku? Gimana kalau dia berubah nantinya? Apakah aku pantes buat orang sebaik ini? Dst.

       Dan aku pun mengubah sudut pandangku. Aku inget dulu waktu suka main game online bahwa pasangan idealku adalah pasangan yang dalam kondisi apapun kami bisa saling melindungi dari serangan dunia luar. Punggung bertemu punggung, bersama menghadapi segala serangan luar. Yang pada makna lainnya adalah bahwa kami saling melindungi, mungkin melengkapi juga. Di titik mana aku lemah, di sana dia akan ada untuk membantu. Hingga pada akhirnya ini semua kembali kepada aku sendiri lemah dimana? Aku sendiri orang yang seperti apa? Dan tidak hanya berhenti disitu, alhamdulillahnya waktu sedang merunut kepribadian masing-masing dan menerjemahkannya ke dalam Bahasa Jepang, aku mencoba mengambil jalan lain. Aku menambahkan slot kepribadian ketiga yang kuberi judul, Kepribadian di Masa Depan yang Diinginkan.

       Di sana, pertama kalinya (mungkin) aku membayangkan benar-benar bagaimana aku nantinya di masa depan. Akan jadi orang seperti apa? Karena seperti halnya juga dengan sebuah target pekerjaan atau karir besar yang bisa diturunkan menjadi sub-target yang lebih mudah dicapai, target kepribadian pun juga bisa diturunkan menjadi kepingan kepribadian lebih kecil yang lebih mudah untuk dicapai secara bertahap. Selain itu, mungkin saat ini aku memiliki beberapa kelemahan yang aku kurang merasa nyaman dengan diriku sendiri, tapi dengan memiliki rencana kepribadian jangka panjang, aku jadi lebih terorientasi pada bagaimana mengubah kelemahan itu menjadi seperti yang kuinginkan di masa depan, daripada kepikiran terus kenapa aku 'terlahir' dengan sifat itu. Karena kepribadian itu bukan sesuatu yang permanen. Dan hanya berpikir tanpa melakukan apapun tidak akan membantu banyak.

       Dalam pernikahan, kedua belah pihak perlu untuk saling mengenali kepribadian satu sama lain. Di satu sisi, hanya mengetahui kepribadian dari calon pasangan di saat ini terkadang bisa membuat kita menjadi seolah mudah ragu dan memilih untuk mundur. Sepertinya penilaian kita sudah penilaian terbaik. Tapi, sadarkah bahwa kondisi seseorang pada suatu waktu belum tentu berarti itu adalah kondisi final (steady state) yang tidak ingin diubah olehnya? Bisa jadi dia di masa depan memiliki impian ingin menjadi orang yang seperti A, bisa melakukan B, dan sebagainya. Mungkin jika kita mencoba bertanya tentang itu, dan mencoba mencari lebih dalam lagi apa usaha yang sudah dilakukan untuk mencapai hal-hal tersebut, hati kita akan menjadi lebih lapang dan bisa menerimanya. Mampu melihat dia secara lebih utuh, dan bisa mendukung apa yang ingin dia capai di masa depannya, termasuk mengingatkannya ketika ia melenceng dari 'kesepakatan' yang telah dia buat dengan dirinya dan telah dia sampaikan pada kita untuk meyakinkan kita bahwa dia adalah yang terbaik untuk kita. Mungkin, dengan begitu akan lebih mudah.

       Dan aku merasa bersyukur karena telah menjawab kepada diriku sendiri bahwa di masa depanku aku ingin menjadi orang seperti apa. Mungkin masih jauh. Mungkin sekarang masih banyak hal yang terasa aneh, mustahil untuk diubah, sangat tidak menyenangkan, mungkin orang lain akan menganggapnya sebagai sesuatu yang membosankan, tapi karena aku sudah terbayang di masa depan aku nanti akan jadi seperti apa, rasa puas itu pun muncul saja. Bahwa aku yang nanti bukanlah yang sekarang. Hidup terus mengalir, jalan bisa berubah, sifat pun bukanlah hal yang saklek. Perubahan tentu tak mudah, tapi dengan sadar diri membuat catatan-catatan apa yang ingin diubah dalam diri dalam seminggu, sebulan, setahun, 5 tahun, dst. Dan menurunkannya kepada target-target kecil yang akan membantu mencapai itu, akhirnya hidup terasa lebih mudah untuk dijalani. Alhamdulillah.

Ya Allah, tunjukilah hamba-Mu ini kepribadian yang Engkau ridhoi, dan bantulah hamba untuk mencapai kepribadian tersebut. Aamiin.
Share:

Thursday 15 August 2019

Perempuan Seperti Apa yang Kau Cari? Part 1 : Sebuah Pengantar

       Jepang hari ini lagi musimnya natsu yasumi. Atau, libur musim panas. Di sini ada 3x libur yang ditunggu-tunggu, panjangnya hampir 1 minggu (tergantung perusahaan). Ada natsu yasumi (libur musim panas) di bulan agustus, fuyu yasumi (libur musim dingin) di bulan desember/januari, dan golden week (rentetan hari dimana di sana ada banyak hari libur jadi seolah-olah satu minggu libur) di bulan mei. Seperti namanya, pada saat natsu yasumi, suhu biasanya lagi panas-panasnya. Tapi, untuk tahun ini, rasanya 2 minggu lalu lah puncak panas-panasnya musim panas. Kemarin dan hari ini bahkan lagi sering hujan. Katanya sih gara-gara ada typhoon (angin kencang) yang lewat, kayaknya cukup dekat dengan Nagoya.

Bayangin, satu minggu libur, mau ngapain?

       Awalnya aku mau cari-cari dojo kendo, mau mulai latihan lagi. Eh, penyakit mager udah keburu menyerang. Sial. Banyak wacana yang berhenti, tapi beberapa masih terus jalan kek beli robot yang bisa ngomong bahasa Jepang, dan wacana mau belajar IOT untuk persiapan kerjaan. Dua-duanya beli perlengkapannya dari Amazon, gampang banget desu yo (lho). Bisa langsung motong dari tabungan di debit, atau bisa juga bayar di konbini (convenience store, ex: seven eleven, family mart, lawson, dll). Hal-hal lainnya paling cari-cari HP dan SIM Card baru yang masih belum bisa karena kartu cash ku masih belum sampe.

       Tapi, ada hal lain yang aku baru sadarin. Sebetulnya di liburan ini aku ada sedikit kekeosan masalah diri sendiri. Hal-hal yang kulakukan untuk menutupi kebosanan, ataupun ketidakinginan untuk merasakan suatu perasaan. Dan sekarang ini, aku mulai mendekati titik kebenaran, ketika aku sudah agak berjarak dari aktivitas pengalih perhatian itu.

Aku sedang lari dari suatu kenyataan. Dari suatu perasaan.

       Tentang kebingungan akan onna no hito (perempuan) seperti apa yang mungkin sebenarnya akan kubutuhkan untuk menjalani kehidupan. Sebuah kebingungan. Yang semestinya tidak perlu sampai dibawa kepada hal-hal yang kurang perlu. Tapi, dari hal-hal pengalih perhatian itu sebagian ternyata menarik juga. Kemarin ada sempet baca Kimetsu no Yaiba, dan dari sana belajar keinginan untuk menjadi lebih kuat untuk orang lain. Aku harus bisa menjadi lebih kuat dalam berdisiplin, berani untuk melawan nafsu, dsb. Well, that's other things. Aku berencana untuk membuat tulisan tentang itu juga. Cuman balik lagi, tentang onna no hito ini, benar-benar meresahkan di dalam sana. Kebingungan antara cantik dengan baik. Antara nafsu dengan agama.

       Terakhir aku bikin serial tulisan yang bener-bener jalan (sebelumnya yang Ruang Ketidaksempurnaan), adalah tentang melupakan. Sekolah Melupakan. Yang berakhir pada sebuah kesimpulan bahwa pada akhirnya aku sadar ikatan rasa yang ingin kutambatkan itu muncul karena adanya suatu rasa yang selama ini tidak pernah aku rasakan pada orang lain sebelumnya. Tapi, bukan berarti bahwa rasa itu hanya akan bisa kudapat darinya lagi. Nggak kok, aku yakin aku akan bisa memupuk rasa itu bersama dengan orang lain lagi. Semoga. Ya, kesimpulannya aku berhasil melupakannya. Pretty unexpected, but, yeah well. Apa yang udah berlalu ya berlalu.


       Cuman aku dibalikkan pada sebuah kondisi yang seperti basecamp (?). Titik awal. Mungkin ada yang bilang ground zero juga. Jadi, donna onna no hito wa osagashi desu ka? Perempuan seperti apakah yang kucari? Aku baru sadar akan pertanyaan ini setelah semalem kami anak-anak seasrama ngobrolin tentang taaruf, tentang calon. Ternyata pada tertarik bahas itu juga di sini, heheh.

Ya, mungkin aku akan membuat beberapa catatan pribadi tentang itu,

donna onna no hito wa osagashi desu ka?

bismillah..
Asrama CBS Tekno, Nagoya.
Share:

Wednesday 7 August 2019

Lelahkah Penyebab Jarang Menulis?

       Somehow, sejak aku sampai di Jepang sekitar sebulan lalu, aku jarang banget menulis. Banyak hal sih yang terjadi, sebagian besar adalah bagian dari proses aku adaptasi dengan pola hidup dan segala perubahan yang ada. Mungkin, sampai saat ini aku sudah sedikit lebih menemukan titik kestabilan.

       Hanya, kenapa jarang menulis? Ya, kurasa tinggal disini memiliki pace yang cukup tinggi. Seringkali aku baru bisa tidur lewat di atas jam 12, dan baru bangun mungkin sekitar jam 6. Yang tentunya aku tidak inginkan, tapi agar bisa membentuk pola belajar yang cocok, sampai saat ini baru bisa seperti itu. 

       Sedikit banyak aku bersyukur karena aku mendapatkan sebuah fokus yang tidak terlalu berat, tapi masih membuatku tergerak agar mau belajar mandiri dan memasang target-target pribadi. Meskipun, di luar itu ada faktor-faktor lain seperti kemonotonan makanan sehari-hari dikarenakan masakan sendiri yang gitu-gitu aja agak membuat ada yang terasa seperti hilang. Nggak bisa lagi mau makan geprek tinggal jalan ke ganyang. Nggak bisa lagi mau anget-anget bau enak dan rasanya kenyel tinggal ke bakso, di ganyang juga. Mau makan kenyang bareng temen malem-malem tinggal ke 86. 

Semua tinggal masa lalu.

       Disini, mencoba mengatur tatanan hidup yang baru. Mencari cara untuk bisa lebih fleksibel satu dengan yang lain, agar tetep bisa ibadah bareng, belajar kondusif, dan tetep bisa ngurus diri sendiri. Hanya, mungkin agak sedikit lelah. Chotto tsukaremashita ‘sedikit melelahkan’ (dalam bahasa Jepang).

       Selain itu, mungkin aku ada beberapa hal yang mesti dengan baik kusimpan, dan kurang kusampaikan ke yang lain agar tidak melukai perasaan yang lain. Tapi seringkali masih terus menyenangkan berdiskusi dengan teman-teman yang lain. Namun, mungkin boleh dibilang agak datar ya? Emosi ku rata-rata terasa lelah, kadang agak terganggu dengan satu hal, dengan puncaknya mungkin saat bercanda dan tertawa bersama yang lain. 

       Mungkin itu bisa menjawab kenapa jarang menulis. Karena kurang ada emosi yang sebegitu mendorongnya untuk menulis, dan adanya rasa lelah yang sedikit menggelayuti punggung dan tangan ini saat tangan mulai mengetik. Mata pun agak tertarik ke bawah mengajak untuk menggelap bersama. 

Ah, sudah akan masuk jam pelajaran lagi. C ya later.

note : semoga tetap istiqomah dalam kebaikan, gaes :)
disini susah. harus dari dalem sendiri semangat. trus ngajak temen2 utk semangat jugak. trus baru jalan. yaa seenggaknya berusaha mengondusifkan temen-temen sendiri. Semoga nanti Allah mudahkan. Aamiin.
Share:

Wednesday 17 July 2019

Sebuah Mimpi Flashback tentang Komitmen : Dimana Mulutmu?

       Pagi ini aku bermimpi, back to school, back in business. Sekolah yang telah mengubahku 180 derajat. Menjadi seseorang yang benar-benar berbeda, melalui proses MOS nya, dan pelatihan menjadi panitia MOS. Dan tadi aku bermimpi tentang berselah setahun setelah kami selesai menjadi panitia MOS.

        Aku gatau gimana, tapi setting tempatnya bukan di Smala, tapi di Spensix. Sekolah ini kecil kalau dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain. Hanya ada satu lapangan yang bisa digunakan untuk main bola, atau acara-acara. Walaupun di sampingnya ada ruangan beratap yang menghubungkan antara mushola dan ruang guru. Selain itu, tempat ini tinggi. Ada tiga tingkat yang diisi oleh kelas-kelas, laboratorium, perpustakaan, dan di sela-sela kelas biasanya akan ada kantin yang menjajakan makanan yang benar-benar enak. Kukira tempat ini muncul lagi dalam mimpiku karena baru saja beberapa minggu yang lalu aku mengunjunginya.

       Di mimpi itu, aku sedang berada di salah satu pojok dari lapangan. Sedang ngobrol berdua sama seorang temen, ga jelas siapa. Kayak bawa proposal/laporan gitu, kami ngobrol, askar apa ya. Tiba-tiba, kami disapa sama Ketua OSIS Smala yang baru, dia kayak baru keluar dari rapat gitu. Bareng sama wakilnya, cewe berkerudung. Dia nyapa, dan kami saling tos.
Terus mereka jalan ke ujung seberang yang satunya, deketnya labkom yang dulu. Disana ada beberapa anak yang lagi kek berantem-berantem bercanda gak jelas. Kek pukul-pukulan, ketawa-ketawa, gitu lah. Lima (atau empat ya?) orang. Baju mereka acak-acakan, bagian bawa bajunya udah keluar-keluar dari celana, ga rapi banget lah. Padahal sebagian besar aku kenal. Ada Toni P8, Amun IPS, Tekung Xentury, sama Renan IPS kalo ga salah. 

       Terus mereka disamperin lah sama ketos dan wakilnya ini. Entah kek dibilang mau ada acara, harap agak kondusif dikit. Atau diajak buat ikut acara bareng sama siswa yang lain, atau gimana. Sampe mereka nurunin standar, ya udah lah ga usah ikut acara, tapi mbok ya tolong jangan di situ kalau bercanda-bercanda yang gak bagus dicontoh gitu. Penampilan awut-awutan, dsb. Awalnya ngobrol baik2, tapi lama-lama sampe harus disemprot pake aer selang sama si waketos yang cewe ini. Kek mau ngusir banget. Tapi masih juga bertahan di sana mereka. Sampe akhirnya pasangan ketos waketos ini pasrah, ah yaudahlah suka-suka mereka.

       Aku yang ngeliat ini pun panas. Hedeh, ini perasaan mereka dulu panitia MOS yang suka ngajarin tepat waktu, atribut harus lengkap, pakaian harus rapi, penjaga nilai banget lah. Kok malah jadi kacau gini. Somehow, di mimpi aku marah banget. Langsung teriak kenceng. 

“WOOOII!”

Langsung jalan kenceng ke mereka. Sambil ngelempar proposal yang udah kulipet jadi silinder ke arah mereka. Gak kena.

“Kalian ngapain sik!”

Begitu sampe di depan mereka aku langsung nendang perut si Rio saumun yang waktu itu posisinya lagi geletakan di bawah. Nendang pelan, trus ngangkat badannya sambil bilang,

“Sorry mun.”

(Maksudnya nendang cuman buat dramatisir aja kok, gak beneran nendang kenceng.)

Terus kuceramahin.

Kalian ini ya, gak lihat apa ini panitia lagi pengen menenangkan kondisi. Lagi pengen mau ngadain acara. Mereka lagi cari orang buat hadir di acara, termasuk ngajakin kalian. Kalian malah gini aja, ketawa-ketawa bercanda, udah bantuin belom?!?

Aku tau sekarang itu mungkin baru sekitar setahun setelah kita jadi panitia MOS (di mimpi sih lagi kelas 3 SMA). Tapi masak kalian udah gak kuat memberikan contoh yang baik sih?!?
Woi, tolong lah. Dimana mulut kalian?!?!?!

(sambil teriak mataku sampai basah, hampir nangis. Dan kayaknya ada di antara mereka yang hampir nangis juga.)

 — terbangun.

Di sholat Isya’ kemarin, imam sholat kami baru aja baca surat As-Shaff ayat 1–4. Dimana, ayat 2 nya berisikan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ

Arab-Latin: Yā ayyuhallażīna āmanụ lima taqụlụna mā lā taf’alụn 

Arti: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”


       Dan malemnya, aku mimpi, eh well pagi sih, tentang ini. Jadi inget banyak hal, cuman aku jadi sadar untuk ingat terus akan komitmen, melakukan apa yang diucapkan, walaupun berat.

       Ketika aku teriak mulut kalian itu aku hampir nangis. Karena aku tahu juga beratnya beban yang ditimpakan ketika aku menjadi seorang panitia MOS, bahkan selepas itu. Ada sebuah frasa yang kudapat selama masa pelatihan panitia MOS tersebut,

       Seorang pendidik itu tidak akan pernah berhenti dilihat oleh yang dididik. Kalian akan terus menjadi tolak ukur bagi yang kalian didik, maka dari itu, teruslah jaga kehormatan dan wibawa seorang pendidik tersebut. Kira-kira begitu.

       Aku tahu, berat untuk terus berusaha rapih. Memberikan contoh yang baik, all and all. Menjadi pribadi yang baik. But, guys, don’t give up, please. Untuk masa depan adik-adik kita yang lebih baik.

Catch ya later.

Nagoya, Jepang
17 Juli 2019
Share:

Sunday 14 July 2019

Menjadi Kreatif atau Berbeda?

       Sebagai seorang yang terkadang memiliki ledakan gagasan-gagasan, tentu memberikan penghargaan terhadap gagasan sendiri merupakan sebuah tantangan tersendiri. Seringkali jika orang lain menganggap gagasan kita aneh, konyol, geje, jayus, gak relatable, terlalu jauh, gak feasible, ga memungkinkan, dsb, seorang ideator sepertiku mungkin akan merasa gak pede. Sehingga kedepannya kita mungkin akan lebih ragu-ragu untuk mengungkapkan pikiran-pikiran kita, dan boleh jadi kitalah yang akan menjadi kritik paling keras terhadap gagasan-gagasan kita. Dan kita pun akhirnya berhenti berpikir dan menggagas ide.

       Aku bersyukur aku pernah belajar tentang kreativitas dari sebuah lembaga pelatihan kreativitas yang kek lagi promo di SMA-ku di Surabaya. Sayangnya, aku lupa nama lembaganya apa, padahal dia udah ngebantu mengubah hidupku banget dengan mengajarkan konsep kreativitas. Well, aku sendiri pernah menggunakan metode yang mereka gunakan pada sebuah seminar desain untuk memahamkan kepada para peserta bahwa kita jangan terkaburkan oleh definisi dari kreativitas di pasaran. Bahwa kreatif itu idenya gak dipikirkan oleh orang lain sama sekali, kreatif itu artistik, kreatif itu bisa memecahkan semua masalah. Bukan, boy. Yang kupelajari, menjadi kreatif itu berarti menjadi orisinal.

Sekarang, apa maksudnya kata-kata tersebut?

       Ya, dalam kelas pelatihan kreativitas waktu itu, peserta yang mendapatkan hadiah adalah mereka yang memilih menggambar sesuatu yang menurut mereka itu pengen mereka gambar, lalu gak ada peserta lain di seminar yang menggambar ide itu. Makin sedikit yang memiliki ide itu, berarti dia makin orisinal, bener-bener ide dia gitu loh. Dipikir, tapi gak mengikuti arus pemikiran pasaran atau orang-orang pada umumnya.

       Dari kelas itu aku sangat mendapatkan pelajaran tentang bahwa kamu dengan ide mu itu sesuatu yang luar biasa. Bukan sebuah kebutuhan untuk mencoba menggunakan cara kreatif orang lain, atau mencoba ide yang mirip dengan ide orang lain agar bisa jadi kreatif. Itu malah melenceng dari makna kreatif itu sendiri. Kreatif adalah sebuah jalan yang kamu tempuh untuk mengekspresikan dirimu sendiri, dan kamu mengambil jalan itu sendiri tanpa berpikir apakah orang lain akan ada yang mengikuti jalan ini atau tidak. Kan kadang kita berpikir gini,
Wah, kenapa ya di jalan ini aku yang paling depan? Di depanku gak ada siapa-siapa, jangan-jangan aku salah jalan lagi.

       Santai, mabro. Memang pada dasarnya jalan kreatif adalah jalan yang kita rakit, kita pahat, kita sketsakan dengan cara kita sendiri. There’s no quick simple creative way for you that’s made from someone else’s creative way, it just doesn’t work like that. Your creative path is yours to walk into, and yours to pave the path. Kamu sendiri yang bikin jalan itu, dan kamu yang melewatinya.
Tapi, memang, aku kadang terpikir dengan sedikit gelisah. Tentang kreativitas, diri atau gagasan-gagasan yang seperti salah zaman. Inget aja contohnya tentang galileo, beride tentang alam semesta dan berujung dipenjarakan. Atau Einstein dan e sama dengan emse kuadrat-nya. Atau Rasulullah ketika bermimpi bahwa Islam akan menaklukkan Persia dan Roma, dan Konstantinopel. Sebuah pandangan-pandangan yang unik, orisinal, tidak pernah terpikirkan oleh orang lain sebelumnya, tapi hampir tidak ada orang yang paham. Seriously. Gak ada yang bisa memahami semua pernyataan mereka-mereka itu, setidaknya saat itu. Tapi gagasan-gagasan itu baru mulai terbukakan jalannya setelah beliau-beliau itu wafat. Penerusnya mulai terstimulus dengan ide tersebut, mulai menelusuri bagaimana membuat gagasan tersebut menjadi kenyataan, dan berpegang teguh percaya sampai mati bahwa suatu saat gagasan itu akan menjadi kenyataan, atau gagal sama sekali. But, it doesn’t matter. Gagasan itu mungkin tidak sepenuhnya logis, realistis, mudah untuk dijadikan kenyataan, tapi gagasan itu memberikan arti pada kehidupan setidaknya seseorang, dua orang, hingga jutaan manusia. Seperti mungkin Elon Musk sekarang? Eh, lagi skandal ya, yang kemarin-kemarin deh. Gagasan untuk membuat perumahan di Mars. Coba liat disini deh,

https://www.youtube.com/watch?v=b0ldMakvcyw
       Oke, tapi aku gak cuman akan bahas tentang gagasan kreatif yang bisa bertahan. Tapi, juga tentang diri kreatif dengan segala fisik ataupun non-fisiknya. Cuman, mungkin akan berlanjut di part 2 yaa, udah terlanjur terdistraksi hehe :D
Share:

Tuesday 28 May 2019

Mencari Nafkah di Negeri Sakura - Part 4 : Pulang Kampung


-----------------------
Benarlah ketika salah seorang Ustadz berbagi hikmah bahwa,

Sesungguhnya musibah yang menimpamu itu tidak lain adalah karena dosa. 
------------------------



       Hari ini adalah hari yang diawali dengan baik insyaAllah, insyaAllah diakhiri dengan baik juga, tapi di tengah-tengah tadi sempat riweuh banget.

       Why? Long story short, sebabnya yaitu terbuangnya menit-menit yang terasa berharga di momen-momen krusial. Dan berakibat fatal.

       Hari ini diawali dengan mengikuti sebuah kegiatan thalabul ‘ilm, mendapatkan banyak nasihat dari seorang guru yang baik dan mengajarkan kebaikan. Lalu, dilanjutkan dengan melanjutkan komunikasi dengan temen-temen yang kemarin sudah pesen buku-buku ku yang rencananya ingin kubagikan. Masih pagi-pagi, sudah ada dua orang yang datang ke kosan dan mengambil buku. 
Lalu, menunggu siang, aku mulai beres-beres barang untuk persiapan pulang ke Surabaya. Beres-beres ini tidak mudah karena aku harus memilih ulang barang-barang yang harus kubawa untuk sekaligus kubawa ke Jepang — itu request dari ortuku. Akhirnya barang-barangku terpecah dua menjadi barang yang penting dan tidak penting. Baru awal beres-beres, ada teman yang men-share info kajian salah seorang guru yang kuikuti kajiannya, seorang Ustadz dari Cimahi. Beliau orangnya lembut, gaya bahasanya humoris, dan memiliki ilmu tafsir yang dalam. Akhirnya, kuputuskan untuk berhenti packing, lalu berangkat ke masjid Salman untuk meletakkan buku-buku yang telah dipesan. 

       Kira-kira menjelang Dzuhur, baru aku balik ke kosan. Lanjut packing lagi sampai Dzuhur, dan begitu pula selepas Dzuhur. Saat siang ini, satu temanku lagi datang untuk mengembalikan sebuah buku. Sekalian, kuwariskan peralatan-peralatan elektronik yang masih kumiliki yang kukira tak akan mungkin untuk kubawa ke Jepang. Di sana masih bisa beli lagi. Sambil aku memutuskan barang-barang apa yang sebaiknya kubawa dan tidak, kami ngobrol. Aku yang sedang kebingungan dengan banyaknya barang yang ingin kubawa tapi tak bisa kubawa karena isi tas yang sudah terlalu penuh, akhirnya memilih duduk dan berpikir. Alhamdulillah, temanku ini nyeletuk memberi saran, 

“Maaf banget nih, Haw, tapi emang kalau nggak usah semua dibawa langsung aja gimana? Kalau menurutku, apa nggak mending dicicil?”

“Hm, iya enak gitu. Tapi masalahnya ortu ga mau ada barang yang ditinggal di rumah.. Gimana dong?”

“Hoo, gitu ya.”

       Dan akhirnya aku lanjut packing, sambil memikirkan saran dia. Dan menurutku ada benarnya juga. Oke kalau memang di rumah tidak bisa ditampung, mungkin kan nanti secara berkala bisa dikirimkan ke Jepang. Sebentaar aja minta tolong ke yang lain utk dikirim. Akhirnya cara menyeleksi barangku pun kuubah. Menambahkan opsi tidak hanya dibuang dan dibawa, tapi juga dikirim menyusul. Things get easier. Setidaknya di hati tidak terasa berat lagi karena barang yang kusayangi dibuang-buang begitu saja. Sungguh terasa berat, cuy.

       Akhirnya, sampailah kami pada 3 buah barang besar yang akan kubawa, beserta satu kresek jajan untuk menemani masa penantian di atas kereta. Dua buah tas, dan satu koper. Tak ada yang ringan di pundak. Meninggalkan barang-barang yang kutinggal juga sebenarnya tidak ringan. Saat sore menjelang Ashar, ada satu orang teman lagi yang ingin membawa dan menjaga buku-buku yang selama ini kumiliki. Usai diambil, ada rasa kosong. Ah, ditinggal pergi lagi.. sama buku-buku yang telah begitu berharga buatku. Agak berkaca-kaca, tapi ya udah gapapa. Semoga mereka jadi lebih bermanfaat lagi di tangan temen-temenku :”).

       Masuk Ashar, aku memutuskan untuk shalat di dekat kosan. Dari sini aku merasa tak nyaman dan memiliki firasat buruk. Bahkan saat berdzikir. Apakah langkah yang tepat aku berdzikir? Apa nanti nggak akan telat? Akhirnya kucepatkan dan aku langsung pulang.

       Pulang, koper yang kupunya terlalu besar untuk dibawa oleh motor. Kukira awalnya begitu. Akhirnya aku memutuskan memesan G*-Send. Lama menunggu, akhirnya mamangnya sampai, dan gak mau masuk ke dalam gangku untuk mengecek barang. Pun ketika kusebut ‘koper’, Mamangnya langsung auto ogah bawa. wkwk. Ya udah deh Mamangnya kukasih bawa dua tas ranselku dan aku bawa koper. Di bagian depan motor, dengan posisi tidur, dan berakibat motorku ga bisa muter seperti seharusnya dia muter. Karena ketahan sama koper yang telentang di depan badanku itu.
Berangkatlah kami ke Stasiun Bandung. Sang Mamang dengan tas ransel, dan aku dengan koper beriringan. FYI, stasiun keberangkatanku ke Surabaya itu dari Kiaracondong, tapi ada amanah dari abi untuk mengirimkan motor ke Surabaya, dan itu di Stasiun Bandung. Firasatku sempat memburuk. Karena itu jam 15.35 dan aku baru berangkat dari kos-kosan. Padahal masih harus ke Stasiun Bandung, mengurus pengiriman motor, lalu ke Stasiun Kiaracondong. Secara jarak sudah lumayan, tapi diperburuk dengan kenyataan bahwa itu adalah sore hari dimana orang-orang banyak pulang kerja, dan mencari buka puasa. MACET boyyy.

       Kupaksakan berangkat dengan memaksa tidak usah memikirkan hal-hal buruk. Fokus pada keamanan keberangkatan ke stasiun saja. Koper di depanku ini sudah bikin agak waswas. Akhirnya aku dan Mamang sampai di Stasiun Bandung sekitar jam 16.15. Aku agak lega. Masuk ke kargo L*H, dapat kabar shocking, pengiriman motor udah gak bisa di kargo itu. Panik. Berarti motor ga bisa dibawa. Berarti harus diparkir di stasiun. Ditinggal sekitar 1 minggu, semisal semalam 10 ribu, berarti seminggu 70 ribu. Mending kalau bukan 20 ribu/malam. 

Okeh okeh. Kucoba menenangkan diri.

       Oke berarti kutinggal di stasiun. Cuman sekarang, Sang Mamang sudah pergi dengan senyumannya, tinggal aku yang bingung di depan kantor kargo. Dua ransel, satu koper ukuran besar, snack. Okeh, kalau tadi koper bisa dibawa, insyaAllah optimis sekarang tas tinggal kucangklong-cangklongkan, somehow akan bisa kubawa. *Maksa*. Jeder. Mendadak aku kehilangan kunci motor. Panik. Cari di saku. Nihil. Tas, Nihil. Apa udah diambil orang? Tapi kok motornya masih ada? Aduh… Balik lagi ke kargo. Nanya,

“Pak, apa tadi saya nggak naruh kunci di sini?”

“Nggak, mas.” Nihil.

Balik lagi ke motor. Mikir-mikir, sugesti-sugesti menenangkan diri. 

Tenang, kalau kamu panik gak akan bikin kamu bisa lebih terjamin sampai stasiun Kiaracondong, Haw. Tenang, tenang.

Okeh, tenang. 

       Cek lagi yang mungkin terlewat. Dan… di kantong ternyata kuncinya. Asyiap.. Petak umpet di waktu kritis. Oke men. Jadi udah jam 16.25 dan keretaku jam 17.02 di stasiun Kiaracondong. Busyet. Mukjizat dari Allah kalau bisa sampe. Antara waktu diperlambat, atau keretaku dibuat terlambat berangkat. Yang ternyata yang terjadi, yah baca sampe akhir yaa, ujian kesabaran buat pembaca nih, hehe. 

       Oke aku berinisiatif untuk berangkat seperti bagaimana aku berangkat ke Stasiun Bandung. Pesan G*-Send untuk membawa ranselku. AIHGDILSJBDNLKJSHNPWEOIHF. Mamangnya malah mangkal di depan hotel zodiak. Nunggu 3 menit. Trus dia yang cancel sendiri. ASDIUEWEF:KA. Entah apa rasa di hati ngedongkol setengah mati. Mang, kenapa diacceptttt!

       Ya sudah. Emang berharap sama manusia mah gitu. Sakiye kiye. (Apasik, pokonya sesuka-suka lah. Gak paham apa ini ada orang pusing setengah mati). Jadi.. usut punya usut, satu tombol cancel yang kamu tekan bisa berakibat fatal pada kehidupan seseorang, gaes. Ingat. Nanti kalian ngerti maksudnya.

       Beneran ngerasa bodo. Kalo di-cancel ngapain aku pesen segalak. Yauda fix berangkat sendiri. Paksain koper di depan, tas ransel bawa, snack taruh dalem jok. Wah fix panik. My heart is racing. Eh sorry, was racing. Lihat jam, 16.30. Lihat google maps, ke Stasiun Kircon butuh waktu 32 menit. Okeh, I accept the challenge!

       Dengan sok-sokan mengingat lagi bahwa selama ini kalau aku sudah berangkat belum pernah tuh terlambat. Paling buruk ya kereta udah mau jalan. Which is udah buruk juga sebenarnya.
Jalan lah. Tab ber-google maps ditaruh di atas koper, ditahan sama setir motor. Dan perjalanannya berlangsung kira-kira begini.
  1. Belokan pertama, setelah lurus dari stasiun Bandung, ke kiri.
     
  2. Ke kiri lagi. One and first mistake. Aku harusnya ambil belokan kiri yang lewat stasiun. Karena biasanya gak macet. Paling pelan-pelan aja supaya motor ga rusak. Tapi seenggaknya bisa jalan terus. Sedangkan jalan yang kuambil.. Macyett mak e. Awalnya nggak tapi lama-lama makin tampak meyakinkan macetnya.
  3. Lewat balai kota, lancar. Trus belok kanan.
  4. Lewat jalan yang deketnya BIP tapi ke arah Antapani, lancar.
  5. Jelang mendekati Antapani, ada tuh satu macet lagi, deketnya Bandung workspace. Lampu merah. Aku ke kiri, lampu merah ngelarang ke kanan. Oke fix nungguin orang-orang pas udah lampu ijo. Mikir buat jalan di trotoar, masih maksa idealis. Second mistake.
  6. Akhirnya jalan, trus masuk ke daerah sekitaran Antapani, ehhh, malah sempat kelewatan di satu belokan. Terpaksa puter balik. Dan you know lah ya, dengan koper segede eta di depan, puter balik itu kek mundur kiri, maju kanan. Gitu ae terus sampe di belakangku itu udah ada sampe 3 akang-akang naik motor yang ngantri. Selemot itukah aku gaes? Emang. Third mistake.
  7. Akhirnya lanjut lagi, masuk jalan kecil, ga bisa ngebut. Banyak anak kecil. Jalannya juga udah lumayan padet. Kayaknya semua yang motor pada ngikut saran dari googlemaps. Selow lagi lah. Bahkan yak, waktu di jalan itu kan aku sempat maksa nyerobot jalur kanan. Eh, ada bapak yang kesel. Sengaja dia diem, nunggu aku lewat, trus dimiringin spionnya ke spionku. Bunyi.

    Wah yakin, bapaknya kesel banget ini.

    Tapi ya maaaaf banget pak. Saya ini udah panik level akut. Terakhir saya gak bisa pulang karena hangus tiket kereta berlanjut dibelikan tiket pesawat. Tiket pesawat pertama missed. Tiket pesawat kedua missed. Dan berakhir aku gak bisa pulang ke salah satu pemakaman keluargaku. Kek semuanya membenci. Sudah cukup, pak.
  8. Keluar, udah sampai jalan antapani. Alhamdulillah. Puter balik, teruss, bertemu macet lagi. Maksa. Ambil jalan trotoar. Dan waktu kucek HP, udah jam 17.02 my boyy. Sesuai dengan prediksi googlemaps yang mengatakan 30–33 menit. Padahal aku udah ngusahain ngebut di semua jalur yang itu lancar. Gilee emang keren banget googlemaps.
  9. Dan terdengarlah suara itu. Tiiduu tiiduu tiiduu.. Pertanda palang penutup jalur kereta api diturunkan. Ada kereta api yang mau lewat. Dan fix aku yakin kalau itu keretaku berangkat. Oh Allah, ampuni dosa hambamu ini.. Ini bukan guyonan ya, tapi aku memang langsung introspeksi gitu. Beneran yaa, Allah kalau kasih adzab itu ya segera ya bisa aja.
  10. Maksain masuk ke stasiun dulu sampe lihat dengan mata kepala sendiri, eh ada kejadian lagi. Tiang palang tiket untuk motor rusak. Aku di antrean ke-3 motor yang masuk dan mamang di depan kaga bisa masuk. Tiketnya gak keluar-keluar. Fix, tanda selanjutnya dari Allah ini mah.. Yaudah, aku ambil tiket mobil dan maksa masuk.
  11. Sampe. Udah gak peduli, cuman bawa tas ransel yang isinya laptop. Motor dan koper dan tas kecil satunya kutinggal. Peduliiii. Mau tau keretaku udah berangkat atau belum.
  12. Ada mamang yang ngangkatin koper kutanya,

    “Mang, kereta Mutiara Selatan sudah berangkat? (jam 17.10)”

    “Oh ya sudah mas.” (sakit)
  13. Puyeng sebentar. Apa kata orangtua? Gimana kalau telat pulang, gimana kalau ga ada tiket? Gimana kalau ga pulang? Padahal udah dibeliin tiket sekeluarga untuk mudik luar jawa? Dan aku gak jadi pulang? Ah.. duh. Pusing da aing.
  14. Balik lagi ke motor dengan loyo. Dan baru sadar kalo lampu motor masih nyala. Okeh. Tadi aku ninggalin gak cuman koper dan tas, tapi juga motor yang kuncinya masih nancep di lobang kunci. Jenius ya.

    Yang ini bersyukur banget sih. Alhamdulillah sama Allah gak dihilangkan juga motorku. Bisa panik bertingkat-tingkat. Ya Allah, cukupkan adzab-Mu pada hamba di dunia saja, jangan kau adzab hamba lagi di akhirat..
  15. Oke, cabut kunci. Hmm, kalau gak ada tiket lagi, berarti aku harus naik motor ke Surabaya. Ya, supaya aku bisa pulang, motor bisa pulang. Cek googlemaps. 15 jam naik motor. Hmm, sama kayak naik kereta dong. Oke mantapkan tekad. Trus liat ke tangan lagi, kek udah melepuh-melepuh ringan gitu gara-gara harus nahanin setir supaya motor tetap di arah yang benar dengan beban bawaan dan setir yang ketahan sama koper. Mikir.

    Yakin, haw?

    Apa balik dulu, lengkapin perlengkapan touring, baru berangkat?
  16. Setelah mikir sebentar, aku ingat bahwa ada fitur Go-show, atau beli tiket ke luar kota, yang bisa dibeli hanya di loket, tidak di traveloka atau online lainnya. Untuk pembelian tiket-tiket yang dalam waktu sebentar lagi. Informasi ini kudengar saat kemarin-kemarinnya aku meng-cancel tiket-tiket ku yang lain. Alhamdulillaah. Ada setitik cahaya harapan agar aku bisa pulang hari ini.
  17. Setelah mastiin kunci motor tercabut, aku balik ke stasiun lagi. Nanya mamang-mamang porter, dan katanya,
    “Coba ke loket 1, a’.”
    Allaaah, masih ada harapan.
  18. Fix ke loket 1. Di depan ada 2 ibu-ibu. Yg paling depan cancel tiket, lumayan lama. Yang kedua ada ibu-ibu beliin tiket untuk anaknya. Yang ini lebih lama lagi karena si akang-akang penjaga pos-nya ninggalin dulu berapa menit gitu. Time is ticking. Tick tock tick tock.
  19. Akhirnya sampe giliranku.
    “Kang, ada tiket untuk ke surabaya?”
    “Untuk kapan, mas?”
    “Hari ini atau besok.”
    “Wah kalau yang lama-lama mungkin bisa ke indomaret mas pesannya, bukan disini.”
    “Oh, iya kang, saya cari yang deket. Kalau hari ini gimana?”
    “Oh hari ini ya. Bisa saya cek-in dulu sebentar.”
    *tettorettoreet*
    “Ini ada mas malam nanti jam setengah 8, Turangga, eksekutif. Dari stasiun Bandung”
    “Berapaan kang?”
    “Di 690 ribu.”
    Okeh. Mahal. Gapapah. Daripada mengulang hal-hal tidak menyenangkan yang pernah terjadi.
  20. Bersyukur. banget. Akhirnyaaa..
  21. Oke ke Stasiun Bandung lagi. Sekalian deh ngecek apakah masih ada cargo yang bisa ngirim motor. Dan.. ada!! Ngurus cargo deh motornya bisa kutinggal.
  22. Trus makan. Dan menunggu.
  23. Phew. Akhirnya dapet tiket. Alhamdulillah. Dan disinilah aku, sedang menikmati fasilitas untuk kelas eksekutif. Meja yang disediakan untuk laptop dan makan, lalu ada ruang di bagian paling belakang gerbong untuk barang besar termasuk koperku. Dan ya tentunya kenyamanan seperti bantal dan selimut.
Banyak hikmahnya.
  • kalau terjadi hal buruk dan kamu sedang panik, mungkin gak usah cerita ke orangtua dulu kalau itu bisa memicu mereka memperpanik suasana. Selesaikan dulu sendiri dengan tenang, dengan caramu sendiri. Kalau memang sudah buntu, baru komunikasi dengan orangtua.
  • Sesungguhnya adzab di dunia masih ribuan atau mungkin jutaan kali lebih baik dari adzab di akhirat. Hangus tiket gak ada apa-apanya dengan hangus kulit diadzab, naudzubillah.
  • Terus berprasangka baik sama Allah. Introspeksi. Ridho sama apa yang sudah Allah putuskan.
  • Jangan sebego itu bikin kalkulasi keberangkatan setelah shalat Ashar padahal masih ada banyak kerjaan gitu. Ya mungkin lain kali shalat Asharnya di stasiun aja.
  • Gak usah nyalahin temen, entah kek nyalahin, wah dia yang ngambil buku kelamaan. Atau wah dia ga mau nganterin sih! Dsb. Karena itu tidak akan memperbaiki keadaan sedikitpun. 
  • Balik ke poin sebelum2nya, gak usah sekecewa itu sama apa yang Allah putuskan. Pasti ada kebaikan, pelajaran, peringatan, dan hikmah di balik apa yang Allah putuskan. Walaupun pahit. Mirip halnya dengan obat.
  • Kadang memang perlu untuk melewati batasan idealis. Tapi kalau toh ternyata maksain idealis (misal untuk tidak mau nembus lampu merah, atau ga mau jalan di atas trotoar) bisa membuat kamu tetap nyaman walaupun harus bayar tambah 690 ribu sih ya silahkan. Its a choice, apakah mau mempertahankan prinsip, atau mau membayar lebih. Kadang membayar lebih bisa jadi adalah pilihan yang lebih baik dan Allah ridhoi. Supaya aku introspeksi.
Share:

Monday 22 April 2019

Hijrahku Maharku  — part sekian :  Tentang Tauhid dan Awal Perubahan

       Beberapa hari yang lalu aku mendengar sebuah kalimat dari orang dekatku. Kalimat yang mungkin bagi sebagian orang dianggap biasa saja, tapi menyadarkanku akan jalan perubahanku meninggalkan apa-apa yang telah terlalu lama mengendalikan hidupku tanpa persetujuanku. 

A : Kamu lagi nonton pakai kuota ya, B?

B : Iya. Pakai Te*koms*l. Haah, kayak gini ini gak bisa banget lah kalo ga ada kuota. Pokoknya kebutuhanku itu internet internet internet, sandang pangan papan. Aku gak bisa hidup tanpa internet.

Aku : Shalat B, shalat. Shalat itu kebutuhan.

B : Udahlah, pokoknya internet itu kebutuhan pokok.

(…)

       Mendengar ucapan seperti itu, aku jadi terusik. Bagaimana seseorang mengatakan ucapan yang seolah telah sangat bergantung dengan sesuatu dalam hidupnya. Kata-kata, “gak bisa hidup tanpa internet”. Bagiku, kata-kata ini sangat keras dan bisa jadi melanggar prinsip tauhid, meski tidak ada maksud melanggarnya. Bukan bermaksud menjelek-jelekkan yang mengatakan, tapi kusarankan sebaiknya di lain kali beliau tidak mengatakan hal seperti ini lagi walaupun dirasa-rasa memang seperti itu yang terjadi. Khawatir itu melanggar prinsip tauhid.

       Dari dulu, aku juga punya riwayat memiliki kebutuhan, kecanduan. Terhadap berbagai hal. Dimulai dari game online. Aku yang dulu kalau pulang sekolah jam 4, dan biasanya baru sampai rumah jam 9 malam. Hampir setiap hari jika tidak ada les. 5 jam. Mungkin untuk sekitar 2–3 tahun. Kalau tidak main game, kadang terasa hidup itu hambar. Lalu ditambah juga dengan kecanduan-kecanduan lain. 

       Kecanduan yang mulai kusadari ketidakbaikannya saat aku lebih dalam belajar agama. Mungkin itu ketika aku di Masjid Salman, lebih spesifik lagi mungkin ketika aku di Mata’ Salman. 

Satu pelajaran tentang definisi illah.

       Bahwa illah adalah segala sesuatu yang seseorang rela dikuasai, dikendalikan, patuh dan taat sepenuhnya kepadanya. Sesuatu yang sangat dicintai, didamba-dambakan, diharapkan keberadaannya. Segalanya baginya. 

(kalau ga salah definisi dari Bang Imad)

       Belajar tentang itu membuatku merasa tersentil. Bagaimana aku begitu mudahnya menyerah kepada game ataupun anime, ataupun film yang sedang kutonton ketika aku mendengar suara adzan shalat. Dan aku lebih memilih untuk tidak sholat dulu, lebih memilih menyelesaikan apa yang sedang kulakukan tersebut. Tampak bahwa aku rela untuk dikendalikan oleh hal-hal tersebut, dan tidak memilih untuk shalat.

       Juga tentang perempuan. Pernah ketika aku merasa begitu tertarik. Tidak ada hari tanpa memikirkannya. Dan aku merasa benar-benar didominasi oleh perasaan sendiri. Banyak hal kulakukan, rela kulakukan, dan sebagian besar tidak logis. 

       Pun halnya dengan internet dan media sosial. Bagaimana aku tidak nyaman mendapati bahwa setelah shalat, aku langsung cek ada chat baru atau tidak. Ada postingan menarik atau tidak. Ketika malam-malam yang seharusnya diisi seminimalnya dengan tidur, atau yang lebih baik, tapi malah dipakai untuk membuka media sosial. Ah, seolah-olah semua update dan pesan yang masuk itu begitu penting. Mengendalikanku dari alam bawah sadar. 

       Hingga akhirnya aku belajar untuk memutus rantai pengikat antara hal-hal tersebut denganku. Belajar bahwa sebenarnya yang perlu aku pelajari untuk butuh adalah butuh akan Allah, akan pertolongan-Nya, rezeki dari-Nya, petunjuk-Nya. Butuh untuk dzikir, butuh untuk shalat. Bersedia menyatakan bahwa aku patuh dan tunduk pada aturan-Nya di atas aturan-aturan lain. Melepaskan ketergantungan dari makhluk menjadi kepada Khalik. Dari yang diciptakan kepada Yang Menciptakan.

       Mulai mengurangi jatah main game. Kadang muncul rasa tidak nyaman di dalam hati ketika menyadari bahwa aku sudah bermain game sampai beberapa jam. Atau hampir setiap hari. Atau bahkan menunda-nunda shalat karenanya. Satu hal penting yang kulakukan adalah membatasi kapasitas HP. Aku sadar banget bahwa bermain game berjam-jam salah satunya diawali dengan memiliki HP dengan kapasitas yang tinggi. RAM 2 GB, memori 8 GB, dst. Momen dimana aku seharusnya belajar, semisal di kelas, malah terpakai untuk bermain game. Akhirnya, aku mulai membatasi itu semua dan memutuskan bahwa HP hanya untuk media sosial. HP pertama yang kubeli setelah kesadaran itu adalah HP L*G dengan kapasitas RAM 756 MB. Line dan WA saja terkadang sudah nge-lag. Pun sekarang, masih HP L*G dengan merek yang berbeda, hanya memiliki RAM 1.5 GB. Sedikit tinggi, tapi kuperkirakan bahwa sudah akan lambat jika banyak diisi dengan game. Sengaja kupilih. Oh iya, tapi aku masih ada tab yang kuiisi game juga. Tapi memang fungsinya untuk HP bermain dan belajar, bukan HP medsos. Jadi batasnya jelas.

       Mulai sadar bahwa perempuan bukan segalanya. Salah kalau sebagai seorang laki-laki aku tergila-gila pada perempuan. Bukan untuk itu aku hidup.

       Aku juga mulai membatasi penggunaan internet. Berawal dari memesan kuota hanya 15 MB/hari. Cukup untuk update Line sehari. Berkomunikasi dan mendapatkan segala informasi yang sekiranya kubutuhkan dalam berkehidupan di kampus. Sempat keos karena kembali membeli kuota yang besar dari provider tertentu, berlanjut dengan browsing-browsing tanpa henti, buang-buang waktu, dan hal-hal lain yang sebagian besar tidak ingin kulakukan. Sampai akhirnya sekarang sedang settle pada kuota per bulan yang 1GB dengan Medsos (kira-kira) unlimited. Selain itu, aku juga mulai membiasakan untuk memiliki waktu satu jam dalam sehari untuk tidak menggunakan medsos. Menggantinya dengan sesuatu yang memang prioritas dalam hidup, tanpa keberadaan internet. Kadang sampe dimarah-marahin karena ada skip. Cuman, luar biasa, hasilnya menunjukkan bahwa memang aku bisa kok hidup tanpa internet, walaupun hanya satu jam sehari. Hidupku masih baik-baik saja mostly. You know, that’s such a good relief. Phew.

       Banyak hal yang kuubah. Sampai sempat terpikir juga untuk tidak ingin dikirimi sangu oleh orangtua agar tidak ketergantungan dengan kiriman orangtua. Tapi, setelah dipikir-pikir tampaknya itu akan terlalu berlebihan. Karena aku toh belum bisa dapat beasiswa juga. 

       Bagaimana belajar tauhid bisa membuat hidupku banyak berubah. Bagaimana iman bisa mendorongku untuk meninggalkan sesuatu yang tidak seharusnya kulakukan secara berlebihan. Berhijrah, mungkin, itu istilahnya. Alhamdulillahi ‘alaa kulli haal. 

       Kembali kepada kasus perbincangan di awal. Ada satu hal lain yang perlu menjadi perhatian tentang iman. Bahwa iman itu diyakini di hati, diucapkan di lisan, dan diterapkan dalam tindakan. Bagaimana Iblis meyakini bahwa Allah itu Tuhan, mengucapkannya juga, tapi ternyata tidak mau mematuhi dan bertindak untuk sujud kepada Nabi Adam. Batal keimanannya dan ia menjadi kafir. Terkutuk selamanya. 

       Begitu juga dengan ucapan. Mengucapkan bahwa aku tidak bisa hidup tanpa sesuatu selain Allah, sangat dikhawatirkan telah mengucapkan bahwa ada illah bagi dia selain Allah. Walaupun di hati mungkin tidak seperti itu maksudnya. Tapi sesungguhnya berhati-hati dalam hal akidah itu jelas merupakan hal yang utama dan teramat penting. Bisa jadi ketidakhati-hatian (tolong koreksi kalau salah penulisan) dalam mengucapkannya menjadi asbab kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita inginkan di hari akhir nanti. 

       Jadi, saran saya, hindari mengucapkan hal-hal seperti itu. Termasuk di dalam lagu-lagu cinta, “Ku tak bisa hidup tanpamu”. Itu juga sangat rawan merusak akidah. Apalagi kalau lebih dari sekadar ucapan dan dalam keseharian benar-benar seperti itu. Jangan. Usahakan untuk tidak menggantungkan diri sepenuhnya kepada selain Allah. Terus berusaha yakin bahwa innallaha ma’ash shaabiriin.

       Robbanaa laa tuzigh quluubana ba’da idz hadaitanaa wa hablanaa min ladunka rohmah. Innaka antal wahhab. 

Notes : Masih banyak PR. Masih banyak cacat dan cela. Sebagian hal masih mengecewakan. Tapi, setidaknya aku masih memiliki keinginan untuk menjadi orang baik. Dan masih melakukan hal-hal yang kuharapkan bisa membawaku ke sana. Hingga di pemberhentian akhir nanti.
Share:

Saturday 13 April 2019

Ruang Ketidaksempurnaan  —  part 2 : Tangan Kecil, Langit Luas, dan Jurang yang Dalam

       Hari ini aku mengalami ketakutan. Habis mengalami kecelakaan tunggal dan membuat aku mengalami luka. Masih belum kering luka, sudah mesti berhadapan dengan jarum suntik. Entah, rasanya menakutkan. Enaknya jadi orang beriman, tidak perlu takut kepada selain Allah. Iri.

Well,
ya. 

       Ruangan kali ini akan berisikan sebuah paham yang kupegang beberapa bulan terakhir tentang ketidaksempurnaan manusia. Aku memasuki ruangan ini sejak aku mulai mendalami isu tentang laki-laki dan seksualitas. Baik itu di orang lain, ataupun di diri sendiri. 

       Dalam memulai gerakan FightForFreedom, gerakan kampanye bahaya pornografi berbasis medsos, aku mengambil sebuah mata kuliah dari jurusan sosial yang kuat dengan dasar penelitiannya. Planologi dengan matkul pra-TA mereka, Metode Penelitian. Di kelas ini aku belajar tentang bagaimana menyusun sebuah proposal penelitian yang akan bisa menjadi basis dan acuan dalam melaksanakan sebuah penelitian sosial.

       Salah satu hal penting yang kupelajari adalah tentang mengumpulkan referensi yang sudah ada terkait isu yang akan kuteliti. Salah satunya dari sinilah aku menemukan banyak hal perihal pornografi secara lebih jauh. Baik itu statistik, ataupun cerita-cerita. Termasuk aku juga mulai peka dengan isu pornografi di sekitarku.

Bagaimana seorang anak kecil bercanda dengan temannya di dalam masjid. Suatu waktu di kala aku dapat kesempatan mengajar anak-anak di sebuah masjid, bada maghrib. Aku bertanya,

Cep (panggilan untuk anak laki-laki), sebelum kakak emang sudah pernah ada siapa saja yang ngajar kalian?”

“Waah, banyak kak, ada kak a, kak b, dst.”

Terus temennya nyeletuk,

“Eh inget gak sih, si tukang jualan cuanki yang ditangkep itu? Itu kan ketahuan nyodomin yaa..”

*kaget

“Ooh iya, yang itu yaa. Wah jangan-jangan jualan cuanki sambil gitu ya?”

(si anak meragain gerakan nyodomin anak-anak)

“aahahahahah.” (pada ketawa)

*double kaget

… 

Allah, anak kecil bisa kayak gitu. 

       Terus aku ditambah dengan ketika aku mulai mengajak berdiskusi dengan teman-teman cowok lain lewat gerakan FiForFree, fakta-fakta yang kukumpulkan semakin berat dicerna. Sampai kadang membuatku terpaku. Hanya bisa diam. Ngga ngerti harus mulai dari mana.

       Fakta seperti bahwa ada teman di Surabaya yang mengira bahwa tidak ada teman laki-lakinya yang tidak melihat pornografi. Ditambah dia mengatakan bahwa sudah hal lumrah bagi seorang istri di Surabaya untuk memahami bahwa suaminya butuh space untuk melihat pornografi. Atau cerita lain tentang teman-teman yang telah begitu mudahnya mengakses aplikasi pacaran, yang disebut oleh temanku sebagai prostitusi terselubung. Foto profil vulgar, orang-orang yang haus belaian, dsb. Sampai ke level atas, bagaimana biasanya di permainan golf, seorang caddy (pembawa peralatan golf, biasanya cewe) akan sangat senang jika bisa menemani setelah bermain golf. Menemani ke hotel, lebih tepatnya. Termasuk yang tidak kalah sedih adalah kisah tentang seorang teman yang tidak tertarik dengan pornografi, tapi mereka terjebak oleh nafsunya lewat cara lain. Ada teman yang suka mengumpulkan foto cewe SMP dengan pakaian tertentu (sehari-hari sebetulnya, tapi kalau jadi dikumpulin ratusan kan gimana ya..), ada juga teman yang gak sengaja meluk temen sekamarnya sampe temen sekamarnya takut kalo dia gak straight. Padahal dia normal, cuman memang mungkin dorongan nafsu itu gak kerja di alam sadar aja, tapi juga sampai ke alam bawah sadar. Entah.

       Tentu gak kalah menyedihkan lagi kalau sudah bicara kekerasan seksual yang didalangi sama pornografi. Ya maklum, orang di sana diajarkan bahwa seks itu tidak membutuhkan rasa kemanusiaan, ya gimana. Orang pedesaan sekalipun kalau konsumsinya seperti itu ya lama-lama konslet.

Phew. Kepalaku kadang terasa penuh. Bingung. 

Just where exactly are we going with this rate of crime and such hypersexualized and less-morale culture?

       Aku ingat aku pernah memberikan sebuah materi komunikasi pada teman-teman di lingkungan islami. Satu pesan awal yang kusampaikan kepada mereka tentang kenapa mereka harus memperbaiki kemampuan komunikasi mereka, aku meminta mereka memejamkan mata. Dan aku bertanya,
Coba bayangin kalian lagi ada di gunung pinggir sebuah jurang. Disana kalian bisa melihat langit lepas. Lalu sekarang, angkat tangan kalian. Bandingkan, besar mana tangan kalian dengan langit? Lalu, lihat ke bawah, seberapa dalam jurang itu? Apa yang terjadi kalau kalian jatuh ke sana? Coba bayangkan teman-teman. Ini analogi.

       Kita ini diutus oleh Yang Mengutus Rasulullah, untuk menjadi khalifah di muka bumi. Untuk menyebarkan amar ma’ruf nahi munkar. Tugas dan amanah yang gunung pun hancur saking tidak sanggupnya menerima amanah ini. 

       Padahal, kita apa? Mungkin di antara kita ada yang keluarganya broken home, mungkin saudara kalian ada yang kecanduan narkoba, atau kecanduan seks, atau apa yang lebih mengerikan lagi. Atau bahkan kalian sendiri, kita sendiri, punya masalah yang kalian sendiri kadang bingung dan sampai tertarik jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam itu. Dimana kalian kesakitan luar biasa saat terjatuh ke sana. Dan saat kalian melihat ke kanan dan kiri pun semua seperti gelap luar biasa. Selamat datang di jurang kalian. Sesuatu yang sangat kalian takuti. Ada kekecewaan mendalam di sana. Ada kebingungan yang tak tahu harus kalian sampaikan pada siapa. 

       Sekarang tengok kepala kalian ke atas lagi, kalian melihat langit. Sebuah tugas, amanah untuk memperbaiki kerusakan yang ada di dunia ini begitu berat. Tugas yang sangat tinggi, dan sangat luas. Padahal, kalian perhatikan lagi tangan kalian? Kecil. Gak ada apa-apanya dibanding luasnya dan besarny atugas tersebut.

       Mungkin kalian pernah dengar pernyataan bahwa kita ini ibaratnya satu butir pasir di pantai jika dibandingkan dengan alam semesta ini. Atau lebih kecil. Kalian tahu? Allah menciptakan kita untuk menjadi pemelihara pantai tersebut. Kita yang kecilnya hanya seperti sebutir pasir itu. Tangan yang sangat kecil itu. Yang mungkin banyak goresan luka juga di sana. Dengan segala kemungkinan untuk jatuh ke jurang yang dalam, sangat dalam. 

Paralyzed. Lumpuh.

       Gagasan kalimat pengantar dalam materiku kali itu adalah sebuah pertanyaan besarku yang ingin kutunjukkan pada kalian. Pertanyaan yang mungkin jika kita hanya terfokus pada pertanyaannya, akan membuat kita lumpuh. Kaku diam. Seolah apa yang kita lakukan tak ada artinya. Menumbuhkan pesimisme luar biasa, mungkin? Dunno.

Sekali lagi kuucapkan, 

Hai, selamat datang di [Ruang Ketidaksempurnaan]. Kalau kalian berhenti di ruangan ini dan memutuskan untuk tidak mau kuantarkan ke ruangan-ruangan selanjutnya yang mungkin akan berisi jawaban dan harapan, aku khawatir kalian akan tersesat. So, stay with me. 

Hint : Ketika aku menanyakan pertanyaan tentang tangan, langit, dan jurang ini kepada senior yang telah melakukan perubahan di tengah tawaran untuk bersantai saja, ini jawaban beliau.

Bagus, itu disadari dulu. Itu kenapa kita juga ga bisa sendiri-sendiri.

(continued, insyaAllah)
Share:

Thursday 11 April 2019

Virzha - Janji [Official Music Video]



Tak ada ibu yang sempurna, tapi aku malu kenapa aku menjadi anak yang tak sempurna bagi ibuku :(


Share:

Thursday 14 March 2019

Ruang Ketidaksempurnaan  —  part 1: Sebuah Eksplorasi

       Hari-hari ini, kukira banyak permasalahan yang muncul dari kehidupan sehari-hari itu bermula dari ketidakbijakan kita dalam menghadapi ketidaksempurnaan.

       Saling menjatuhkan antar golongan satu dengan yang lain. Terutama, dalam Islam. Sangat tampak bahwa saat ada seseorang yang memiliki ‘label’ baik. Dan dia melakukan keburukan, desas desus yang beredar pun sangat tidak menyenangkan.

       Ketika seorang guru agama mengambil jalan yang tidak sempurna dalam menyampaikan agama, hujatan muncul satu demi satu. Ada yang menggunakan metode musik, ada yang dakwah di dunia skate, bahkan mungkin ada yang ke nigth club.

       Aku harus bilang bahwa media adalah salah satu faktor pengompor paling hebat. Saat ada calon legislatif mengakses konten pornografi, ramai. Saat ada partai yang menggunakan semangat kebaikan lalu di tangkap tangan korupsi, ramai. Pun saat ada calon Presiden yang melakukan kesalahan, baik di masa kini ataupun di masa lalu, ramai.

       Kita semua seolah di-framing kan dengan sebuah konsep kesempurnaan yang bersih dari segala keburukan. Bahwa jika ada seseorang mengaku baik, tetapi memiliki keburukan, sudah tidak ada artinya kebaikan yang ia miliki.

       Pun dengan munculnya golongan orang yang tidak setuju dengan mengatakan,

 “Ambil baiknya, buang buruknya.”

       Seolah-olah bahwa jika seseorang memiliki satu saja keburukan. Tak selayaknya kita mengambil kebaikan yang ia miliki. Mereka lebih memegang prinsip,

       “Jangan percaya padanya, saya khawatir nanti kamu terbawa pada keburukan yang dimilikinya.”

       Pun dengan satu isu yang akhir-akhir ini membuatku sangat resah. Yakni tentang kemunculan teman-teman Feminis ekstrim. Mereka menuntut kebebasan yang sama dengan yang dimiliki oleh laki-laki. Mereka tidak mau bahwa perempuan harus tunduk pada laki-laki, baik secara pribadi, ataupun secara sistem. Kata-kata sesederhana,

“Bukan badan kami yang harus ditutupi, tapi pikiran kamu yang ngeres.”

       Bermula dari kegagalan laki-laki dalam menutupi dan memperbaiki ketidaksempurnaannya, diletakkanlah hujatan demi hujatan, tuduhan demi tuduhan. Bukan hanya pada lelaki yang memang seperti itu, tetapi pada semua jenis lelaki. Sampai lelaki yang baik pun merasa heran kenapa dia seperti dianggap sebagai sesosok manusia yang haus seks dan tidak pernah puas (meminjam istilah teman).

Yang kupelajari hingga saat ini, saat kita menghadapi ketidaksempurnaan, kita seolah diarahkan oleh suatu bisikan kasatmata, pada dua hal,
  1. Generalisasi.
  2. Kebencian.
Sehingga sangat wajarlah jika kita melihat negeri kita ini semakin terpecah. Padahal orang-orangnya shalat. Punya spirit gotong royong.

       Dan aku yang melihat ini merasa tak berdaya. Kenapa kita harus keras pada ketidaksempurnaan orang lain? Kenapa kita harus mem-bully orang yang tidak berhasil mencapai apa yang kita kira dia bisa capai?

       Dengan kata bully aku bermaksud bukan sekadar mengejek, merendahkan. Tapi juga tindakan yang lebih kasar seperti menghujat jilbab-nya, menghujat kebiasaannya shalat.

“Heh, buat apa sholatmu kalau kayak gitu aja gak kamu lakuin? Buang sampah sembarangan.”

“Kamu itu, masih bercanda sama laki-laki padahal udah malem gini. Orang yang berjilbab harusnya udah tahu!”

       Dan ada orang yang tersakiti, dan ada orang yang sedih, dan boleh jadi ada orang yang benci.

Kenapa kita harus keras pada ketidaksempurnaan orang lain?

       Melalui serial tulisan ini, aku mengajak temen-temen semua untuk masuk ke dalam sebuah space ‘ruang’ dimana kita akan mencoba lebih peka akan ketidaksempurnaan di sekitar kita, dan mulai untuk lebih bijak dalam menyikapinya.

P.S. : Aku pun sedang belajar, tapi aku berharap bisa membagikan ilmu ini pada mereka yang belum sampai mengambil mata kuliah kehidupan ini. Atau mungkin ada kakak tingkat yang bersedia memberikan ilmu lebih, saya akan sangat mengapresasi :)
Share:

Wednesday 6 March 2019

Sharing : Meletakkan Target Sedikit di Atas Capaian Tangan

Haloo, manteman. Long time, very long time no see.

Alhamdulillah kabar baik. Kalian gmn? Semoga dilancarkan urusan kebaikannya yaa,

Trus ini sedang tidak banyak menulis nih. Anywhere. Sedang banyak bertindak. Banyak belajar hal-hal teknis yang mungkin nggak terlalu perlu untuk dipikirkan lebih sehingga perlu dijadikan catatan pribadi.

Banyaknya pemikiran-pemikiran diolah, atau didiskusikan.

Perasaan-perasaan berlebih pun sekarang sudah bisa dengan lebih baik kuolah. Nggak overreacting, overthinking. Jadi belum menemukan dorongan kuat lagi untuk menulis.

Kalau ada yang bisa kushare, hmm apa ya,

Yaa, lagi belajar tentang menggantungkan mimpi sedikit di atas capaian tangan.

Gimana semisal lagi ada deadline yang ingin dikejar, berusaha mencapai sesuatu. Sekarang lagi belajar untuk meletakkan deadline itu cukup dekat dengan kepala (di dalam otak, dan di keseharian), tapi tidak terlalu dekat juga.

Meletakkan deadline itu cukup dekat agar aku tergerak untuk melakukan perubahan dalam keseharianku semisal membuat jadwal belajar yang menyesuaikan dengan kejaran itu. Tapi tidak terlalu dekat juga karena kalau terlalu dekat malah bikin stress dan tertekan. Ga bagus.

Dan meletakkan deadline itu ga jauh-jauh amat, jelas. Karena kalau terlalu jauh aku jadi bingung yang mau kukejar teh apa sih. Dan ga ada perubahan deh dalam keseharian.

Yaa, mungkin itu. Bismillah yak, semoga bermanfaat juga.
Share:

Wednesday 23 January 2019

Riweuh Numbering di Microsoft Word

Alhamdulillah, postingan ini sekadar ingin menyimpang kenangan dan solusi akan ribetnya proses numbering di MS Word 2010. Mungkin kalian juga pernah mengalaminya.

Problem : Bikin numbering.
1.0 BAB 1
1.1 sub-bab 1
1.1.1 sub 1 - sub bab 1
1.1.2 sub 2 - sub bab 1
1.2 sub-bab 2
1.2.1 sub 1 - sub bab 2
1.2.2 sub 2 - sub bab 2
1.2.3 sub 3 - sub bab 2

2.0 BAB 2
2.1 sub bab 1
1.2.4 sub 4 - sub bab 2 dari bab 1 (%$%#%@@!!!)
1.2.5 sub 5 - sub bab 2 dari bab 1 (&^&%!#!#$$!!)

#stress
 ---------------------------------------------
Kadang hal seperti di atas terjadi, dari tadi dan bahkan kemarin-kemarin juga aku agak stress sama urusan ginian. Apa sih solusinya? Supaya setelah 2.1, itu masuknya ke 2.1.1. Tapi, ternyata sama MS Word malah dibalikin ke 1.2.4, sub-sub bab sebelumnya di bab 1. Ini pusing dan ngeselin banget.

Nah, gimana opsi solusinya? Aku nemu 3, dan ke-3 yang paling ampuh dan sedang kugunakan.

1. Hoki-hokian
Coba delete 1.2.4 nya, terus ketik manual 2.1.1, lalu tekan spasi. Atau, 2.1.1 JUDUL, lalu tekan enter. Jika kita beruntung, kita akan dapati 2.1.1 akan maju menjadi sebuah numbering yang kita harapkan. Kalau tidak, ... lanjut ke langkah selanjutnya.

2. Pakai fitur styles

Di kanan atas, di window HOME, ada styles. Di sana ada beberapa jenis heading disertai nomor-nomor numberingnya. Pilih yang paling cocok, atau paling mendekati. Tapi jika masih tidak ada yang pas, maka tetap pilih yang paling mendekati, lalu klik kanan pada number itu dan pilih set numbering value. Ganti menjadi yang diinginkan. Jika tidak bisa, .. lanjut lagi ke opsi selanjutnya.

3. Sukses
Cara ini mirip dengan cara 1, tapi setelah mengetik nomor yang kita inginkan, jangan gunakan space, atau tulis judul yang diinginkan lalu enter. Tapi, setelah mengetik nomor, tekan tombol TAB.
2.1.1 (tekan TAB)
Taraa, berubahlah dia menjadi number sesuai dengan yang kita ketik.

Alhamdulillaah..

Nanti akan muncul permasalahan-permasalahan selanjutnya, tetapi setidaknya masalah paling pertamanya sudah terselesaikan. Masalah selanjutnya mah tinggal penyesuaian aja, kaya tinggal increase/decrease indent di sebelah kirinya opsi numbering pada window HOME. Oke mantaps.


#suksesTA
Share:

Saturday 19 January 2019

Dari Masalah, ke Solusi

       Saya adalah seorang yang cukup mudah melihat permasalahan. Beberapa hal yang mendukung kemampuan saya ini adalah,
1. Pesan guru saya,  
 "Memahami masalah adalah separuh menyelesaikan masalah,"
    2. Pelajaran perkuliahan PRD tentang proses rekayasa desain
    Bagian pertama dalam menyusun penyelesaian terhadap suatu masalah adalah untuk mendefinisikan masalah tersebut. Define first.

    3. Buku Metodologi Penelitian pada bagian Tujuan Penelitian
    Dalam buku ini dijelaskan. Kenapa teori-teori sosial yang diangkat dari studi kasus Indonesia, yang meneliti dan mempublikasikan adalah orang non-Indonesia? Itu karena orang Indonesia kurang peka. Modal besar seorang peneliti adalah kepekaan terhadap masalah. Banyak orang Indonesia terjebak pada rutinitas, dan menganggap sesuatu yang menarik untuk diteliti menurut orang luar negeri itu bukan masalah dan tidak perlu diteliti. Karena kita gak peka. Jadilah saya belajar untuk terus meningkatkan kepekaan terhadap problematika.

           Dulu, aku bahkan sempat terpikir untuk membuat sebuah kertas tempel besar di kamar kosan. Di sana nanti akan berisikan kliping-kliping tentang isu permasalahan di koran, lalu aku komentari satu per satu. 

           Termasuk akhir-akhir ini, aku juga beberapa kali mendorong sebuah grup yang di sana ada banyak temen-temen yang pinter, dan aktif di bidang keagamaan. Di sana aku mendorong ke temen-temen untuk saling share permasalahan yang mereka temukan, terus kita diskusikan berbarengan. Share aja, kita coba belajar untuk definisikan masalahnya dulu. Kalaupun mungkin masalahnya terlalu besar dan sulit kita pecahkan, setidaknya kita sadar dan paham akan masalah-masalah kekinian di masyarakat.

    Dan ini dapat respon,
    “Kalau aku sih gak suka bahas masalah aja, Haw. Lebih suka bahas solusi.”
    Dan akhirnya gak lanjut banyak lagi diskusi di grup itu. 

           Akhir-akhir ini, aku melihat udah makin banyak masalah besar yang penyelesaiannya gak mudah untuk bisa diselesaikan sendiri. Kemarin-kemarin perihal pornografi, terus terakhir perihal perpecahan di umat muslim. Dua-duanya hasilnya bingung,

    Apa solusinya? Is this even solvable? 

    Atau, jangan-jangan tidak masalah sebetulnya apakah kita bisa menyelesaikan permasalahan itu? Karena yang diminta oleh Allah adalah usaha kita, hasil ada di tangan-Nya. 

    Tapi aku masih bingung, apa solusinya? Terhadap masalah-masalah di atas?

    I still don’t know.

           Terakhir, kututup dengan sebuah diskusi singkat menarik di lift di gedung di kampus. Dengan seseorang yang sangat saya hormati. Orangnya ramah, mudah tersenyum, dan penampilannya muda dan santai. A very likeable person. Saya pertama bertemu dengan beliau di sebuah konferensi dari Fisika terkait energi. Beliau adalah salah satu presenter utama di konferensi tersebut, bagaimana beliau meneliti dan mengembangkan teknologi pembangkit listrik dengan bahan bakar dasar sampah. Masalah semua orang, sampah. Diubah jadi listrik. Keren.

           Lalu, pertemuan keduaku dengan beliau adalah di lift di gedung di ITB. Waktu itu kaget karena satu lift hanya dengan beliau. Karena kepo banget, saya tanya.

    “Pak.. Bapak yang.. sampah itu ya pak?”

    “Wah, sampah?”

    *plak (bego. Ini orang dosen bukan sampah. Wahh salah awal ngomongnya)
    “Oh, iya maksudnya bapak yang bicara tentang teknologi pembangkit listrik bertenaga sampah ya, Pak?”

    “Oh, itu, haha iya.”

    “Wah, iya, pak. Itu masalah semua orang ya, Pak.”

    “Benar.. Tapi kita ga bisa cuman bicara masalah, harus masuk ke solusi.”
    *ting.. (lift terbuka)

    “Saya duluan ya.”

    “Baik, Pak. Terimakasih.”

    Pesan dari beliau masih tertempel di kepala. Kita jangan cuman bicara masalah. Apa solusinya? 

    And that’s where I’m still stuck. Even to my own problem. Ya Allah aku hanya bisa berusaha menyelesaikan masalahku, kadang usahaku bagus, sering juga jelek. Hasilnya ya apa adanya. Tapi hamba menyerahkan solusi terhadap permasalahan hamba kepada-Mu.
    Share: