Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Sunday 23 April 2017

Kemudahan Mencintai

Rabu, 19 April 2017.

Sore tadi, aku tengah duduk-duduk dengan santai di salah satu kantin yang kurasa cukup murah, nyaman, dan enak. Saat itu, aku sedang berada di tengah kebingungan akan sulitnya permasalahan-permasalahan yang menerpa. Biasalah, akhir semester. Mendadak, bener-bener ga tau datengnya pikiran ini dari mana, aku teringat bahwa hari Selasa kemarin ada kajian rutin yang terpaksa ga kuikutin, bagus padahal. Karena penasaran akan apa yang kulewatkan, aku langsung kucari-cari postingan kajian itu yang di-share oleh temanku di salah satu grup.
*klik*
*eh, touchscreen ga bunyi klik yak*

Waktu ngeliat caption paling awalnya. Hmmm. Sangat provokatif, menarik.

"Mencintai itu mudah, yang sulit itu saling."

Habis itu di bawahnya bahas tentang bagaimana mendapatkan cinta dari Allah, dan banyak yang lainnya. Tapi, aku sendiri di sini akan lebih concern sama kata-kata yang pertama itu sih. Maklum lah ya, balik ke kebiasaan lama, komentarin love quotes. Aku cuman pengen membahas yang 3 kata paling awal sih karena aku gak sepenuhnya setuju gitu. Kalo terkait 4 kata terakhir.. yaa namanya saling mencintai itu memang sulit.

Yuk, analisis.

"Mencintai itu mudah."

Yang terlintas di kepalaku ketika pertama mendengar kata-kata ini, is like.. 

"Whattt?? Dapet dalil dari mana dia? Sotoy beud."

Saya teramat sangat tidak setuju jika dibilangin bahwa mencintai itu mudah. Yes, I know, yang membuat hati terbolak-balik adalah Sang Maha Membolak-balikkan Hati. Tetapi, by nature, gimana ceritanya mencintai seseorang itu bisa mudah? Aku khawatir si dia belum ngerasain cinta kali ya sehingga menyebutkan bahwa mencintai itu mudah *kayak gue udah wkwkwk*. Tapi, as far as I've known and experienced, mencintai itu luar biasa sulitnya. Sekadar mengutip dari presentasi Mrs. Brene Brown di Ted Talks,

To love with our whole heart, even though there's no guarantee - and that's really hard. I can tell you as a parent, that's excruciatingly difficult.

Love as a Parent :"
Memang, ini balik ke definisi cinta masing-masing. Tapi gue mah ikut madzhab 'aliran pedoman' nya Bu Brene aja, soalnya cocok. Kalau kita bicara tentang cinta, menurutku ini adalah bentuk tertinggi dalam sebuah hubungan antara dua buah insan. Setinggi itu, lho, sampe aku gak suka kalo ada orang yang menyepelekan kata-kata cinta. Aku setuju sama yang bilang bahwa love is not said, it's done. Meski kadang butuh untuk diucapkan, tapi jauh lebih penting lagi adalah melakukan. Apa yang kumaksud dengan melakukan 'cinta'?

- Mendo'akan. Wish them, her, him, well. Apapun kondisinya, apapun yang dia lakukan ke kita, sesakit apapun hati kita. Do'akan kebaikanya untuknya.
- Memberikan. Bahkan, jika tidak diberi apapun termasuk terimakasih.
- Mengorbankan. Karena cinta tanpa pengorbanan malah seperti cincin pernikahan tanpa rumah tangga. Simbolik tanpa perjuangan.
- Diam. Tidak selamanya kita perlu berbicara dengan cinta kita. Kadang, diam dan menikmati momen kediaman bersama adalah salah satu kenikmatan dalam mengekspresikan cinta. Rasa nyaman yang ada saat kita bersama dengannya(-Nya).

Sebagai penutup, aku harus memberi tahu kepada kalian, bahwa apa-apa yang ada di atas sangatlah berlawanan dengan what's going on in this digital era. Di zaman ini, semua orang sibuk dengan : 1) mendoakan kesuksesan dirinya sendiri, 2) sibuk bertanya lo gue kasih ini, gue dapet apa? 3) mengira bahwa cinta itu harus dibalas, bukan tanpa pamrih, 4) kalo gue cinta sama lo berarti harusnya obrolan kita nyambung terus dong?

Dengan tegas kusampaikan. Gak. Big No. Gak harus kayak gitu. 

.o-o/  Cheers untuk para pecinta yang mencintai dengan sederhana tetapi memaknainya.

Share:

Wednesday 12 April 2017

Saat Kita Tidak Sabar

Kadang, rasa mendindakan dalam diriku suka memuncak. Apa hasilnya?

Writings.
Prayers, silent prayers. 

Sebagai seseorang yang menulis untuk menyimpan rasa, cinta ataupun dinda adalah salah satu rasa yang paling sulit untuk bisa kutahan. Tangan langsung tergerak untuk memegang bulpen, atau menyalakan laptop.

Pernah, suatu ketika aku baru saja bertemu dengan salah seseorang yang kudindakan. Ya emang adanya waktu itu lagi ga jaga pandangan si yak -..-". Jadi kepikiran. Terus aku buat tulisan tentang dinda. Which is, of course, is dangerous. 

Aku pernah membayangkan setelah membuat tipe-tipe postingan seperti itu, aku berada dalam posisi menjadi seseorang yang mendindakan diriku sendiri. Jadi, semacam memposisikan diri sebagai seseorang yang mendindai seseorang. Lalu, seseorang ini tiba-tiba ngeluarin postingan baper. Well, ada dua opsi. Antara hatiku akan hancur karena sadar bahwa itu udah pasti bukan aku, atau yang lebih bahaya lagi, aku jadi deg-degan ga jelas karena jangan-jangan itu aku. Which, to me, both of them are just as dangerous. Dua-duanya membuatku berada pada mental state ga stabil dan jadi kepikiran.

Aku sih jelas ga seneng ya berada pada posisi itu. Ikut kebawa-bawa baper ga jelas. Padahal, tujuan hidup itu udah jelas gitu. Kenapa, cuman karena satu orang yang masih gak jelas di masa depannya akan jadi siapaku, aku harus mengorbankan fokus dan perasaanku untuk dia?

Jujur aku sih masih holding the believes bahwa cinta terbaik dikirimkan oleh seseorang lewat do'a. Cinta kepada orangtua, kepada teman-teman yang tampaknya kesulitan menjalani perkuliahan, cinta kepada teman-teman terdekat, it all took the best form in silence, doing something for their well-being without them knowing.

 Ah, tulisan ini sekadar pengingat. Karena pernah ada temenku juga yang baper dan dia bikin tulisan tentang rasa sukanya sama seseorang. Dia nanya ke aku pandanganku gimana. Jawabanku jelas, jangan menebar fitnah. Capek jadi orang yang ngebaca itu.

Balik lagi, fashabrun jamiil. Sesungguhnya kesabaran itu indah, ya?

P.S. : Belajar mencintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain, juga belajar mencintai yang Maha Mencintai.
Share:

Sunday 9 April 2017

Diagnosis

Apa ya yang dilakukan oleh seseorang, ketika dia menerima diagnosis bahwa dia mengidap penyakit keras?
Share:

Sunday 2 April 2017

Lelaki dan Ketergantungan

       Lelaki memiliki sifat dasar maskulin. Maskulin ini tampak dari beberapa hal, dengan salah satu traits atau contoh yang paling dominan adalah sense of purpose 'rasa kebertujuan/memiliki tujuan'. Ini pula salah satu hal yang membuat iklan-iklan rokok secara umum bukannya menunjukkan kampanye/iklan tentang seseorang yang merokok, tetapi justru malah menampilkan iklan-iklan terkait definisi cowok macho, cowok keren. Hal yang ingin dilakukan, dari perspektif saya yang sudah belajar sedikit tentang konsep maskulin(dominan pada laki-laki) dan feminin(dominan pada perempuan), adalah bahwa mereka ingin menarik perhatian para laki-laki di Indonesia, remaja maupun dewasa, agar menjadi seorang laki-laki yang sebenarnya. Begitu pula metode iklan antar remaja via word of mouth(ngiklan pake lisan) agar pada ngerokok, "Ah, lo kalo ga ngerokok ga laki!"

       Cowok keren, makin lama definisi nya makin terbentuk seiring dengan makin beragamnya iklan rokok. Mulai dari banyak main cewek, main ke club, naik gunung salju, gliding, naik motor ngejar deadline sampe motornya harus ngelompatin kereta yang lagi jalan, dll. Semua keliatan keren. Semuanya, adalah tentang bagaimana seorang laki-laki itu go outside to the world, do something, and he's sure about what he's doing, even if it's risky. Itulah maksudnya memiliki sense of purpose. Bahwa dia menjalani hidup bukan dengan ragu-ragu dan bercanda, tetapi ada tujuan di balik semua perbuatannya. Sayangnya, paralel dengan itu semua, pesan di balik iklan rokok itu adalah, mereka juga merokok.

       Itulah, melihat dari dua contoh tadi saja rasanya aku langsung teringat akan pembagian ranah dalam menjalani kehidupan. Ini kuformulasikan saat aku sedang SMA, dan seingatku kugunakan sebagai bahan untuk melakukan presentasi dalam sebuah kelas percakapan Bahasa Inggris. Pembagian ini terbagi menjadi passion versus addiction. Semangat, mimpi, cita-cita, versus ketergantungan, keterbutuhan. Bahwa saat seorang laki-laki menjalani hidup, ada 2 hal yang mendasarinya, passion or addiction. Seperti pada kisah di iklan rokok, antara mendaki gunung, ingin mengejar pencapaian, ingin membuktikan kemampuan diri, ingin mengasah skill survival 'daya tahan', atau merokok, membuang-buang waktu di depan rumah dengan melamun, yaa ga ngapa-ngapain lah, sekadar ngerokok aja. Dua sisi yang seolah dibuat saling melengkapi.

       Dulu, aku juga punya kisah ketergantungan yang aneh, atau mungkin, keterikatan hati dan mental akan sesuatu ya. Once, I ever tried to get close to a girl. Not physically, it's just that I want to know, understand more about someone else. Since I was individualistic at that time. I want to learn to get closer to the people around me. At that time, I chose her. Mungkin kalian ga ngerti ya, gimana anehnya rasa ketika ada ringtone khusus untuk nomernya berbunyi di HP Flexi hijau murah, seneng-seneng gimanaa gitu. Sampai-sampai, nomor kedua yang kuingat setelah nomerku adalah nomer dia. Entah, aku bisa terikat dan tergantung bahkan hanya pada sekumpulan nomor tak bermakna jika hanya dilihat dari urutan nomornya saja.

       Begitulah, memang pada dasarnya kami cowok-cowok ini memiliki sifat dasar untuk mencari dan memiliki tujuan. Boleh jadi itu pulalah yang membuat orang-orang menganggap kami keren, cowok banget, atau apa. Karena saat kami ditanya, "rencana ke depanmu apa?". Jawaban kami langsung cas-cis-cus, tanpa keraguan sedikitpun. Bukan sekadar berujar saja, tapi juga tampak bahwa kami memang bekerja keras ingin mencapai tujuan tersebut. Akan tetapi, disinilah letak ironinya. Saat kami tidak sedang memiliki cita-cita dan tujuan, saat kami hanya mengikuti arus kehidupan apa adanya, apa yang menghidupi dan memuaskan naluri kelaki-lakian kami? Addiction 'ketergantungan'. Be it cigarette, games, mangas, anime, even stalking activities, alcohol, narcotics, women, or anything worse. 

       Begitulah cara kami memenuhi rasa kepantasan kami sebagai seorang laki-laki. Di tengah-tengah kehidupan yang menawarkan begitu banyak pleasure 'kesenangan' yang menjebak, tak mudah menjadi laki-laki yang tetap bisa sehat dan tidak jatuh kepada ketergantungan. Bagaimana di saat-saat dengan tekanan tinggi itu, kami memiliki dua pilihan: 1) menyadari bahwa ini semua adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan kami, atau 2) memilih jalan kedua dan jatuh pada ketergantungan kami.

This is how different we are when we're normal and addicted
       Disini, aku hanya ingin bercerita, dan tak lupa, meminta do'a. Karena kami hanya manusia biasa. Bukan sekadar minta untuk dimaklumi, dipahami, tapi ini juga sebuah ajakan untuk membuat dunia menjadi lebih baik dengan .. apa ya? Entah, mungkin jika Anda memiliki saran, bisa turut bercerita :)

Terimakasih.
Share: