Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Saturday 10 December 2016

Review Novel : Nikah Aja, Yuk!

- Sebelum berkata apa-apa, saya akan nyatakan dengan gamblang di awal: Buku ini bukan tentang menyegerakan menikah, buku ini tentang apa yang harus dilakukan jika kita belum menikah - 

        Kamis sore kemarin saya kebingungan, ada masalah. Setelah berpikir sebentar, kuputuskan untuk coba mencari solusinya di toko buku. Kenapa ke sana? Well, begitulah saya. Sebentar-sebentar tiba-tiba pengen beli buku. Kalau lagi ada masalah besar yang saya nggak ngerti sebenarnya masalah saya apa, biasanya opsi pergi ke toko buku menjadi menarik. Di toko buku saya akan muter-muter, nggak jelas sebenarnya apa yang dicari. Ya itu, saya sendiri nggak ngerti masalah saya apa, cuman berharap aja siapa tahu ada buku di Gra***ia yang seolah-olah mengerti bahwa saya sedang ada masalah, dan buku ini menawarkan solusi. Buku ini, setelah saya ambil di antara tumpukan buku yang lain dan berada dalam genggaman tangan, keinginan untuk memilikinya mendadak meninggi. *I want this book so much, sow much*. Meski tidak lama setelah itu, rasionalisasi datang, lalu saya pun jalan-jalan lagi dan coba mencari buku lain yang mungkin memiliki 'tingkat resonansi' lebih tinggi. Biasanya yang mengerti buku apa yang saya cari itu bukan akal dan rasio saya, tapi hati. Mungkin karena masalah yang saya alami seringnya masalah hati ya? Well, who knows. Untuk kemarin, saya berjumpa dengan dua buku menarik, Your Sin is Not Greater Than God's Mercy milik Nouman Ali Khan dan Nikah aja, Yuk! milik Irma Irawati. Sekarang, saya ingin coba berdiskusi tentang buku yang kedua karena buku itu yang paling cepat saya habiskan, baru Kamis kemarin, tadi siang sudah habis.

Buku ini menarik.

       Saya mengerti bahwa salah satu masalah yang saya hadapi adalah saya ingin mencoba mencari template yang cukup tepat untuk buku yang ingin saya buat. Saya mencari buku tentang hijrah cinta, novel lebih tepatnya. Because to me, novel is a friend, while non-novel is (often) a teacher. And I'd prefer a friend than a teacher at the moment. Awal melihat, saya khawatir isinya hanyalah lompatan-lompatan bahasan tentang jangan pacaran, lalu bagaimana menjaga hati, dalil-dalil, teoretis lah kalau bahasa teman saya. Padahal, bukan guru pendikte yang sedang saya butuhkan. Soalnya di buku-buku lain di sana, rata-rata settingnya begitu, bosen :d. Tapi.. buku ini beda. This book tells me stories. *I love stories* Akhirnya setelah kubanding-bandingkan, sepertinya buku ini memang outstanding buat saya jadikan referensi dibandingkan buku yang lain, harganya pun terjangkau (<40 rb). Jadi deh dibeli.

       Tentang isinya, ceritanya tentang bagaimana seorang kakak menjaga adik nya yang sedang mengalami masa remaja. Lucu sebetulnya. Idenya keren. Gue suka banget sih. Apapun, walaupun isinya ada yang mungkin sebagian menganggap picisan, tapi buat aku yang punya (pengalaman) jadi mau ga mau tertarik haha. Ooh, ternyata gitu. Macem gitulah rasanya waktu baca.

       Kalau di buku yang kusuka sebelumnya, Puisi Hati, ada seorang tokoh yang begitu menarik kepribadiannya karena penggambaran fisiknya yang sederhana(tidak digambarkan cantiknya bagaimana, hanya tentang bermata teduh saja sebetulnya). Di buku ini, ada tokoh yang lebih dari sekadar menarik, tetapi sampai sukses membuatku merasakan rasa ketidakpantasan, apa ya, rendahnya diri ini dibandingkan tokoh tersebut. Beliau dalam menjaga diri dan hatinya sangat subhanallah. Berikut salah satu nasihat yang ia berikan kepada adik kecilnya,

"Diri ini ibaratnya lubang kunci dan jodoh kita ibarat kuncinya. Daripada sibuk mencari-cari kunci yang tepat, lebih baik fokus membersihkan karat dan cacat di dalam diri. Memperindah kepribadian."

       Bukan hanya frasa itu indah didengar, tetapi sangat terasa tinggi, mulia. Sedangkan diri ini? Untuk berbenah diri saja rasanya seringkali masih setengah-setengah. Kalau udah capek, lelah, balik lagi buang-buang waktu, lupa jaga pandangan, macem-macem. Sedangkan tokoh itu? Bayangin coba, anak kuliahan, sudah mencari makna frasa 'Cinta kepada Allah'. Gimana supaya cinta yang paling utama kepada Allah dulu baru sama sesama manusia. Kalo gue, udah sampe mana? Rasanya diri ini malu masih berani berbicara tentang buru-buru menikah. Padahal, mungkin mirip dengan apa yang umi bilang, menikah itu gerbang penderitaan *kalau ga siap kali yak*. Tapi ya gitulah, intinya mah dari buku itu, aku jadi mikir, aku udah nyiapin apa berani mikir nikah? Tiba-tiba jadi pengen ndekem di pondokan, membersihkan diri dari kotoran-kotoran diri :(. Mau ngomong ape ane ke calon bini kalo ane bilang ane punya aib? Ga jadi nikah? Emang ga pantes lah kalo gitu mah.
Eh, sori jadi ngomong sendiri.

       Yah, begitulah. Buku ini mengajarkanku tentang keberadaan sosok ideal yang sebaiknya kita contoh tentang bagaimana usahanya untuk tetap menjaga dan membersihkan diri ini dari dosa, bahkan dari celah untuk melakukan dosa sekalipun.

Awalnya waktu kuliatin ke temen, pada nolak gitu.
Waktu kukasih tau isinya, langsung pada minat wkwkwk

Simpulan : Top Markotop.

*lirik lagu* Diri ini penuh dosa, kuharapkan ampunan dari diri-Mu. Bersihkan diri dari debu dan noda. Padamu, kuserahkan jiwa, kuserahkan jiwaku.

P.S. : Sulit dibahasakan dengan kata-kata gimana rasa malu nya diri ini saat membaca semangat membina diri yang dimiliki oleh tokoh di dalam cerita. :"(
Share:

0 komentar:

Post a Comment