Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Tuesday 28 May 2019

Mencari Nafkah di Negeri Sakura - Part 4 : Pulang Kampung


-----------------------
Benarlah ketika salah seorang Ustadz berbagi hikmah bahwa,

Sesungguhnya musibah yang menimpamu itu tidak lain adalah karena dosa. 
------------------------



       Hari ini adalah hari yang diawali dengan baik insyaAllah, insyaAllah diakhiri dengan baik juga, tapi di tengah-tengah tadi sempat riweuh banget.

       Why? Long story short, sebabnya yaitu terbuangnya menit-menit yang terasa berharga di momen-momen krusial. Dan berakibat fatal.

       Hari ini diawali dengan mengikuti sebuah kegiatan thalabul ‘ilm, mendapatkan banyak nasihat dari seorang guru yang baik dan mengajarkan kebaikan. Lalu, dilanjutkan dengan melanjutkan komunikasi dengan temen-temen yang kemarin sudah pesen buku-buku ku yang rencananya ingin kubagikan. Masih pagi-pagi, sudah ada dua orang yang datang ke kosan dan mengambil buku. 
Lalu, menunggu siang, aku mulai beres-beres barang untuk persiapan pulang ke Surabaya. Beres-beres ini tidak mudah karena aku harus memilih ulang barang-barang yang harus kubawa untuk sekaligus kubawa ke Jepang — itu request dari ortuku. Akhirnya barang-barangku terpecah dua menjadi barang yang penting dan tidak penting. Baru awal beres-beres, ada teman yang men-share info kajian salah seorang guru yang kuikuti kajiannya, seorang Ustadz dari Cimahi. Beliau orangnya lembut, gaya bahasanya humoris, dan memiliki ilmu tafsir yang dalam. Akhirnya, kuputuskan untuk berhenti packing, lalu berangkat ke masjid Salman untuk meletakkan buku-buku yang telah dipesan. 

       Kira-kira menjelang Dzuhur, baru aku balik ke kosan. Lanjut packing lagi sampai Dzuhur, dan begitu pula selepas Dzuhur. Saat siang ini, satu temanku lagi datang untuk mengembalikan sebuah buku. Sekalian, kuwariskan peralatan-peralatan elektronik yang masih kumiliki yang kukira tak akan mungkin untuk kubawa ke Jepang. Di sana masih bisa beli lagi. Sambil aku memutuskan barang-barang apa yang sebaiknya kubawa dan tidak, kami ngobrol. Aku yang sedang kebingungan dengan banyaknya barang yang ingin kubawa tapi tak bisa kubawa karena isi tas yang sudah terlalu penuh, akhirnya memilih duduk dan berpikir. Alhamdulillah, temanku ini nyeletuk memberi saran, 

“Maaf banget nih, Haw, tapi emang kalau nggak usah semua dibawa langsung aja gimana? Kalau menurutku, apa nggak mending dicicil?”

“Hm, iya enak gitu. Tapi masalahnya ortu ga mau ada barang yang ditinggal di rumah.. Gimana dong?”

“Hoo, gitu ya.”

       Dan akhirnya aku lanjut packing, sambil memikirkan saran dia. Dan menurutku ada benarnya juga. Oke kalau memang di rumah tidak bisa ditampung, mungkin kan nanti secara berkala bisa dikirimkan ke Jepang. Sebentaar aja minta tolong ke yang lain utk dikirim. Akhirnya cara menyeleksi barangku pun kuubah. Menambahkan opsi tidak hanya dibuang dan dibawa, tapi juga dikirim menyusul. Things get easier. Setidaknya di hati tidak terasa berat lagi karena barang yang kusayangi dibuang-buang begitu saja. Sungguh terasa berat, cuy.

       Akhirnya, sampailah kami pada 3 buah barang besar yang akan kubawa, beserta satu kresek jajan untuk menemani masa penantian di atas kereta. Dua buah tas, dan satu koper. Tak ada yang ringan di pundak. Meninggalkan barang-barang yang kutinggal juga sebenarnya tidak ringan. Saat sore menjelang Ashar, ada satu orang teman lagi yang ingin membawa dan menjaga buku-buku yang selama ini kumiliki. Usai diambil, ada rasa kosong. Ah, ditinggal pergi lagi.. sama buku-buku yang telah begitu berharga buatku. Agak berkaca-kaca, tapi ya udah gapapa. Semoga mereka jadi lebih bermanfaat lagi di tangan temen-temenku :”).

       Masuk Ashar, aku memutuskan untuk shalat di dekat kosan. Dari sini aku merasa tak nyaman dan memiliki firasat buruk. Bahkan saat berdzikir. Apakah langkah yang tepat aku berdzikir? Apa nanti nggak akan telat? Akhirnya kucepatkan dan aku langsung pulang.

       Pulang, koper yang kupunya terlalu besar untuk dibawa oleh motor. Kukira awalnya begitu. Akhirnya aku memutuskan memesan G*-Send. Lama menunggu, akhirnya mamangnya sampai, dan gak mau masuk ke dalam gangku untuk mengecek barang. Pun ketika kusebut ‘koper’, Mamangnya langsung auto ogah bawa. wkwk. Ya udah deh Mamangnya kukasih bawa dua tas ranselku dan aku bawa koper. Di bagian depan motor, dengan posisi tidur, dan berakibat motorku ga bisa muter seperti seharusnya dia muter. Karena ketahan sama koper yang telentang di depan badanku itu.
Berangkatlah kami ke Stasiun Bandung. Sang Mamang dengan tas ransel, dan aku dengan koper beriringan. FYI, stasiun keberangkatanku ke Surabaya itu dari Kiaracondong, tapi ada amanah dari abi untuk mengirimkan motor ke Surabaya, dan itu di Stasiun Bandung. Firasatku sempat memburuk. Karena itu jam 15.35 dan aku baru berangkat dari kos-kosan. Padahal masih harus ke Stasiun Bandung, mengurus pengiriman motor, lalu ke Stasiun Kiaracondong. Secara jarak sudah lumayan, tapi diperburuk dengan kenyataan bahwa itu adalah sore hari dimana orang-orang banyak pulang kerja, dan mencari buka puasa. MACET boyyy.

       Kupaksakan berangkat dengan memaksa tidak usah memikirkan hal-hal buruk. Fokus pada keamanan keberangkatan ke stasiun saja. Koper di depanku ini sudah bikin agak waswas. Akhirnya aku dan Mamang sampai di Stasiun Bandung sekitar jam 16.15. Aku agak lega. Masuk ke kargo L*H, dapat kabar shocking, pengiriman motor udah gak bisa di kargo itu. Panik. Berarti motor ga bisa dibawa. Berarti harus diparkir di stasiun. Ditinggal sekitar 1 minggu, semisal semalam 10 ribu, berarti seminggu 70 ribu. Mending kalau bukan 20 ribu/malam. 

Okeh okeh. Kucoba menenangkan diri.

       Oke berarti kutinggal di stasiun. Cuman sekarang, Sang Mamang sudah pergi dengan senyumannya, tinggal aku yang bingung di depan kantor kargo. Dua ransel, satu koper ukuran besar, snack. Okeh, kalau tadi koper bisa dibawa, insyaAllah optimis sekarang tas tinggal kucangklong-cangklongkan, somehow akan bisa kubawa. *Maksa*. Jeder. Mendadak aku kehilangan kunci motor. Panik. Cari di saku. Nihil. Tas, Nihil. Apa udah diambil orang? Tapi kok motornya masih ada? Aduh… Balik lagi ke kargo. Nanya,

“Pak, apa tadi saya nggak naruh kunci di sini?”

“Nggak, mas.” Nihil.

Balik lagi ke motor. Mikir-mikir, sugesti-sugesti menenangkan diri. 

Tenang, kalau kamu panik gak akan bikin kamu bisa lebih terjamin sampai stasiun Kiaracondong, Haw. Tenang, tenang.

Okeh, tenang. 

       Cek lagi yang mungkin terlewat. Dan… di kantong ternyata kuncinya. Asyiap.. Petak umpet di waktu kritis. Oke men. Jadi udah jam 16.25 dan keretaku jam 17.02 di stasiun Kiaracondong. Busyet. Mukjizat dari Allah kalau bisa sampe. Antara waktu diperlambat, atau keretaku dibuat terlambat berangkat. Yang ternyata yang terjadi, yah baca sampe akhir yaa, ujian kesabaran buat pembaca nih, hehe. 

       Oke aku berinisiatif untuk berangkat seperti bagaimana aku berangkat ke Stasiun Bandung. Pesan G*-Send untuk membawa ranselku. AIHGDILSJBDNLKJSHNPWEOIHF. Mamangnya malah mangkal di depan hotel zodiak. Nunggu 3 menit. Trus dia yang cancel sendiri. ASDIUEWEF:KA. Entah apa rasa di hati ngedongkol setengah mati. Mang, kenapa diacceptttt!

       Ya sudah. Emang berharap sama manusia mah gitu. Sakiye kiye. (Apasik, pokonya sesuka-suka lah. Gak paham apa ini ada orang pusing setengah mati). Jadi.. usut punya usut, satu tombol cancel yang kamu tekan bisa berakibat fatal pada kehidupan seseorang, gaes. Ingat. Nanti kalian ngerti maksudnya.

       Beneran ngerasa bodo. Kalo di-cancel ngapain aku pesen segalak. Yauda fix berangkat sendiri. Paksain koper di depan, tas ransel bawa, snack taruh dalem jok. Wah fix panik. My heart is racing. Eh sorry, was racing. Lihat jam, 16.30. Lihat google maps, ke Stasiun Kircon butuh waktu 32 menit. Okeh, I accept the challenge!

       Dengan sok-sokan mengingat lagi bahwa selama ini kalau aku sudah berangkat belum pernah tuh terlambat. Paling buruk ya kereta udah mau jalan. Which is udah buruk juga sebenarnya.
Jalan lah. Tab ber-google maps ditaruh di atas koper, ditahan sama setir motor. Dan perjalanannya berlangsung kira-kira begini.
  1. Belokan pertama, setelah lurus dari stasiun Bandung, ke kiri.
     
  2. Ke kiri lagi. One and first mistake. Aku harusnya ambil belokan kiri yang lewat stasiun. Karena biasanya gak macet. Paling pelan-pelan aja supaya motor ga rusak. Tapi seenggaknya bisa jalan terus. Sedangkan jalan yang kuambil.. Macyett mak e. Awalnya nggak tapi lama-lama makin tampak meyakinkan macetnya.
  3. Lewat balai kota, lancar. Trus belok kanan.
  4. Lewat jalan yang deketnya BIP tapi ke arah Antapani, lancar.
  5. Jelang mendekati Antapani, ada tuh satu macet lagi, deketnya Bandung workspace. Lampu merah. Aku ke kiri, lampu merah ngelarang ke kanan. Oke fix nungguin orang-orang pas udah lampu ijo. Mikir buat jalan di trotoar, masih maksa idealis. Second mistake.
  6. Akhirnya jalan, trus masuk ke daerah sekitaran Antapani, ehhh, malah sempat kelewatan di satu belokan. Terpaksa puter balik. Dan you know lah ya, dengan koper segede eta di depan, puter balik itu kek mundur kiri, maju kanan. Gitu ae terus sampe di belakangku itu udah ada sampe 3 akang-akang naik motor yang ngantri. Selemot itukah aku gaes? Emang. Third mistake.
  7. Akhirnya lanjut lagi, masuk jalan kecil, ga bisa ngebut. Banyak anak kecil. Jalannya juga udah lumayan padet. Kayaknya semua yang motor pada ngikut saran dari googlemaps. Selow lagi lah. Bahkan yak, waktu di jalan itu kan aku sempat maksa nyerobot jalur kanan. Eh, ada bapak yang kesel. Sengaja dia diem, nunggu aku lewat, trus dimiringin spionnya ke spionku. Bunyi.

    Wah yakin, bapaknya kesel banget ini.

    Tapi ya maaaaf banget pak. Saya ini udah panik level akut. Terakhir saya gak bisa pulang karena hangus tiket kereta berlanjut dibelikan tiket pesawat. Tiket pesawat pertama missed. Tiket pesawat kedua missed. Dan berakhir aku gak bisa pulang ke salah satu pemakaman keluargaku. Kek semuanya membenci. Sudah cukup, pak.
  8. Keluar, udah sampai jalan antapani. Alhamdulillah. Puter balik, teruss, bertemu macet lagi. Maksa. Ambil jalan trotoar. Dan waktu kucek HP, udah jam 17.02 my boyy. Sesuai dengan prediksi googlemaps yang mengatakan 30–33 menit. Padahal aku udah ngusahain ngebut di semua jalur yang itu lancar. Gilee emang keren banget googlemaps.
  9. Dan terdengarlah suara itu. Tiiduu tiiduu tiiduu.. Pertanda palang penutup jalur kereta api diturunkan. Ada kereta api yang mau lewat. Dan fix aku yakin kalau itu keretaku berangkat. Oh Allah, ampuni dosa hambamu ini.. Ini bukan guyonan ya, tapi aku memang langsung introspeksi gitu. Beneran yaa, Allah kalau kasih adzab itu ya segera ya bisa aja.
  10. Maksain masuk ke stasiun dulu sampe lihat dengan mata kepala sendiri, eh ada kejadian lagi. Tiang palang tiket untuk motor rusak. Aku di antrean ke-3 motor yang masuk dan mamang di depan kaga bisa masuk. Tiketnya gak keluar-keluar. Fix, tanda selanjutnya dari Allah ini mah.. Yaudah, aku ambil tiket mobil dan maksa masuk.
  11. Sampe. Udah gak peduli, cuman bawa tas ransel yang isinya laptop. Motor dan koper dan tas kecil satunya kutinggal. Peduliiii. Mau tau keretaku udah berangkat atau belum.
  12. Ada mamang yang ngangkatin koper kutanya,

    “Mang, kereta Mutiara Selatan sudah berangkat? (jam 17.10)”

    “Oh ya sudah mas.” (sakit)
  13. Puyeng sebentar. Apa kata orangtua? Gimana kalau telat pulang, gimana kalau ga ada tiket? Gimana kalau ga pulang? Padahal udah dibeliin tiket sekeluarga untuk mudik luar jawa? Dan aku gak jadi pulang? Ah.. duh. Pusing da aing.
  14. Balik lagi ke motor dengan loyo. Dan baru sadar kalo lampu motor masih nyala. Okeh. Tadi aku ninggalin gak cuman koper dan tas, tapi juga motor yang kuncinya masih nancep di lobang kunci. Jenius ya.

    Yang ini bersyukur banget sih. Alhamdulillah sama Allah gak dihilangkan juga motorku. Bisa panik bertingkat-tingkat. Ya Allah, cukupkan adzab-Mu pada hamba di dunia saja, jangan kau adzab hamba lagi di akhirat..
  15. Oke, cabut kunci. Hmm, kalau gak ada tiket lagi, berarti aku harus naik motor ke Surabaya. Ya, supaya aku bisa pulang, motor bisa pulang. Cek googlemaps. 15 jam naik motor. Hmm, sama kayak naik kereta dong. Oke mantapkan tekad. Trus liat ke tangan lagi, kek udah melepuh-melepuh ringan gitu gara-gara harus nahanin setir supaya motor tetap di arah yang benar dengan beban bawaan dan setir yang ketahan sama koper. Mikir.

    Yakin, haw?

    Apa balik dulu, lengkapin perlengkapan touring, baru berangkat?
  16. Setelah mikir sebentar, aku ingat bahwa ada fitur Go-show, atau beli tiket ke luar kota, yang bisa dibeli hanya di loket, tidak di traveloka atau online lainnya. Untuk pembelian tiket-tiket yang dalam waktu sebentar lagi. Informasi ini kudengar saat kemarin-kemarinnya aku meng-cancel tiket-tiket ku yang lain. Alhamdulillaah. Ada setitik cahaya harapan agar aku bisa pulang hari ini.
  17. Setelah mastiin kunci motor tercabut, aku balik ke stasiun lagi. Nanya mamang-mamang porter, dan katanya,
    “Coba ke loket 1, a’.”
    Allaaah, masih ada harapan.
  18. Fix ke loket 1. Di depan ada 2 ibu-ibu. Yg paling depan cancel tiket, lumayan lama. Yang kedua ada ibu-ibu beliin tiket untuk anaknya. Yang ini lebih lama lagi karena si akang-akang penjaga pos-nya ninggalin dulu berapa menit gitu. Time is ticking. Tick tock tick tock.
  19. Akhirnya sampe giliranku.
    “Kang, ada tiket untuk ke surabaya?”
    “Untuk kapan, mas?”
    “Hari ini atau besok.”
    “Wah kalau yang lama-lama mungkin bisa ke indomaret mas pesannya, bukan disini.”
    “Oh, iya kang, saya cari yang deket. Kalau hari ini gimana?”
    “Oh hari ini ya. Bisa saya cek-in dulu sebentar.”
    *tettorettoreet*
    “Ini ada mas malam nanti jam setengah 8, Turangga, eksekutif. Dari stasiun Bandung”
    “Berapaan kang?”
    “Di 690 ribu.”
    Okeh. Mahal. Gapapah. Daripada mengulang hal-hal tidak menyenangkan yang pernah terjadi.
  20. Bersyukur. banget. Akhirnyaaa..
  21. Oke ke Stasiun Bandung lagi. Sekalian deh ngecek apakah masih ada cargo yang bisa ngirim motor. Dan.. ada!! Ngurus cargo deh motornya bisa kutinggal.
  22. Trus makan. Dan menunggu.
  23. Phew. Akhirnya dapet tiket. Alhamdulillah. Dan disinilah aku, sedang menikmati fasilitas untuk kelas eksekutif. Meja yang disediakan untuk laptop dan makan, lalu ada ruang di bagian paling belakang gerbong untuk barang besar termasuk koperku. Dan ya tentunya kenyamanan seperti bantal dan selimut.
Banyak hikmahnya.
  • kalau terjadi hal buruk dan kamu sedang panik, mungkin gak usah cerita ke orangtua dulu kalau itu bisa memicu mereka memperpanik suasana. Selesaikan dulu sendiri dengan tenang, dengan caramu sendiri. Kalau memang sudah buntu, baru komunikasi dengan orangtua.
  • Sesungguhnya adzab di dunia masih ribuan atau mungkin jutaan kali lebih baik dari adzab di akhirat. Hangus tiket gak ada apa-apanya dengan hangus kulit diadzab, naudzubillah.
  • Terus berprasangka baik sama Allah. Introspeksi. Ridho sama apa yang sudah Allah putuskan.
  • Jangan sebego itu bikin kalkulasi keberangkatan setelah shalat Ashar padahal masih ada banyak kerjaan gitu. Ya mungkin lain kali shalat Asharnya di stasiun aja.
  • Gak usah nyalahin temen, entah kek nyalahin, wah dia yang ngambil buku kelamaan. Atau wah dia ga mau nganterin sih! Dsb. Karena itu tidak akan memperbaiki keadaan sedikitpun. 
  • Balik ke poin sebelum2nya, gak usah sekecewa itu sama apa yang Allah putuskan. Pasti ada kebaikan, pelajaran, peringatan, dan hikmah di balik apa yang Allah putuskan. Walaupun pahit. Mirip halnya dengan obat.
  • Kadang memang perlu untuk melewati batasan idealis. Tapi kalau toh ternyata maksain idealis (misal untuk tidak mau nembus lampu merah, atau ga mau jalan di atas trotoar) bisa membuat kamu tetap nyaman walaupun harus bayar tambah 690 ribu sih ya silahkan. Its a choice, apakah mau mempertahankan prinsip, atau mau membayar lebih. Kadang membayar lebih bisa jadi adalah pilihan yang lebih baik dan Allah ridhoi. Supaya aku introspeksi.
Share: