Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Monday 23 March 2015

Begal, Korban (sekaligus pelaku) Kekejaman

       Akhir-akhir ini, aksi kekejaman yang dilakukan oleh begal terhadap korban-korbannyanya sudah semakin beringas. Terakhir, di Ibukota negara kita, Jakarta, kasus begal terjadi. Seorang juragan beras dipepet oleh 2 orang yang berkendarakan motor, 1 menebaskan celurit ke badannya, yang 1 menembakkan pistol ke arah perutnya. Saya kurang bisa mendengar akhir dari berita yang saya tonton di TV itu dengan baik, apakah akhirnya korban meninggal atau tidak. Yang jelas korban sempat dilarikan ke rumah sakit(terlihat di TV). Begitulah, perilaku begal sekarang semakin beringas.

       Namun, sadarkah kita akan kekejaman yang lebih mengerikan daripada itu? Menurut saya, ada. Pemerintah telah melakukan beberapa kekejaman yang telah memengaruhi khayalak orang banyak, bahkan begal pun turut terpengaruh. Begitu banyak orang menderita karena naiknya harga BBM, harga listrik, harga cabe, beras, dan bawang merah di pasaran. Kesemuanya benar-benar membuat saya merasa sedih. Pernahkah anda berfikir tentang kekejaman yang satu ini?

Seandainya orang yang dahulu selalu makan beras bagus, mungkin sekarang ketika mereka makan, mereka mulai mencampurnya dengan beras kualitas sedang.
Bagaimana dengan orang-orang yang dahulu makannya nasi aking(kerak yang biasanya ada di bagian bawah dendeng), sekarang makan apa? Nasi jagung?
Kalau begitu, bagaimana dengan orang-orang yang dahulunya makan nasi jagung? Kerak jagung?
Yang benar saja.

       Walaupun tanpa bukti, saya yakin pasti banyak orang di luar sana yang menjerit karena lilitan harga yang selalu naik dan (hampir)tak pernah turun. Jangan dikira dengan harga BBM dan harga listrik yang fluktuatif, saat ia turun akan mempermudah masyarakat. Banyak terjadi di negara kita ketika harga barang sudah naik, ia susah untuk turun. Apa pemerintah sadar akan itu?

       Hal tersebut juga dialami oleh begal. Menurut saya begal telah merasakan kekejaman dalam bentuk lain tersebut. Belum lagi dengan adanya pernyataan pemerintah tentang Moratorium / Pemberhentian penerimaan PNS baru.
Begal, rata-rata adalah orang-orang yang sedang berada pada masa produktifnya, masa-masa kerja mereka. Sedangkan kondisi di lapangan, apakah sekarang ada fasilitas lapangan pekerjaan yang mampu menampung sekian banyak lulusan-lulusan SMA ataupun Perguruan Tinggi? Menurut saya keberadaan moratorium, di samping sisi positifnya seperti memaksimalkan SDM yang ada, juga jelas akan menambah kasus pengangguran. Saya tidak menyalahkan moratorium PNS, tetapi saya juga belum mendengar alternatif pekerjaan tambahan dari pemerintah yang sudah cukup merakyat hingga sampai ke telinga saya yang notabene seorang mahasiswa yang sedang dalam masa produktifnya juga.

Lalu, harapan apa yang ada bagi begal, di tengah lilitan harga yang makin tinggi serta lapangan pekerjaan yang semakin sempit? Pernahkan anda coba memikirkannya dari sudut pandang tersebut?

“Berantas Begal”
       Menurut saya frasa ini adalah frasa yang sangat tidak empatik dan manusiawi kepada sesamanya. Memberantas begal, menurut saya tidaklah akan menghentikan peningkatan jumlah kejadian kriminal di Indonesia. Berantaslah dari akarnya, jangan hanya diberantas permukaannya saja! Turunkan harga BBM, harga sembako! Tunjukkan kepedulian pada masyarakat dengan membantu membuat lapangan pekerjaan baru, atau setidaknya dukunglah perusahaan-perusahaan atau usaha-usaha kecil dan menengah yang ada di masyarakat secara benar-benar nyata, agar cukup untuk terdengar sampai ke telinga saya yang kira-kira 2 hari sekali menonton televisi atau setidaknya membaca koran ini!

-          -  Muhammad Al-Hawari
  Seorang blogger mahasiswa


Share:

Friday 6 March 2015

Mantan Pencuri

Aku sampai sekarang masih ingat apa yang dikatakan temanku, Nardi, kepadaku di saat dia (menurutku) membela dirinya ketika melakukan sesuatu yang kurang pantas (menurutku).
Begini: "Lebih baik menjadi seorang mantan pencuri, daripada menjadi seorang mantan Ustadz, Bro!"
Maksudnya(interpretasiku sendiri) : Lebih baik pencuri(secara luas maksudnya adalah pendosa, apapun dosanya) yang taubat kemudian menjadi Ustadz daripada Ustadz yang kemudian maksiat kemudian menjadi pencuri.

Entah bagaimana, aku (dulu) terkadang merasa tersindir dengan ucapannya itu. Ucapannya pula yang (dulu) membuatku merasa takut, "Na'udzubillah," semoga aku bisa istiqomah dalam jalan kebaikan.

Rokok, sang pencuri kehidupan (dan saya ga suka asepnya -..-)

Tetapi, baru hari ini, aku tersadar kembali. Aku merasa ditampar setelah kesekian kali melakukan kesalahan, dosa yang sama. Aku baru sadar bahwa interpretasiku tentang diriku (sepertinya) salah. Aku bukanlah seorang Ustadz, aku bukanlah seorang yang sedemikian sholehnya sampai berbahaya kalau aku menjadi pencuri lagi. Aku masih belum sadar bahwa itulah aku.

Aku adalah bagian pertama dari kalimat itu. Aku adalah seorang 'pencuri'.

Aku, dari SMP hingga sekarang, masih lah seorang 'pencuri'. Berbeda, tetapi status nya sama. Aku masih melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh diriku yang dulu, si 'pencuri'. Ya, sekarang aku lebih jarang 'mencuri', tetapi aku masih 'mencuri' sekali-kali.

Bagaimana bisa setelah pukulan yang menohok itu sekarang aku memandang diriku sebagai seorang yang sholeh? Seorang yang 'baik' (tanda petik karena baik teramat sangat relatif)?

Ini bukanlah sebuah pembenaran bahwa aku memang seharusnya mencuri. Tetapi ini adalah sebuah kenyataan. Pil pahit yang perlu ditelan oleh orang seperti aku yang sering shalat Dhuha saja sudah merasa hebat. Rajin shalat jama'ah di masjid saja sudah merasa ta'at. Tidak pacaran saja merasa sudah benar-benar menjauhkan diri dari maksiat.

Begitulah kenyataannya, aku tetaplah seorang 'pencuri'. Dan aku akan bertaubat dan terus bertaubat kepada Allah hingga suatu saat nanti takdirnya menentukan bahwa aku sudah cukup menjadi 'pencuri'. Aku harus menjadi kepompong, lalu menjadi sesuatu yang lain yang hanya Dia yang tahu akan seperti apa skenarionya. Yang kubutuhkan, desperately in need, adalah kesabaran.
Share: