Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Sunday 31 December 2017

Cause and Effect : Why My Desire for Writing is Declining

       Recently, I started reading my old inspirational books about public speaking. This book is written by a great public speaker trainer once in his time, Dale Carnegie. Have you ever heard of The Quick and Easy Way to Effective Speaking? Probably not. I'll tell you that this book is so precious. I know it because on the first page of the book there's a certificate embedded to it saying that the book is presented for my uncle for his participation in the Dale Carnegie Training. This training, I found out later on a class when the lecturer suddenly talked about it, is worth about 3 millions per session, for about 6 meetings. It's like, wow. I've got suuper special opportunity to borrow it from him, and since then this book has changed my life so much I feel like only thanks won't be enough.
 
       Dale wrote many books, like this book, and How to Win Friends and Influence People, and I've also made one writing about his book here, titled Overcoming Worries and Stress. There are many golds (things I thought to be shiny, golden, in the form of everyday life's lesson) that he wrote in some of his books, but the one common thing I liked most about his books was that he often took the essence of the topic before he go deep down to details. Although it doesn't necessarily means that the essence is the most important lesson. Like at his previous book I mentioned, the technical detail he gave is the one that became gold to me, which is the essence of overcoming worry is to take action and to stop letting those worries paralyze me from doing so. Because the longer it took for me to take action, the longer these worries follow me around, making me feeling very uneasy about life. 

       I loved his concept in public speaking. Because to me, what he talks about isn't just about public speaking, but to also other things. Speaking is just one way to express something, or to communicate. What makes him special is that his lesson also correlates with other ways of expressing things and communicating, like the things that I love, writing. This time, I I'll quote you a paragraph which resonates so much with what I've been feeling lately.
-------------------------------------------------------------------------

The Art of Communicating : Delivering The Talk

Fourth : PUT YOUR HEART INTO YOUR SPEAKING

Sincerity and enthusiasm and high earnestness will help you, too. When a man is under the influence of his feelings, his real self comes to the surface. The bars are down. The heat of his emotions has burned all barriers away. He acts spontaneously. He talks spontaneously. He is natural. So, in the end, even this matter of delivery comes back to the thing which has already been emphasized repeatedly in these pages, namely, put your heart into your talks.

-------------------------------------------------------------------------
These words has been my magic ever since I started writing. It's all written here. I write to cherish my emotions. But, this time I'm going to tell you something different.

Some weeks ago, a friend of mine asked me advice and comments about both his personality and his performance. I gave him the advice in exchange for the same thing for me, advice, and comments. He told me something that moved and reminded me of my old love, he said in the part advice to reach your potential :

Keep writing.

It startled me. I realized that it seems like I almost lost my love for writing. No, I don't. If you try to look for the real cause, it all comes down to my reason for writing, emotions. I like the ups and downs that comes with emotions. It makes me want to express and share my life with others.

But, you see. If I stopped writing, you may guess, that my emotion is shut down. Often, it's true. Have you ever heard of the Dementor? Devils in the Harry Potter Series which drain human's life force anytime anyone meet them. Making them feel total sorrow, despair, losing hopes, anything that makes you want to live. I, too, have Dementor. It sucks away my emotions, my vitality and making me feel hopeless, emotionless, pretty much all those bad things you might not want to have.

Anytime the Dementor comes, I'd lost my emotion, and I'd lost my desire to share my life, my emotions, through my writings. :(


The guards of Azkaban, they feed on human happiness and
can extract souls with their Dementor's Kiss
I hope you'd be so kind as to pray for me to have the real expecto patronum (the mantra that's used to make the Dementors run away) so that I can wash away the Dementor so that I can pursue my real love for this life. Aameen.

Notes : you know what? What's interesting is that in the expecto patronum mantra, each person has a unique manifestation of themselves coming out from their magic stick. Harry has a male deer. Others have different animals imago. So, maybe I'll also need to know what I really have, what is the overall manifestation of my life? Maybe that's the one thing that I should strive for.

image source :
https://images.pottermore.com/bxd3o8b291gf/2V4OKZhiiQYEKgm2somWO2/a97b1fd2bb8e4893073729753b222923/WB_F5_DementorsKissHP5-FX-00049.jpg?w=1200
Share:

Friday 22 December 2017

"Nggak Bisa " —  part 2.2 : Pemupukan Idealisme

.. continued from “Nggak Bisa”  —  part 2.1

       Bibit kebiasaan ini, kebiasaan untuk memiliki jarak dengan lawan jenis, ternyata tidak berhenti hanya selama aku berada di pondok. Ia terbawa sampai saat aku pindah SD saat kelas 5 kembali ke daerahku. Sekolah Islam tempat kami berada ternyata memiliki suasana yang mirip seperti di pesantrenku, meski untungnya itu hanya sikap childish kami saja. Meski jumlah kami satu kelas hanya sedikit, total hanya 14 an orang, rata-rata hubungan kami semua dingin. Meski terkadang tentu hal-hal seru kami lakukan bersama seperti berbagi mimpi selepas SD, dll. Akan tetapi, secara overall, hubungan kami memiliki 'jarak', baik itu fisik maupun kedekatan.

       Berlanjut ke sekolah menengah, di SMP maupun SMA aku sudah tidak berada di sekolah Islam dan masuk ke sekolah negeri. Saat SMP, aku jadi tidak berusaha terlalu dekat dengan teman-teman perempuanku, dan ya kalau berteman ya alakadarnya. Kalau suka biasanya malah jadi ga berani ngobrol. Ya, begitulah. Seringnya aku sibuk dengan diriku sendiri dan games yang sedang kugandrungi saat itu. Paling pernah dekat sama teman perempuan nya cuman pas aku lagi mempersiapkan diri belajar fisika bersama sebagai percobaan menuju olimpiade. Sisanya ya main sesama cowok sih. Meski, ada dampak buruk yang mulai kukenali juga terkait perempuan pada masa ini.

       Berlanjut ke masa SMA-ku, awalnya aku biasa saja berteman dengan lawan jenis. Malah, saat aku mulai menjadi calon panitia MOS, aku mulai menjadi pribadi yang aktif, yang sangat suka berdiskusi, yang paling pertama menyapa orang lain. Satu hal yang aku ingat adalah masa ketika aku mengikuti kegiatan LDKMS (Latihan Dasar Kepemimpinan dan Manajemen SMALA). Saat itu, tahap dua dilakukan di luar kota, di hutan-hutan, tapi aku lupa di mana. Saat itu ada jelajah malam, dilakukan dalam kelompok berdua-dua, dan harus melewati sekian pos. Aku ingat, saat itu pasanganku adalah adik kelas berkerudung, dan karena kebiasaanku, akhirnya aku minta daripada kita pegangan tangan, aku tawarkan agar kita memegang satu kain yang sama saja. Jadi agar kami tetap saling bersama saat perjalanan, kami terhubung oleh sebuah kain. Pada akhirnya, kami berhasil menyelesaikan pos dengan baik (meski sempat hampir tersasar, sih) :).

       Tak lama kemudian, saat kelas XI SMA aku mulai ditarik untuk mengikuti kegiatan keislaman dan kebiasaan ini mulai menguat lagi. Rapat pengurus ikhwan dan akhwat di sekolahku biasa dipisah dengan hijab shalat yang tingginya sekitar 2 meter, jadi kami tidak bisa saling melihat. Obrolan dilakukan melalui bagian bawah hijab yang ada lubang sekitar 30 cm. Lalu, saat sedang ada agenda kumpul besar, anggota ikhwan dan akhwat biasanya ada jarak. Hal-hal ini menjadi pupuk yang semakin menggemburkan idealisme dalam diriku tentang pentingnya jarak antara laki-laki dan perempuan.
       Saat SMA itu pulalah aku mengenalnya, mengenal dia.

.. continued in “Nggak Bisa”  —  part 2.3
Share:

Tuesday 5 December 2017

Review 2 Cinta dalam Ikhlas : Baper :(

Alhamdulillah,

Buku Cinta dalam Ikhlas karya Kang Abay berhasil kuselesaikan dengan 'sedikit' melupakan dunia sekitar dan tanggung jawab. Tapi untungnya gak terlalu urgent sih. Dari pagi sampe menjelang sore, habis deh.

Satu kata dulu : parah. Dua kata : off-side. Tiga kata : so sweet banget. Empat kata : Ini beneran kisah nyata?

Jadi namanya offside itu saat serangan dari tim lawan(biru) itu kelewat batas.
Dia nyerangnya sampe di depannya pasukan merah paling belakang, itu ga boleh.
       Dan berakhir pada sebuah kondisi dimana aku mulai meragukan ke-nonfiktif-an dari kisah yang diangkat di novel ini. Kayaknya emang beneran fiksi deh. Tapi, kalau fiksi, penulisnya itu cowok. Terus buku ini adalah buku pertama yang dia buat. I'd rather believe bahwa ini adalah kisah pribadi beliau yang diubah-ubah sedikit. Why? Karena di bagian awal juga disebutkan di bukunya bahwa ini teruntuk Teteh tercinta, dan dikisahkan bahwa Teteh dari Athar sang tokoh utama meninggal. Jadi, prosentase kemungkinannya cukup besar bahwa ini diangkat dari kisah nyata.

       Mungkin hanya segitu dulu aku mengangkat tentang ketidakpercayaanku akan isi dari buku ini. Harapannya kalian penasaran, kenapa sih buku ini segitu terasa unreal, tidak nyata?

1) Ara.
       Kelewatan. Tokoh Ara disini menurutku benar-benar tokoh yang terlewat baik, sabar, dan indah untuk dikisahkan. Bersabar dari SMA menanti sampai masa kuliah. Menjawab lamaran dari Athar dengan jawaban yang membuat siapapun (mungkin) cowok akan meleleh. Atau nggak ya. Gak tau deh. Pribadi yang supportive, shalehah, dan percaya sepenuh hatinya sama Athar.

2) Jalan Hidup Athar.
       Jalan hidupnya berlika-liku dengan cukup unik. Menurutku masih cukup realistis. Hanya mungkin memang di bagian akhir yang menjelang waktu-waktu terakhir melamar Ara ini yang agak mencurigakan. Apa ini setting-an? Tapi ya tetep salut sih sama pribadi yang berjuang dengan kerasnya, terus bisa tetap  sabar menjaga hati untuk satu orang. Ini juga yang kumaksud pada tulisanku di sini.

       "Saat mata seorang lelaki terpaku pada keindahan satu orang perempuan, biasanya itu bisa dikompensasi dengan keindahan perempuan lain. Bukan hal yang terlalu menyulitkan jika ia tidak melihatnya sekian lama. Tapi jika hati seorang lelaki terpaku pada hati seorang perempuan, the world changes. Berpisah dengannya bukan hanya berarti terpisahnya kedua hati, tetapi juga terpisahnya sang lelaki dengan dunianya."

       Buatku buku ini luar biasa. Tentang menjaga agar hati tetap ikhlas, entah apakah harus menyebutnya kosong. Menjaga agar hati ini tetap ada kekosongan yang bisa diisi oleh seseorang yang kita tak pernah tahu siapa yang akan mengisinya. Terus dan terus percaya bahwa keputusan terbaik bukan di tangan kita, tapi di tangan Yang Maha Kuasa.

       Terakhir, percaya bahwa rencana-Nya lah yang terbaik. Terus berusaha untuk menjadi pribadi terbaik. Maka Tuhan akan mempersatukan kita dengan kesempatan-kesempatan baik yang mungkin tidak akan pernah bisa datang setiap saat. Mendekat kepada-Nya (sulit :(( ) dan menjaga hati untuk-Nya terlebih dahulu.
Share:

Sunday 3 December 2017

From Loki to Ueki

       Dulu, waktu SD aku paling suka sama karakter Loki. Well, gara-gara baca komik Meitantei Loki sih. Aku suka kemampuan magis nya, dan kemampuannya untuk bercanda kelewatan :)). Sebagai seorang anak kecil, aku melihat sosok Loki di komik tersebut, yang juga dalam wujud anak kecil, seperti sesosok pribadi teladan. Terus, selepas SMP aku makin suka dengan tokoh ini karena filosofinya : bahwa setiap manusia itu punya sisi dewa Loki yang ia punya. Sisi trickster 'penipu' yang sering kali gak ingin dia perlihatkan pada orang lain. Sebuah asumsi awal yang aneh tentang dunia, meski mungkin pada beberapa aspek benar.

       Aku kemudian waktu SMP mulai mengenal Ueki di komiknya The Law of  Ueki. Sepak terjangnya luar biasa :) Gimana dia suka nolong orang dengan cuma-cuma. Emang orangnya jadi agak cuekan saat melakukan kebaikan gitu. Tapi jiwa ingin memberi manfaatnya itu lho, luar biasa. Saat diberi opsi kekuatan-kekuatan apa yang ingin dia miliki, dia gak pilih kekuatan yang semisal membuat dia lebih kuat, atau lebih berduit, atau apa. Dia lebih memilih untuk mengambil satu kemampuan innocent tapi manfaatnya super : kemampuan untuk merubah sampah menjadi pohon.

       Belajar dari loki berarti belajar untuk mempercayai bahwa ada dualisme dalam kepribadian seseorang. Belajar dari ueki berarti belajar untuk memberikan sesuatu kepada orang lain secara tulus dan gak mikirin apa yang orang lain pikir. Belajar dari ueki, berarti percaya bahwa saat berbuat kebaikan, ada satu asumsi yang harus terus tertanam : Justice is never rewarded. Keadilan itu tidak pernah dihargai. Sebuah asumsi yang membuat diri kita terus dan terus berbuat tanpa pernah berpikir apa reward yang akan diterima dari orang lain.

       Selama ini, aku merasa telah menanamkan sebuah sudut pandang negatif dalam diri ini. Bahwa tidak ada perubahan yang sepenuhnya terjadi, bahwa ada sisi Loki yang selalu ada. Tapi sekarang aku mau lebih jujur, lebih berani, dan lebih frontal dalam menjalankan perubahanku. Yakni melakukan transisi idola dari awalnya Loki menjadi Ueki. Dari keragu-raguan bahwa setiap orang pasti memiliki sisi buruk menjadi keyakinan bahwa there's nothing better than doing kindness to others.

Mohon do'anya :)

P.S.: Semoga temen-temen yang mau berubah juga bisa diberikan kesadaran dan kepahaman bahwa setiap orang berhak untuk menjadi lebih baik. Setiap orang bisa menjadi lebih baik. Asal ada usaha, do'a, dan pertolongan dari Allah.
Share: