Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Sunday 28 February 2016

Marriage - The Gate to Divorce


       Here in this place, in ITB, with most of my friends being the kind of people who didn't want to make an uncommitted relationship with someone of their opposite gender, I learned some quite special things about marriage. We are the people who think that marriage is much better than having a temporary boyfriend or girlfriend. It gives us more time to chat with friends, it doesn't distract us from our top priority mission which is studying, it removes a whole lot probability of problems which may arise by having one, or maybe like me, it makes me appreciate my future wife even more. I need someone who put being with me in her priority, so the one thing I should never do is to hurt her intentionally(regardless of the traits or qualities that she has). Especially, comparing her with another woman, particularly, a woman from my past, or even worse(imaginary women, or pixelated women, if you know what I mean). Something I tried to do endlessly. So, consciously choosing to be single all this time is my way of proving that I'm trying not to have someone whom I can compare her to. I, for once, ever get close to someone -- kinda obsessed, actually. But then after a while, something like the Indonesian paraphrase "bertepuk sebelah tangan" thing happened, I felt really really down. From that moment on, I hoped to myself that I will not get myself attached to any girl, any woman I know, ever again. Not one except for my wife :"

Waa waa, why am I telling all those stories again here? Well, let's get back to the point.

       So, what I'm trying to say here is that I often encounter talks about marriage here with my friends. I think lots of them think of marriage as something which is pleasing. It brings us smile and laughter when we talk about it. You know, in my own views, of course it's logical for us to think of it that way(re : pleasing) because it's like we've been abstaining from having someone of the opposite gender to get close to us. Pretty much analogous to fasting, in some way, and the marriage itself is like the end of our fasting. That's why it sounds pleasing to us. Finally, we've someone beautiful and caring by our side. Indeed, it rings very beautiful in the ears. Unfortunately, it seems like very little people talk about the opposite(or maybe the end) of marriage, divorce.

       The first time I ever had a talk about divorce is when I'm at my 10th grade in my sociology class. I still remember my teacher's name, she's the very famous teacher who gives quiz in which no one can get the score of over 40/100. I remembered that at first, she talked about recent social problems in Indonesian culture. Near the end of the class, the topic somehow turned into divorce. At the beginning of the discussion I was on the side of the guys who thinks that divorce is okay if the condition seems inevitable. I forgot about most of the discussion, but I did remember about the end of the discussion, the message my teacher tried to send to us clearly : "Divorce, at any condition, is never a good thing." That's the one thing that I still remembered up till now. I was trying pretty hard to understand what that means, but as time passes I think I've come to understand more about what she was trying to convey.

"Divorce is never good for the children."
"Divorce is one very egoistic decision parent can make about their family."
"Divorce is not the solution, it's just two people running away from the problems that they have made."

       So, rethinking about divorce, I now started thinking about what kind of a husband I will be in the future. Am I going to change so much? Because I've seen in many stories which is about people going through their dark times, they changed dramatically in their 30s or 40s. It may well be caused by internal factors like faith, depression, or even some kinda childhood things that many people don't bother at all, although actually it matters a lot. Or maybe, external factors, maybe I got kicked out of the company I worked in, or I got fast and quick promotions many times, or maybe I got strange friends which succeed in changing me, or anything. Anything that may change my personality. Well, no one knows about the future. No one knows whether they will always be husband and wife, or become an ex-husband and ex-wife after some time.

------------ Kamu tahu kesimpulannya? Aku khawatir. Because I've seen it happening :(

Notes : So, maybe you think you wanna be someone's partner in the near future because of what you've seen in her/him now, but are you ready for that change? Are you ready?
Share:

Sunday 14 February 2016

Overcoming Loneliness - Part 2

Hubungan Romantis - Alkohol Jenis Baru 

---------------------------------------------------------------------

       Hubungan romantis tampaknya adalah kamuflase paling umum untuk menutupi rasa fragmentasi. Ketika kita kesepian, adalah hal yang masuk akal bahwa kita butuh seseorang yang kita spesialkan! Masuk akal dan begitu dingin, seperti sebuah transaksi bisnis. Seorang pacar laki-laki/perempuan, sebuah kekasih, seseorang, siapapun! Kita telah merendahkan mereka hanya sebagai kamuflase belaka bagi kesedihan kita -- tidak ada bedanya dengan penyalahgunaan alkohol, suara keras dari televisi kita, atau menghabiskan waktu menelepon sampai benar-benar ada orang yang bisa ada di samping kita -- kayak kita punya waktu untuk dibuang-buang aja!
Hubungan seksual adalah suatu momen dimana kita bisa berada paling dekat dengan orang lain, pada level fisik, dan itulah alasan mengapa ia terasa begitu memuaskan. Dan ketika kita melihatnya dengan lebih tajam ke dalam hati kita, rasa fragmentasi muncul sebagai sebuah kebutuhan untuk dekat, menempel, untuk melebur dan menjadi satu dengan orang lain. Berapa orang yang sadar akan kekurangan itu? Seberapa umum kah perasaan mendasar pengasingan(alienation) manusiawi tersebut? Ya, cukup umum untuk bisa muncul pada sebuah tes psikologi yang sudah terstandarisasi.
       Dan akhirnya kita mencari 'seseorang' untuk menghilangkan perasaan itu. Ketika kita bersama dengan 'seseorang' tersebut, kita bisa melupakan pikiran-pikiran di alam benak kita tentang perasaan kejanggalan(disharmony). Tiba-tiba saja, keberadaan kita tampak seperti ada makna nya. "Aku tidak sendirian!" Kita berseru, saat kamu bercumbu, berpelukan, dan berciuman. "Aku dibutuhkan oleh orang lain, aku diinginkan! Aku cantik, aku diinginkan, aku berharga! Aku sudah tidak sendirian!"
       Dan ternyata, itu semua hanyalah penyamaran belaka hingga kapan pun. Bahkan, ketika kita bersama dengan orang yang kita cintai, kita masih tetap seperti kita yang sebenarnya - sendirian.
       Beberapa minggu yang lalu, Aku menonton sebuah film dokumenter tentang sebuah cabang kebudayaan - "Host" culture, pada sebuah distrik klub malam pada sebuah negara makmur. Film ini bercerita tentang pria muda tampan - dengan mengenakan pakaian yang menyolok mata, sangat terlatih pada merayu dan menggoda, dibayar untuk menunggui dan bersantai-santai di bar-bar spesial. Mereka menjadi "host" (semacam pelayan atau lelaki panggilan) bagi banyak wanita - seringkali yang muda, cantik, dan kaya - yang membayar perusahaan-perusahaan, untuk belaian dan cumbuan, dan untuk gombalan serta rayuan.
       Film ini terfokus pada "host" terbaik di kota - seorang lelaki menarik yang memiliki barnya sendiri. Hidupnya adalah mimpi setiap orang. Kejagoannya terkait urusan wanita telah membuat pria lain langsung berwajah pucat(minder, red.) ketika dibandingkan dengannya. Ia merebut wanita-wanita dari suami dan dari pacarnya. Wanita-wanita bertarung untuk mendapatkannya, terkadang secara fisik, terkadang dengan (berlomba-lomba, red.) memberinya uang, dan ia pulang dengan wanita yang berbeda setiap malamnya. Tampaknya ia adalah orang terakhir di bumi untuk merasa terasingkan dari orang lain.
       Menjelang akhir dari film dokumenter tersebut, aku ingat pada sang pewawancara bertanya padanya apakah semua yang ia lalui berarti baginya. Ia menundukkan kepalanya dan menarik napas panjang. "Pada beberapa tahun pertama semuanya sangat menyenangkan. Tetapi setelah beberapa lama... Aku tak tahu. Ini sudah tidak penting lagi. Aku adalah lelaki paling kesepian di dunia."


----
Ini adalah akhir dari lanjutan ke-2 ku tentang Overcoming Loneliness 'Mengatasi Kesepian'.
Post ini adalah lanjutan terjemahan dari post yang sebelumnya, 
http://lokiarawarisan.blogspot.co.id/2014/08/loneliness-beginning-of-romance.html
dengan harapan agar semua pembaca bisa lebih memahami maksud dari post tersebut. Sumber aslinya didapat dari urbanmonk.net, yang sayangnya sudah ditutup karena kontrak website tersebut tidak diperpanjang oleh Albert, sang pemilik website.
Semoga membantu :)
Share:

Tuesday 9 February 2016

Teh. Neng. Bersediakah kamu untuk duduk di sebelahku?



       Peluit kereta telah ditiup. Suaranya saling bersahut-sahutan, awalnya terdengar begitu dekat, lama-lama menjadi begitu jauh. Hingga akhirnya dibalas oleh suara "dooong" besar tanda keberangkatan kereta. Aku berada di gerbong terdepan kereta perjalanan menuju kampung halamanku, Surabaya. Tadi, kami baru saja berhenti di stasiun Solo Balapan. Untuk kesekian kalinya penumpang naik ke atas kereta, masih saja tidak ada penumpang yang bersedia untuk duduk bersamaku. Dari awal keberangkatanku di Bandung yang diwarnai dengan sedikit kegelisahan dan kepanikan akan keterlambatan, hingga sekarang, aku masih saja merasakan sedikit kekosongan itu. Sebuah rasa bahwa aku seolah begitu egois karena orang lain semua duduk berdua, sedangkan aku dengan enaknya menempati dua kursi sekaligus. Apakah itu, atau ini adalah rasa yang lain? Aku menebak-nebak.
       Kekosongan di kursi sebelah ini cukup mengintimidasiku. Aku sedari kemarin mencoba untuk tidur hanya di satu bagian dari kursi, berharap akan ada orang lain yang mengisi kursi ini, bersamaku. Entah kenapa, aku berharap ia adalah seorang perempuan. Memang, sudah lama semenjak aku terakhir kebetulan harus duduk bersebelahan dengan perempuan. Dulu ketika keberangkatan pertamaku merantau dan meninggalkan Surabaya, menuju Jakarta, aku duduk bersama dengan seorang perempuan dengan sepatu yang membungkus menutupi hingga 10 cm di atas mata kaki dan berumbai-rumbai. Dan semenjak itu, aku tak pernah lagi duduk bersebelahan dengan seorang perempuan.
       Mungkin, aku berharap seperti itu karena aku ingin ada sesuatu yang bisa kuobservasi, sesuatu yang hidup dan bergerak, dan tentunya, duduk di sebelahku. Aku tak tahu apakah kekosongan ini sedikit merepresentasikan kekosongan figur di dalam diriku, atau, aku tak tahu. Mungkin, aku berharap ada seseorang yang cukup baik untuk mau duduk di sampingku, dan kami bisa bercerita, saling bertanya kabar, saling menguatkan, dan saling berbagi perhatian. Di saat dunia di sekitar kami berjalan begitu cepat, di saat rumah-perumahan hanya tinggal tampak seperti titik-titik cahaya yang berlarian, di saat kecepatan dan keakuratan dalam melakukan suatu kegiatan menerima pemujaan dan penghargaan. Seolah tidak memberikan ruang bagi suatu sifat dasar manusia, berbuat kesalahan.


        Teh. Neng. Iya, kamu yang duduk di depan. Yang sedang berusaha keras menemukan sandaran yang tepat agar bisa beristirahat. Apakah kamu bersedia duduk di sebelahku? Aku baru saja berbuat kesalahan, dan aku berharap ada yang bersedia mendengarkan. Maukah kamu duduk di sebelahku? Dan kita bisa saling bercerita tentang bagaimana hari kita telah berlalu, bagaimana kita telah berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam setiap usaha-usaha yang kita lakukan. Dan kita bisa saling mencoba memahami, kenapa kita melakukan kesalahan-kesalahan yang kemarin kita perbuat, atau kemarin lusa, atau kemarinnya lagi, kapanpun. Apapun, agar kita bisa lebih merasa menjadi manusia, dan pada saat yang sama, memanusiakan orang lain, dengan mencoba memahami bahwa manusia juga berbuat kesalahan dan berat baginya untuk memendam serta mencoba memahami semuanya sendirian.
       Hanya itu yang bisa kutawarkan.

Sekian.
-----------------------------------------------------
Sebuah bacaan untuk aku di kemudian hari. Bukan sekarang.
Daan duduk di sebelah itu maksudnya bukan mau khalwaat yaa.. Kan dosa tuh berduaan sama perempuan yang bukan muhrim. Tapi gimana ya, ya mungkin ini harap terpendam ku bagi sang  pendampingku nantinya.
Share: