Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Friday 28 July 2017

Ada Hati yang Harus Dijaga - part 4 (Final)

"Bagaimana cara menjaga hati yang telah terlalu banyak bermain hati? Hati yang sebegitu mudahnya tergantung pada hati lain sehingga ia berontak saat akan berpisah. Bagaimana?" 

       Saat mata seorang lelaki terpaku pada keindahan satu orang perempuan, biasanya itu bisa dikompensasi dengan keindahan perempuan lain. Bukan hal yang terlalu menyulitkan jika ia tidak melihatnya sekian lama. Tapi jika hati seorang lelaki terpaku pada hati seorang perempuan, the world changes. Berpisah dengannya bukan hanya berarti terpisahnya kedua hati, tetapi juga terpisahnya sang lelaki dengan dunianya.

       Tentu kalian sudah sering mendengar cerita tentang playboy yang bergonta-ganti pacar hingga berkali-kali. Tapi sebaliknya, justru ada juga cerita tentang seorang ayah yang tidak ingin menikah lagi setelah istrinya meninggal. Atau kisah terkenal di Autumn in Paris, tentang seorang lelaki yang gagal move on hingga akhirnya meninggal karena ia sedang melamun saat sedang melihat konstruksi bangunan yang tiba-tiba jatuh menimpanya. Kisah pertama tentang playboy adalah kisah tentang mata yang terpikat. Sedangkan kisah kedua dan ketiga adalah tentang hati yang terikat.

       Tentu tak mudah bagi hati yang berontak untuk bisa berdamai dengan kenyataan bahwa sudah saatnya bagi sang bintang untuk pergi dan berlanjut mengorbit pada lintasan orbitnya. Padahal, baru saja lintasan orbit kehidupan sang hati hampir beririsan, sangat dekat, dengan orbit lintasan sang bintang. Kenyataan bahwa sudah saatnya untuk berpisah dan kembali mengitari orbit masing-masing, saling menjauh, tentu bukan hal yang dengan begitu mudahnya bisa diterima.

       Tapi, kawan, itulah kenyataan. Perpisahan adalah perpisahan. Tak bisa kau memaksa sesuatu yang bukan berada pada kekuasaanmu. Atau menolak kenyataan dan bersikap seolah tak ada perpisahan. Apa kau berani mempertanggungjawabkan konsekuensi jika memaksakan untuk terus berdekatan? Di hadapan dirimu sendiri dan di hadapan Tuhanmu? Sesuatu yang orang sebut dengan,

mendahului Takdir. ... hmm, terdengar menyeramkan.

       Jadi, tidak. Itu tak akan kulakukan. Tampaknya yang terbaik adalah menerima kenyataan, belajar untuk bersabar, dan memantapkan diri akan jalan yang akan ditempuh ke depan. Serta menyerahkan kepada-Nya perihal Takdir yang diri ini juga tidak tahu siapa yang akan ditemui di akhir jalan perjuangan kesabaran. Apakah manusia, ataukah malaikat-Nya? Langsung dipanggil oleh-Nya untuk menghadap. 

       Simpulannya, jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah :

1) Menyadari akan bahayanya bermain hati, dan memintakan ampunan akannya.
2) Menerima kenyataan saat perpisahan dan bersabar akannya.
3) Menyadari bahwa sejarah ada untuk menjadi pelajaran, bukan untuk dilupakan.
4) Menatap ke depan dan mulai menyusun langkah dan strategi dalam menjalani orbit kehidupan di depan
5) Meminta do'a kepadanya agar diberi kemudahan.

Selesai.

Note : Oh ya, yang ke-6, tentunya juga harus minta do'a dari pembaca sekalian semoga kita dimudahkan untuk bisa lebih menjaga hati, mata, kemaluan, dan kehormatan dari sesuatu yang belum saatnya :) 


Lastly, cheers(semangaat) untuk para pasukan penjaga hati! Semoga Allah memberikan kemudahan dan mempertemukan hati-hati yang memang terjaga, Aamiin.
Share:

Thursday 20 July 2017

Ada Hati yang Harus Dijaga - Part 3


... (lanjutan)

       Sejauh ini pertanyaan yang membimbingku adalah tentang masa depan, sekarang mari kita mengubah sudut pandang sejenak. Mari bertanya, tentang masa lalu.

"Kenapa sih Allah mengirimkanmu ke Bandung, Haw?"

       Pertanyaan ini menghantuiku terutama saat aku sedang menjalani libur Ramadhan pertamaku di Bandung. Saat-saat dimana aku masih kesulitan menghadapi perasaan ketidakpantasan menjadi seorang mahasiswa ITB. Saat-saat dimana tiap kali aku melewati kolam Intel(Indonesia Tenggelam, red.) aku selalu mempertanyakan mengapa aku yang diterima di ITB, bukan orang lain. Kamu tau, pemandangan 'sungai' terusan kolam Intel yang dipagari dengan indahnya oleh pohon berjajar di sebelah kanan dan kiri yang sedang kulihat ini, bisa jadi inilah yang akan dilihat oleh mata lain seorang mahasiswa ITB dari sekolah dengan asal yang berbeda denganku. Jika dia yang masuk ke ITB dan bukan aku.
Apa yang kulihat saat itu.
       Aku masih ingat bahwa jawabanku saat itu adalah karena di Bandung ini aku bisa bertemu dengan lingkungan yang luar biasa supportif untuk bisa berkembang, belajar, dan berdakwah. Salman namanya. Dari dulu, sampai tingkat 3 akhir, basecamp ku untuk berdiskusi santai hingga serius dengan teman-teman adalah Masjid Salman. Terikku, hujanku, sedihku, ramaiku, banyak sekali yang terjadi di Salman. Tapi.. bukan hanya tentang itu. Salman juga menyimpan cerita tentang hati dan dinda.

       Dulu, sebelum memasuki SMA, berurusan dengan perempuan adalah hal yang cukup jarang bagiku. Paling bantuin temen ngusilin temen perempuan, nge-bully nyindir-nyindir lah, nge-ciye ciye-in lah, apa lah. Saat memasuki SMA, aku mulai berkenalan dengan wide range personality of a woman. Di masa itu juga aku mulai mengalami pergolakan batin dengan perempuan. Interaksi kami yang terjadi biasanya tidaklah secara fisik karena aku memiliki rasa malu yang besar untuk terlihat dekat dengan perempuan. Banyak rasa, mulai dari dinda, bahagia (jika ia disebut bahagia), menerima, memberi, sakit hati, kecewa, dan yang terpenting yang pernah kupelajari adalah : peduli (care). In the end, aku merasa bahwa pengalaman berurusan dengan perempuan di masa-masa itu bukanlah pengalaman yang begitu menyenangkan.

       Then I was accepted in ITB, Bandung. City of flowers. Kota dimana satu angkot bisa penuh sama perempuan dan kamulah satu-satunya cowok di dalam angkot (berdua sama supir sih). Can you imagine this? For me sometimes it felt like a nightmare. 
 
Back to Salman. 

       Pernah ngerasain nggak, saat-saat dimana kita sedang berusaha untuk menjaga orang lain agar tetap semangat saat kita sedang menjadi work colleague, and we say or do something personal to make them feel comfortable working with us? Things like bertanya kabar, rencana ke depan mau ngapain, apa ada masalah pribadi, berbagi hadiah, atau kita yang perlu untuk share dan memberi jawaban akan pertanyaan-pertanyaan itu.  

       Terkadang, saat kita berada di Bandung, di Salman, itu terjadi dengan perempuan. This is common. *jedeer* Biasanya, masalah muncul saat aku merasa bahwa aku telah menitipkan sesuatu kepada seseorang yang itu tidak kutitipkan kepada orang lain. Hati ini mulai tergoda oleh bisikan setan untuk 'menambah' titipan, seperti cerita permasalahan pribadi dan curahan hati kepada perempuan. Lama kelamaan, saat karena kondisi hati ini diminta untuk berhenti untuk bercerita, ia berontak. To whom should I share my stories with if we were to depart from each other?? Said my heart impatiently *padahal, ada Allah

       Aku menyebutnya, "main hati". Kadang aku perlu main hati agar bisa menjaga staf. Meski selalu kutekankan bahwa saat bertanya tentang hal-hal yang meningkatkan intimacy sebagai work partner ini biasanya kutekankan bahwa kalau ini penting untuk kerja yang kami lakukan bersama. Bahwa kalau dia tiba-tiba menghilang, itu akan menghambat kerjaan. *Sampai di sini aku memohon perlindungan pada Allah agar bisa menjaga hati agar tidak membelok rasa cinta horizontalnya menjadi lebih kuat dari yang vertikal, aamiin.*

       Lalu, saat masa perpisahan(departing times) itu tiba, saat hati sedang berontak, di saat itulah aku mulai bertanya lagi,


"Bagaimana cara menjaga hati yang telah terlalu banyak bermain hati? Hati yang sebegitu mudahnya tergantung pada hati lain sehingga ia berontak saat akan berpisah. Bagaimana?"

... (berlanjut di Ada Hati yang Harus Dijaga - part 4) 
Share:

Saturday 8 July 2017

Ada Hati yang Harus Dijaga - part 2

"Selepas masa aktif di Salman, apa yang akan kamu lakukan, Haw?"

... (lanjutan)

       Sekarang, sudah tingkat empat. Time flies. Rasanya perihal apa yang telah dilakukan selama ini tak terlalu masalah, tapi yang sekarang menggayut di pikiran adalah pertanyaan di awal tadi. After all this fight, what will happen next? Jalan mana yang akan ditempuh?

Apa jawabannya ?

       Perumusan tentang apa yang akan dilakukan pada tingkat 4 sebenarnya adalah sebuah hasil dari pengintegralan akan semua pengalaman-pengalaman yang telah disimpan selama ini. Layaknya sebuah kurva 2D sederhana dengan sumbu y sebagai pengalaman hidup dan sumbu x sebagai waktu, maka saat dilakukan integrasi akan muncul sebuah bilangan khusus. Itulah bekal yang telah kita dapatkan. Yang jadi masalah sekarang adalah akan ke arah manakah sekarang kurva kita?

       Well, aku sendiri sudah pernah dengar cerita tentang mahasiswa yang tidak lulus-lulus, atau seperti diceritakan dosen ada juga yang karena main game sampai tidak pernah muncul lagi batang hidungnya hingga di-DO. This is not common, but this happens sometimes. Kesibukan yang selama ini telah menjaga kita untuk terus dan terus bergerak, kini mulai berkurang. Waktu tidur yang dulu terasa sedikit tapi membahagiakan, bisa jadi saat masuk di tingkat 4 ini malah akan jadi banyak tapi rasanya tak juga cukup. Karena di masa ini, it's up to us. Tentu kita akan fight untuk mata kuliah SKS pilihan kita karena kita mungkin suka dengannya, tuntutan belajarnya jelas, dll. Sedangkan TA? What you're gonna do with it is your own decision. Dosen mungkin akan meminta laporan progress, tapi iya kalau beliau peduli. Teman mungkin akan meminta untuk mengerjakan bareng, tapi kita yakin bisa meninggalkan our illusory activities? Activities like playing FIFA, DOTA, or.. watching drama, maybe? Sekali lagi, terserah kita.

       Well, ada juga kok mahasiswa yang di tingkat akhirnya malah semakin "sukses", or maybe you could say, productive. Seperti menginisiasi gerakan pengmas, atau menambah amanah saat di tingkat 4. Mereka gak merasa cukup hanya dengan TA saja. Kesadaran akan salah satu tridharma perguruan tinggi, yakni pengabdian masyarakat serta akan pentingnya menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama ada pada diri mereka. They choose not to stop moving. Ada, tapi gak banyak. Sepenglihatanku, biasanya yang banyak ya di antara keduanya, mau fokus TA, tapi kalau jenuh ya main game. Mau fokus ke pengmas, ragu soalnya nanti ga bisa fokus TA-nya. Katakan padaku kalau ini salah. Kalau ditanya pandanganku, no problem sih. Sekali lagi, terserah kita.

       Balik ke pembahasan di awal tentang integral. Semua pengalaman-skill-dan-leadership dalam keorganisasian, link teman-teman seperjuangan dulu, duit, kit dan komponen bekas proyek, great ideas, rencana proyek, buku, dan semua bekal yang adalah hasil pengintegralan kehidupan kita selama ini, mau diapakan? Apakah akan terus diasah dengan digunakan lagi? Beruntung buat orang-orang yang bisa dapet topik TA yang menggunakan hampir semua bekal yang udah dikumpulkan. Kalau enggak, mau dipakai apa? Apakah kurva sederhana kehidupan kita itu akan menurun begitu saja? Tentunya, kalau bicara soft-skill, pasti lebih baik kalau ia terus diasah sampai menjelang ke tahap mencari kerja.

       Aku sendiri baru sadar itu beberapa saat lalu. Apa sih gunanya kenalan sama semua orang selama ini? Ikut organisasi A, B, C. Bantu-bantu disini, sana. Baru kepake di saat sekarang saat mencoba mengalkulasikan hasil integral dari semua langkah yang udah ditempuh selama ini. Untuk menentukan langkah apa yang akan diambil di masa depan. Bismillah, insyaAllah my ship is ready to set sail, some of you might be too. May Allah bring Rahmah to our journey. Aameen.

Scene dari film Mohammed Al-Fatih.
Setelah akhirnya kapal bisa diloloskan melalui rantai lewat jalur darat.
Crazy ideas.
Note : tinggal.. satu masalah, ini apaan sih judul tulisan pake kata hati segala?

... (berlanjut di Ada Hati yang Harus Dijaga - part 3)
Share:

Thursday 6 July 2017

Ada Hati yang Harus Dijaga - Part 1

"Selepas masa aktif di Salman, apa yang akan kamu lakukan, Haw?"

Masa-masa refleksi tentang apa yang telah terjadi selama ini.
Pertanyaannya, kemana jalan yang kita lalui ini akan membawa kita?
       Itu adalah sebuah pertanyaan yang belum pernah terlintas di pikiranku selama ini. Tak pernah terpikir bahwa segala perjuangan ini akan sampai pada satu titik dimana aku akan melihat ke belakang dan menemukan pertanyaan itu di belakang kepalaku, mengikutiku. Tapi memang begitulah manusia, sering lupa akan apa yang harus dipersiapkan untuk masa depannya.

       Tahun pertama adalah tentang belajar, belajar, dan belajar. Belajar beradaptasi, berkenalan dengan teman-teman dengan berbagai macam latar belakang, belajar menjadi staf kepanitiaan di sebuah masjid, belajar cara belajar dengan beratnya materi kuliah, intinya belajar untuk lebih mengerti bahwa tahun ini adalah tahun penyiapan bekal untuk tahun-tahun ke depan yang akan lebih berat.

       Tahun kedua, segala macam perihal perjurusan mulai menghampiri. Minat pribadi mulai tumbuh karena sudah merasa mulai mengenal hal-hal menarik di Salman, di kampus, atau di luar kampus. Kebiasaan-kebiasaan baru mulai dibangun sebagai pembentuk karakter di masa depan. Karakter peduli dengan sekitar lewat pengabdian kepada masyarakat, karakter untuk bangkit lagi meskipun baru saja mengalami kegagalan, serta karakter-karakter lainnya yang masih ingin dicoba apakah itu sesuai dengan karakter dalam diri. Tawaran-tawaran menarik berdatangan untuk aktif di tempat a, b, dan c. Sudut pandang yang dulunya masih terpusat pada diri sendiri, kini mulai lebih terbuka dan sadar bahwa permasalahan itu bukan hanya tentang diri kita sendiri loh. Ada teman kita yang mulai hilang dan tidak pernah datang kuliah, ada masjid di dekat rumah yang kita rasa sepi dan butuh pengurus aktif, atau lingkungan masyarakat yang rasanya perlu disadarkan bahwa mereka memiliki potensi terselubung.

       Tahun ketiga, saatnya untuk sadar bahwa kuliah sebagai S1 kemungkinan besar hanya dialami sekali. So, let's make it all worth it, giving our best in something. Kadang merasa terlalu banyak memberi perhatian pada suatu hal, sampai lupa bahwa kadang diri juga perlu diurus. Kadang sakit, kadang kecewa dengan hasil akademik, kadang ditanya kenapa jarang menghubungi keluarga. Time to lose ourselves in something. Romantika perjuangan yang sesungguhnya. Akademik memuncak, tapi pada saat yang sama, keinginan dan keyakinan untuk take part dalam membuat perubahan menjadi semakin kuat. Di saat ini pula, segala kekurangan dan kekanak-kanakan dalam diri ini semakin menjadi-jadi. Awalnya kebiasaan menunda-nundanya hanya untuk sehari saja, jadi sampai berminggu-minggu untuk sekadar mencuci, atau hal-hal sepele lainnya. Dulu, malas hanya membuat diri terlambat kuliah, tapi di masa ini bahkan berangkat kuliah pun ogah. Tak jarang, diri menjadi linglung, tak yakin apakah yang dipilih sudah merupakan jalan yang tepat? Apakah perjuangan ini worth it? Bermanfaat bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi sesuatu yang lebih berarti.

       Sekarang, sudah tingkat empat. Time flies. Rasanya perihal apa yang telah dilakukan selama ini tak terlalu masalah, tapi yang sekarang menggayut di pikiran adalah pertanyaan di awal tadi. After all this fight, what will happen next? Jalan mana yang akan ditempuh?

Apa jawabannya ?

... (berlanjut di Ada Hati yang Harus Dijaga - part 2)
Share: