Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Tuesday 25 December 2018

Ingin


Ada orang yang mengurangi makan, ingin ditanya, “Sudah makan belum?”

Ada orang yang menyeberang jalan gak lihat kanan kiri karena ingin ditabrak

Ada orang yang sudah lelah dengan semua dan ingin berhenti.

Berhenti sejenak untuk memperhatikan orang lain, dan ingin agar diperhatikan.

Kadang hidup bisa begitu melelahkan.
Share:

Saturday 15 December 2018

Konsep Keluarga - part 2 : Hangat dan Menghangatkan

       Aku pertama memikirkan tentang konsep hubungan antar manusia secara cukup mendalam, kemudian memaparkannya, saat aku berada di kelas bimbel bahasa Inggris YPIA. Ini terjadi saat aku sedang berada di masa SMA, mungkin sekitar kelas 2. Di bimbelku ini, kami belajar bahasa Inggris Reguler. Di akhir trimester, kami akan mengikuti ujian untuk mengetahui siapa yang lanjut kelas dan siapa yang tinggal. Di dalam tesnya sendiri ada 4 aspek yang dinilai, pertama ujian biasa mulai dari grammar, writing, dan reading. Lalu, kami juga harus menyampaikan gagasan kami tentang sesuatu di pertemuan selanjutnya, atau seperti tes presentasi berbahasa Inggris. Aku ingat pada suatu waktu aku pernah memilih presentasi tentang konsep hubungan antarmanusia.
       Saat itu, kuingat sedang cukup trend family’ di Surabaya sedang cukup ramai. Semacam ikatan geng yang bisa antar-SMA. Di sana entah apa yang mereka lakukan, yang jelas ada juga pertengkaran antar family dan itu diurus berbarengan sebagai urusan family. Nah, saat itu aku mengangkat isu tentang hubungan antarmanusia ini. Di lain waktu, aku pernah mengangkat tentang perilaku produktif vs konsumtif, tentang pros and cons of game online, tentang kesepian vs kesendirian (loneliness vs aloneness), terus apa lagi ya lupa.

       Nah, balik ke tentang hubungan antar manusia. Seingetku ini murni renungan, ditambah sama cari di internet sedikit-sedikit perihal setiap kelas hubungan yang sudah kubuat. Kelas itu (seingetku yaa) adalah :
  1. Parent-child / orangtua-anak
  2. Family / keluarga
  3. Best friends / sahabat dekat
  4. Friends / teman
  5. Acquintances / kenalan jauh
  6. Colleagues / kolega atau rekan kerja
       Dari atas ke bawah, urutannya kudasarkan pada kedekatan. Tentang parent-child, aku pelajari ini dari seorang penceramah shalat Tarawih yang alhamdulillah kucatat ceramahnya di Tarawih terakhir Ramadhan. Beliau bilang bahwa hubungan orangtua-anak adalah hubungan paling murni, paling ikhlas, paling tanpa pamrih. Apa sih yang diharapkan oleh seorang orangtua terhadap anaknya? Dikirimin sama anaknya ketika sudah tua untuk menggantikan semua uang dan pemberian kepada anaknya saat anaknya masih belum bisa mandiri? Nggak. Pingin anaknya sukses? Kenapa harus sukses? Alasannya karena,

Pengen anaknya lebih baik dari kondisi orangtua. Seorang ibu cuman pengen ketika arisan bisa cerita ke teman-temannya dengan syukur dan bangga akan anaknya. 

Jeng-jeng, anakku sekarang sudah masuk kuliah di PTN favorit lhoo. Terus anak yang ini juga udah kerja, yang ini lagi akan berangkat haji. Alhamdulillah yaa…”
 -- (baca jeng-jeng nya pake e di kata ‘pake’ ya, bukan jeng-jeng yang kaya di suara ngejreng)

       Kata pak penceramah mah, orangtua itu ga berharap banyak, cuman pengen bisa bangga akan anaknya. Ga ada harapan lain. Yah, warbyasah.

       Terus, masuk ke definisi keluarga. Aku melihat dari kondisi family yang ada di sekitarku, kalau dugaanku orang tampaknya mendefinisikan sebuah keluarga sebagai tempat mendapatkan kehangatan. Sangat bisa jadi seorang remaja yang mengikuti family di luar family di rumahnya — keluarga yang sebenarnya — adalah karena dia mendapatkan apa yang tidak didapatkan di rumah, kehangatan. Rasa disayangi, dan rasa diperbolehkan menyayangi. Kenyamanan yang muncul karena tidak divonis karena kesalahan yang diperbuat. Sebuah penantian dan kerinduan terhadap kehadiran kita saat sedang tidak berada bersama mereka. Perhatian yang diberikan ketika sedang bercerita, dan ditimpali dengan cerita yang sama-sama rahasianya. Sebuah rasa aman, ketika menceritakan rahasia pastilah akan terjaga selamanya. Ketika sedang begitu terfokusnya akan kesedihan, ada untaian candaan untuk membantu meringankan. Serta juga rasa bahwa tidak akan dikeluarkan dari lingkaran karena satu atau dua hal lainnya. 

       Begitu hangat. Tanpa syarat. Saling mengharap. Saling menanti. Saling menguatkan. Saling memberi dan membutuhkan. Berbagi tanpa meminta lebih. 

       Ah, entah kenapa malah aku yang sekarang merasa bahwa aku sedang kurang hangat dan kurang bisa memberikan kehangatan. Allah, berikan kami petunjuk-Mu.
Share:

Monday 10 December 2018

Di Tengah Semua Kejadian

Badan remuk.

Sering banget aku denger kata-kata ini dari salah satu orang dekatku. Mungkin sedikit banyak itu juga yang kurasain saat ini.

Gimana nggak, beberapa hari terakhir ini tidur di atas jam 11, kadang jam 2, jam 00.30. Dan sebagian lagi tidur dengan posisi tangan ndelosor 'terjulur' ke depan di samping komputer, kepala menempel di meja, ngiler, badan tegap dan kaki di bawah digigitin nyamuk. Nungguin simulasi kelar. Atau scan flashdisk. Dibangunkan oleh suara alarm HP lama yang lagi beberapa hari ini kubawa-bawa dan kalo udah nyala itu kaya meraung-raung. Udah kaya kucing.

Terus pagi, siang, dan sorenya, masih harus lari ke sana, ke sini. Dihadapkan pada keputusan demi keputusan yang seolah semua mengatakan, kesalahan mengambil keputusan bisa jadi berarti ketidaklulusan, Haw!

Kadang lupa sama bau badan #ups.

Yah, tapi beberapa hal yang menarik terjadi. Kadang ngerasa 'lagi gila'. Terus tiba-tiba temen yang sudah lama tak muncul muncul lagi saat sudah jelang sidang. Dengan mendadak dan tanpa kabar muncul begitu saja di depan Lab saat Lab sedang terkunci dan aku sedang di luar. Untung aku waktu itu tergerak buat ke Lab. Terus temen yang satunya juga kelihatannya lagi tepar ini. Tanpa kabar. Ya semoga diberi kekuatan, kalau lagi sakit semoga disembuhkan.

Sambil waktu berjalan, datang juga pikiran-pikiran yang tak diinginkan. Pikiran yang dulu mungkin akan kubiarkan berkeliaran dalam pikiran. Tapi kini, setelah beberapa pelajaran yang kudapat tentang kontrol diri, sebaiknya itu tidak kubiarkan. Dia mesti disimpan dan baru akan dibahas untuk hari-hari  kemudian. Bukan sekarang.

Syukur sekali, aku pernah bertemu dengan teman-teman di Salman. Ada yang mengajarkan untuk menambah shalat di saat sedang banyaknya keinginan, permintaan, bingung keputusan. Tiap hari ya, Haw. Alhamdulillah.

Ya, semoga yang sedang dilanda kesulitan dimudahkan. Yang sedang belajar persiapan ujian diberikan kepahaman dan ingatan yang kuat. Yang sedang punya perasaan yang nggak bisa dikendalikan semoga bisa diredakan. Yang sedang merasa lemah iman semoga diberikan petunjuk dan hidayah yang Dia berikan. Aamiin.

PS : Doakan semoga sidangku lancar dalam waktu dekat. Dan semoga bisa menentukan jalan ke depan dan berani melangkah ke depan dengan mantap. Semoga jalan yang kuambil adalah jalan kebaikan yang juga membaikkan. Aaamiin.
Share:

Monday 29 October 2018

Cetak 3D di Perpustakaan ITB (2)

Three more blood stains.

Banyak banget memang jenis usaha dan perjuangan yang disana kita memerlukan pengorbanan. Berdiskusi dengan diri sendiri soal emosi yang seingin meledak karena kondisi tidak sesuai keinginan. Meringkuk. Menyesali keputusan-keputusan. Sakit. Dsb.
Share:

Wednesday 3 October 2018

Cetak 3D di Perpustakaan ITB

Gratis.

Keren.

Tapi hasilnya perlu dikikir.

Dan, kalau gak hati-hati waktu ngikir bisa berdarah.

Kaya tanganku.

2 goresan sampe darah netes, 1 yang ketusuk aja.

Tapi hasilnya memuaskannn :) Asal bagus waktu ngikir aja.

Oh iya jangan lupa buat lobang ulir biasanya hasilnya gak bagus2 banget, harus dihantam sama ulir yang dari besi dulu, dipaksa masuk, terus dipaksa muter. Supaya jalurnya kebentuk beneran.

Tapi overall gratis nya ini luar biasa sih.

Mancapp.
Share:

Sunday 16 September 2018

Rencana Konsep Keluarga - part 1 : Kejujuran

Kukira aku sudah saatnya untuk mulai memberikan definisi, batasan, dan antisipasi terhadap apa yang mungkin kuhadapi pada tahap kehidupanku selanjutnya yang tampaknya makin dekat. Jika aku masih memiliki kesempatan untuk melewati waktu yang dekat ini, tentunya.

Aku sangat suka dengan buku karangan Kurniawan Gunadi, Mas Gun. Di dalamnya aku menemukan beberapa hal menarik. Dan kurasa akan ada salah satunya yang akan kugunakan juga. Tentang kejujuran.

Semenjak aku mengenal konsep vulnerability dan worthiness, aku belajar untuk menjadi seseorang yang bisa menghargai diriku sendiri. Dimana agar aku bisa menghargai diriku, aku harus benar-benar tahu apa yang berharga pada diriku. Tentunya saat aku melihatnya aku juga akan menemukan berbagai ketidakberhargaan dalam diriku. Tapi, itu gapapa. Lebih baik aku fokus di apa yang berharga.

Untuk bisa melihat diriku sendiri dalam kebaikan dan keburukannya, ada satu prasyarat penting, yakni kejujuran.

Kejujuran berarti menerima apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan diri sendiri. Tidak melawan kenyataan. Tidak menyalahkan apapun ataupun siapapun.

Kejujuran berarti berani bertanggungjawab akan setiap kekurangan yang kumiliki, saat kekurangan itu muncul dan membuat permasalahan terhadap diriku sendiri ataupun orang lain.

Kejujuran pula lah yang membuatku berani untuk menyatakan bahwa aku bukan orang yang sempurna. Lalu mengomunikasikan kepada orang lain terkait hal tersebut, serta memberitahukan apa rencana yang telah kumiliki seandainya suatu ketika kekuranganku ini menghambat ataupun mengganggu orang lain.

Bukankah itu berat?

Menerima diri sendiri.

Itulah yang ingin kumiliki, kami miliki, dalam sebuah keluarga yang nanti akan kubentuk. Sudah cukuplah kita sekeluarga menggunakan topeng ketika berada di luar rumah hingga kita lupa esensi kehidupan pada akhirnya adalah kita yang akan ditanyai sendiri-sendiri di alam selanjunya. Sehingga seringkali tak perlu lah kita selamanya menggunakan topeng untuk menyenangkan orang lain.

Mari kita di rumah saling menatap satu sama lain dengan wajah apapun yang kita miliki. Sayu, sedih, kecewa, atau mungkin senang pun juga, bahagia, antusias. Mari kita tunjukkan diri kita apa adanya. Saat sedih semua, kita coba berbagi tawa. Saat senang semua dan ada yang tidak, mari kita mencoba untuk bertenggang rasa dan memberi ruang kesedihan dalam diri kita agar yang sendiri tidak merasa ditinggal.

Mari kita bercerita. Bertutur kata tanpa penutup yang menutupi makna sebenarnya. Mari kita saling menerima keadaan satu dengan lainnya. Mari kita menjadi keluarga yang sepenuh hati kita dalam menjalani kehidupan setiap harinya.

Keluarga. Kejujuran.
Share:

Friday 27 July 2018

Mengingat Ciheras

Belum genap satu minggu aku pergi dari Ciheras. Tapi pikiran-pikiran tentangnya selalu kembali dengan mudah.

Saat liat ada kucing kuning putih hitam, jadi ingat Dewi.

Saat liat ada domba kurban, jadi inget waktu lagi ngerjain kerjaan selama di sana biasanya selalu aja ada suara mbeekk. Saat liat ke langit malam, tiba-tiba muncul pertanyaan. Kemana semua bintangnya ? Bukan ini yang kulihat di Ciheras.

Saat pagi hari juga, suka dengerin dongeng-dongeng Bang Ricky yang direkam sama Raku.

Kalau pagi ngusahain brifing diri. Tapi kalau malem hampir gak pernah evaluasi.

Saat mau pesen Indomie seharga 5 ribu. Aah, terakhir aku makan Indomie harganya hampir setengahnya ini. Gak jadi beli.

Beli gorengan apalagi. 500-an cuy. Enak, tepungnya juga banyak.

Saat lagi butek, pengen olahraga, kadang semangat sendiri, kadang lagi sepi. Harus nunggu ada yang ngajakin futsal. Trus biasanya pas aku lagi nggak bisa lagi futsalnya.

Temen-temen Ciheras.. kukira nggak kusebutin karena aku nggak gitu. Bukan tipe yang menangisi perpisahan. Tapi aku berharap kalian jadi orang keren.

Saat lagi gabut dan banyak mainnya. Jadi inget lagi gimana di suatu tempat sana ada yang semangat di momen belajar. Main di momen bermain. Bahwa ada yang sebaiknya kukejar.

Saat lagi merasa kecewa dengan sekitar, kukira itu nggak perlu. Bang Ricky aja bisa sampai segitu, kenapa aku nggak mampu?

Semangat. Istirahat. Main. Teman. Kincir. Jamaahan. Makan. Ngenergen.

Ah, rindu akan ketenangan itu.

:")

#CeritaCiheras

ps : Semoga suatu waktu nanti kita bertemu lagi jika itu baik untuk kita. Mohon doanya agar aku diberikan kekuatan untuk mengambil satu lagi nafas panjang penuh pertimbangan dan kesungguhan.


Membumi
Topi dan kenangan yang hilang di Ciheras :(
Share:

Tuesday 24 July 2018

Profil Pribadi Ideal

"Seharusnya sebagai mahasiswa itu kamu mengabdi ke masyarakat."

"Seharusnya sebagai seorang anak itu kamu patuh pada orangtua!"

"Seharusnya sebagai seseorang yang terdidik kamu itu nggak buang sampah sembarangan, masak masalah gitu aja kamu gak tahu sih."

"Seharusnya kamu sebagai perempuan itu gini, sebagai laki-laki itu gitu."

dan bunyi-bunyi sejenisnya yang lain.

Sering gak denger yang seperti itu?

Gimana? Enak gak rasanya di telinga, dan di hati?

Kalau aku, kadang bukannya malah termotivasi untuk melakukan yang diharapkan agar kulakukan di ucapan tersebut, tapi bisa jadi malah muncul perasaan gak terima, atau bahkan jadi pengen ngelakuin yang sebaliknya karena ingin berontak. Pikiran-pikiran seperti,

Well, kenapa aku harus ngikutin apa yang menurut orang lain mereka haruskan? Emangnya sama antara yang mereka haruskan dengan yang kuharuskan? Emang mereka siapa?

Atau.. Kadang di lain waktu aku akan merasa menjadi seorang pribadi yang buruk. Karena tidak bisa mengikuti ekspektasi yang telah diberikan pada aku, baik secara pribadi, peran, maupun posisi. Sehingga berujung pada rasa ketidakpantasan terhadap apa yang sedang kuemban.

Aku bersyukur sekali di penghujung akhir masa kuliah ini aku mendapatkan sebuah insight 'pemahaman' terkait hal ini, salah satunya dari Prince Ea (youtuber) yang membuat video dengan judul Why I Stopped Musturbating. Mungkin judulnya agak aneh ya, mungkin memang ingin dibuat seperti clickbait. Tetapi, untuk kontennya sendiri menurutku cukup bagus. Membahas tentang banyaknya orang yang terjebak penggunaan kata must 'seharusnya' yang bukannya memberikan efek bagus, tetapi sebaliknya.

Menurutku, penggunaan kata seharusnya adalah cara yang kurang baik untuk mengubah realita menjadi kenyataan. Seringnya, penggunaan kata seharusnya itu memaksakan sesuatu ataupun seseorang untuk menjadi ideal, tanpa memperhatikan bagaimana sikon riil, tanpa memperhatikan sebab ketidaksanggupan sesuatu tersebut untuk mencapai ideal, dst. Kita seolah memasangkan sebuah garis finish profil keidealan pada sesuatu yang tidak mungkin menjadi ideal.

Terkadang, penggunaan kata ini juga bisa menyakitkan. Terutama, jika ini digunakan dengan memaksa, tanpa adanya logika ataupun alasan sama sekali. Seolah, seorang lelaki itu harus kuat dan tidak boleh menangis, sebagai seorang perempuan itu seharusnya di rumah. Dan pemaksaan-pemaksaan tak berdasar lainnya (jika tanpa dasar).

Saat menggunakan seharusnya, sering kita lupa untuk menyertakan alasan. Yang ada hanya kita ingin agar sesuatu atau seseorang yang kita lihat itu menjadi ideal. Tidak seperti dia sekarang. Bagaimanapun caranya.

Ini saja menurutku sudah menyakitkan. Ini adalah bentuk ketidakmenerimaan kita akan keberadaan orang tersebut. Memaksakan dia berada pada profil pribadi ideal yang kita inginkan.

Syukur, kini aku mulai belajar untuk tidak menggunakan kata ini pada konteks dan situasi yang tidak tepat.

Kini, aku belajar bahwa ternyata ada kata-kata yang lebih baik. Apakah itu?

Sebaiknya.

Dalam menggunakan sebaiknya, yang kita dorong pada orang lain bukanlah sesuatu yang imajiner yang sifatnya ideal dan hanya ada di kepala kita. Penggunaan kata sebaiknya sering diikuti dengan alasan mengapa sesuatu itu baik, atau tidak baik sehingga harus ditinggalkan.

Sebagai contoh,

"Sebaiknya sebagai mahasiswa itu kamu mengabdi ke masyarakat. Karena, nanti juga kamu akan menjadi masyarakat dan akan sangat merasakan bagaimana butuhnya kamu akan pemikiran-pemikiran fresh dan jiwa-jiwa yang bersemangat."

"Sebaiknya sebagai seorang anak itu kamu patuh pada orangtua yaa, karena nanti ayah dan ibu akan senang dan bangga pada kamu."

Siapa yang tidak senang jika diberikan pernyataan-pernyataan seperti itu?

Daripada jika dibandingkan dengan menggunakan seharusnya yang bersifat menuntut tapi tak beralasan di contoh bagian awal tulisan ini.

Maka dari itu, bagi semua pribadi-pribadi yang memiliki pandangan akan sesuatu yang dianggap ideal, aku mengajak agar teman-teman sebaiknya coba belajar untuk melakukan transisi penggunaan kata (secara langsung maupun tidak langsung) dari seharusnya menjadi sebaiknya.

Karena seharusnya itu menuntut seseorang atau sesuatu untuk menjadi ideal menurut standar yang bahkan terkadang tidak kita sampaikan. Seharusnya juga seperti merupakan sebuah penolakan sehingga terkadang bisa membuat orang merasa sakit hati jika tidak bisa mencapainya. Seharusnya juga terkadang membuat kita berhenti untuk memberikannya dukungan karena kita sudah terlanjur membuat sebuah benteng antara kita dengan apa yang kita anggap ideal, dengan dia yang sudah kita anggap tidak ideal.

Mari kita belajar untuk menggunakan kata sebaiknya, baik dalam kata maupun dalam sikap. Karena manusia adalah makhluk logis yang mengharapkan penerimaan positif, timbal balik, dan alasan rasional untuk mendasari tiap tingkah lakunya.

Begitulah, maka saya sarankan teman-teman sebaiknya menggunakan kata sebaiknya karena alasan-alasan yang telah saya sebutkan di atas.

Terimakasih :)

-- pelajaran mahasiswa tingkat akhir bab Revisi Idealisme
Share:

Sunday 8 July 2018

Ramadhan Perubahan - Edisi 2 : Ricky Elson

       Orang kedua yang akan menjadi topik pembahasan dalam edisi Ramadhan bersemangat beda, Ramadhan Perubahan, kali ini adalah Bung Ricky. Orang luar biasa yang telah menggemparkan Indonesia setelah kepulangannya dari Jepang ini mulai membuat gagasan-gagasan gila paska kepulangannya. Gagasan-gagasan seperti mobil listrik yang desainnya kece badai (baca: keren banget nget nget), atau kincir anginnya yang telah terpasang di berbagai bagian dari negara ini. Dalam usianya yang belum sampai 40 tahun, beliau sudah memiliki hingga 14 paten serta mendirikan sebuah pusat riset bernama Lentera Angin Nusantara(LAN). Saking kerennya, beliau sendiri memiliki gelar tersendiri, Putra Petir. Luar biasa.

       Suatu kebetulan yang telah diatur oleh Allah bahwa aku sendiri pernah mengikuti acara yang diisi oleh beliau. Pertama, ketika Ramadhan tahun lalu. Sore hari itu Bung Ricky akan menjadi pengisi dalam kajian sore Inspirasi Ramadhan(Irama)di Masjid Salman ITB. Kami panitia sangat beruntung sekali karena beliau menyempatkan untuk mengisi sebuah acara khusus untuk panitia sebelum ashar sekitar satu jam. Di sana, beliau bercerita tentang bagaimana dulunya beliau adalah anak yang sangat bengal. Setelah itu, kami bertanya tentang banyak hal, salah satunya tentang ide mobil listrik nya yang diserang dan tidak diakui. Masih ada satu pertanyaan teman yang saya ingat terkait membuat perubahan,

Bung Ricky : "Mobil buatan saya gagal dalam serangkaian tes kelayakan produksi. Letak kegagalannya adalah di dalam tes emisi."

Temenku : "Bang, saya tidak mengerti, bukannya mobil listrik tidak memiliki emisi sama sekali karena bahan bakarnya yang berasal dari listrik?"

Bung Ricky : "Itu.. wallahu a'lam."

       Di titik itu saya pengen ketawa, wkwkkw. Sebegitunya ya Indonesia dalam tidak mendukung berkembangnya industri dan inovasi teknologi oleh anak bangsa. Saat itu saya lebih dari sekadar tergelitik untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di dunia riset dan teknologi Indonesia. Yang saya tahu, kasus ini tidak hanya terjadi sekali, tapi sudah beberapa kali. Dengan tokoh yang berbeda-beda. Mulai dari Ricky Elson dengan mobil listriknya, Pak Warsito Taruno dengan teknologi pembunuh kankernya, serta cerita tentang seorang yang mengembangkan sebuah desa dengan menggunakan pembangkit listrik sederhana dari algae(ini saya dengar dari teman saja), tapi kemudian begitu Pemerintah masuk ke desa tersebut, Pemerintah memerintah untuk mengakuisisi usahanya. Semua berakhir dengan berhentinya usaha mereka untuk mengembangkan apa yang mereka temukan di Indonesia.

       Sekitar semester lalu, ada sebuah acara di Depok yang diselenggarakan oleh Rumah Kepemimpinan (RK) dengan menghadirkan Bung Ricky Elson sebagai pembicara. Karena tidak ingin ketinggalan kesempatan luar biasa untuk bisa mengembangkan dorongan berkarya, aku langsung mencari tiket untuk bisa berangkat ke Depok. Alhamdulillah-nya, walaupun berangkat di pagi hari seminar itu, tetapi ternyata nggak terlalu terlambat materinya. Di sana, Bung Ricky bercerita tentang bagaimana sekarang beliau sudah mendapatkan sebuah ilham untuk mendirikan pesantren engineer di Ciheras. Tawaran untuk kembali ke Jepang saat itu sebenarnya ada, tetapi beliau lebih memilih untuk tetap berada di Indonesia. Menetap mendirikan sebuah tempat dimana para engineer bisa belajar untuk membangun negeri. Di sana, 'santri' harus bisa mencari uang sendiri dengan berjualan lele dan lain-lain, di sana juga ada proses belajar rumus-rumus sulit terkait perancangan pembangkit tenaga angin, teknologi yang keren.

       Di akhir materi, beliau menutup dengan sebuah pernyataan. Bahwa kita boleh ingin membuat perubahan di Indonesia ini. Banyak yang ingin. Tapi, banyak juga yang patah semangat. Jauh-jauh belajar ke luar negeri, pulang hanya untuk mendapati bahwa apa yang dipelajari dengan penuh perjuangan ternyata tidak terpakai. Ujung-ujungnya jadi handle bagian administrasi, ada juga yang jadi usaha kebun sawit, atau kerjaan-kerjaan sepertinya. Mereka hanya bisa mendapati kenyataan, sambil sebagiannya merutuki kondisi Indonesia. Kata beliau,

"Sudah, nggak usah menyalahkan kondisi. Kalau mau bikin perubahan di Indonesia, memang gak bisa kita mengandalkan Pemerintah. Jangan berharap duit, atau dukungan."

       Sungguh, sebuah pernyataan dari seseorang yang bukan hanya sudah belajar, tapi juga menerapkan ilmunya lewat belasan paten yang dimilikinya. Lebih dari sekadar menarik. Bahwa ternyata seseorang dengan paten sebanyak itu pun masih harus berjuang tanpa mendapatkan dukungan dari Pemerintah.


Gimana dengan kita?

       Gimana mau mikirin mengubah negeri. Waktu masih dibuang-buang. Fokus belum jelas. Kalau ditanya di masa depan mau bikin paten, masih ga kebayang bahkan di bidang apa. Trus punya mimpi, suatu saat nanti, saat atau setelah sesuatu terjadi, kita akan membuat suatu perubahan. Padahal, mengubah diri aja mungkin masih belum serius, masih butuh ditemenin, masih butuh diingetin, masih butuh support atau iming-iming.

       Gimana ya, kalau sudah mau bangun negeri? Apa bisa ga dapet support dana dan pengakuan dari Pemerintah? Padahal, ngurus birokrasi ke Pemerintah. Dan ini berarti segalanya. Mulai dari bangun perusahaan, sampai ke pemasaran pengiklanan, pengakuan masyarakat, dll.

Gimana ya?

       Harus banyak belajar. Banyak mempersiapkan diri, meningkatkan kapasitas. Bangun relasi. Pinter-pinter cari jalan keluar seperti cari jarum di tengah tumpukan jerami. Harus banyak belajar dari Bung Ricky.

sumber : https://www.dompetdhuafa.org/post/detail/1310/ricky-elson--tenaga-angin--mobil-listrik--dan-nasionalime

- Tulisan lama Ramadhan tingkat 6
Share:

Wednesday 13 June 2018

TED Talks - Story 1 : Apa yang Kau Lihat Hanyalah Sebuah Bayangan

       Awal Ramadhan kemarin gerakan aku sama temen-temen FightForFreedom, alhamdulillah dapat sebuah kesempatan, kehormatan, dari teman-teman di TEDxITB untuk membawakan gagasan kami di panggung TED. Setelah berdiskusi, akhirnya kami memutuskan aku yang akan menjadi speaker. Persiapan dilakukan, tapi disamping itu juga ada sesi foto speaker untuk dipasang di IG TEDxITB. Setelah difoto, aku ditanya,

"Kak, akun IG kakak apa?"

"Nggak punya."

"Wah, kakak satu-satunya pembicara yang gak punya akun IG lho. Bahkan Pak Zorro aja punya."

(ya pak zorro pak zorro aku aku - eh)

"Gak tau sih, kaya kurang nemu manfaatnya."

"Hoo.. Kalau bisa dibikin ya, Kak. Supaya nanti bisa dimention di akun kami. Kaya linkedin aja bentuknya gapapa, formal gitu."

"Okee, kupikirkan."

       Terus.. sampe akhirnya presentasi, gak kubikin juga. Ada beberapa alasan pribadi, dan salah satunya terkait fakta yang kutemukan di lapangan yaitu saat orang-orang jadi mendewakan apa yang tampak di IG. Dan melupakan apa yang terjadi di balik foto tersebut. Gimana kehidupannya, gimana hubungannya sama sodara-sodaranya, gimana masa kelamnya, gimana hal-hal yang mungkin nggak terpikirkan di kepala kita saat kita melihat foto dia.

       Selama ini, aku sangat jarang menggunakan foto pribadi untuk keperluan yang tidak perlu. Dulu, berfoto pun aku paling males. Apalagi buat bikin IG -_-. Kalau dulu prinsipnya gini sih,

Kalau acaranya gak manfaat, banyak dosa, aku gak berani adanya foto itu jadi bukti di akhirat bahwa aku pernah berada di tempat itu.

       Sehingga foto hanya di tempat-tempat baik, atau di tempat di mana aku berusaha untuk berbuat baik, regardless of the type of the place. Sedangkan untuk foto pribadi, ada sebab lain. Kalian harus tahu gaes, bahwa ada sebuah video TED (aku nontonnya dulu waktu SMA) yang imenunjukkan bahwa saat itu saja sudah ada kacamata yang hanya dengan mengarahkan kacamata itu ke orang lain, si pengguna langsung bisa melihat data-data personal seperti tanggal lahir, jumlah saudara, dari orang yang dilihat.

Gimana, kok bisa?

       Kacamata ini pake software face recognition dengan disertai database foto pengguna FB yang di download dari internet. Jadi saat kacamata diarahkan ke seseorang, akan dicari apakah dari database foto yang dipunya, ada yang match dengan wajah yang dilihat pengguna. Saat ketemu, ditunjukkan profil pribadi seperti yang saya sebutkan tadi. Jangan ngawur, itu bisa berbahaya, kita tau kan ada teman yang menggunakan tanggal ulang tahu sebagai password? Atau hal-hal lain. Jadi saat kalian taruh foto di FB, itu di download tuh, masuk database. Tapi kalau nggak, jadi gak ketemu.

--- Wait, ini oot nya agak jauh.

       Balik lagi. Setelah fase itu, foto yang kugunakan untuk profil diri biasanya pantulan di kaca. Karena agak blur, gak jelas, jadi gak akan nemu walaupun pake face recognition. Dan makin ke sini, aku makin seringnya menggunakan bayangan sebagai foto profil. Bedanya, makin ke sini udah bukan sekadar masalah teknis. Tapi juga masalah filosofi. Tadi, tentang masalah IG.

       Seiring makin banyaknya jenis orang yang kutemui, dan hal-hal di balik layar kehidupan seseorang yang tampak, aku jadi makin suka dengan pernyataanku yang ini,

Saat bertemu, melihat, seseorang, aku seperti melihat sebuah puncak dari pohon. Di baliknya ada ribuan daun, ratusan ranting, puluhan batang, batang utama, dan akar ke dalamnya juga masih sangat dalam.

       Bahwa saat kamu melihat seseorang, yang kamu lihat itu hanya bayangan. Hanya apa yang nampak di permukaan. Bisa jadi bukan dia yang sebenarnya.

       Sehingga saat melihat seseorang, aku berusaha untuk gak terkecoh dengan apa yang ada di permukaan. Ada banyak hal yang bisa jadi terjadi di balik layar.

       Ada teman yang sehari-hari tampak suka ketawa, tapi saat aku ngajak ngobrol, ternyata dia hampir dicabut beasiswanya dan gak ngerti gimana harus membiayai kuliahnya kalau sampai itu terjadi. Ada teman yang somehow sudah pernah kepikiran untuk bunuh diri, yang aku yakin pasti gak sedikit. Atau, di balik sebuah keluarga yang tampak harmonis atau sukses sekalipun, bisa jadi ada luka menganga yang tidak tampak dari luar, jurang dalam yang tembus pandang bagi orang luar.

Jadi, begitulah.

       Buat kamu yang suka berfoto, pertama aku minta maaf kalau aku mungkin pernah menyalahgunakan fotomu. Kedua, aku berdoa semoga kalian tidak menjadi hamba dari likes dari orang-orang saat kalian memposting foto kalian di IG, atau dimanapun (semoga aku juga).

       Lalu, buat kamu yang udah mulai jarang berfoto. Hayuk, mulai untuk enjoy the moment. Bisa jadi saat kamu foto dan posting, ada hal baik yang bisa kamu lewatkan. Try mindfulness. Nikmati apa yang ada. Karena beda antara kamu ngeliat foto orang surfing dengan benar-benar surfing. Beda antara kamu ngeliat orang travelling dengan benar-benar travelling. Bahkan, beda antara kamu baca tulisanku dengan kamu benar-benar mencoba memosisikan diri di posisiku menulis. There's a difference, dan perbedaannya besar. Yuk jadi lebih in the moment, maksimalkan apa yang kita punya sekarang. Jangan terdistraksi karena itu banyaknya akan bikin apa yang masuk ke otak kita jadi masuk ke short term memory bukan long term memory.

Foto akun profil ku yang terakhir.


Share:

Saturday 9 June 2018

Sekolah Melupakan  —  part 7 : Ini Hanyalah Kesalahpahaman

(maaf untuk konten ini karena terlalu personal jadi tidak ku-publish)

Tapi aku terus mendoakan agar semua teman-teman yang mungkin mempunyai struggle masing-masing menghadapi perasaan yang kadang terlalu menguasai diri sehingga kurang bisa membuat kepala menegoisasi,

Semoga Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati, bisa membalikkan hati kita. Terutama jika apa yang kita kira adalah cinta, atau mungkin dinda, bisa mereda. Dan kita bisa mengembalikan rindu kita paling utama hanya pada-Nya.

Aameen.
Share:

Takut

Takut.

Yang menjadi-jadi.

Aku masih ingat, dulu aku pernah berkata pada seorang teman baik.

Aku ingin pulang.

Dan dia bertanya balik, mau pulang kemana, Haw?


Dan jawaban yang akan kujawab seringkali membuatku dulu ingin menangis.

Karena aku takut.
Share:

Tuesday 22 May 2018

Target Bikin Buku Terdekat : Hijrah Sarungers

Hijrah Sarungers

-----

Because Hijrah Hijabers is too mainstream.

Tunggu yaa!

Doakan bisa segera mulai penyusunan hehe
Share:

Wednesday 16 May 2018

Sekolah Melupakan #4 : Mendebat Rindu

       Kadang rindu, yang lahir dari rahim cinta, muncul dengan sangat kuat. Ia membuatku terkadang merasa menjadi manusia yang sangat lemah dibandingkan Sang Pemberi Rasa. Rindu datang dengan membawa sekumpulan tuntutan dan menawarkan jaminan bahwa jika dipenuhi, seolah aku akan bahagia. Seolah memang benar ini cinta bukan sekadar dinda. Seolah ia bisa membuatku melupakan amanah, melupakan semua pikiran lain dan hanya terfokus pada rasa yang sedang membuncah.

       Padahal, semestinya tidak perlu begitu. Aku perlu terus dan terus belajar bahwa tidak ada cinta sejati kepada sesama manusia selain cinta selepas ijab kabul diucapkan. Aku belajar ini dari satu tokoh yang menjadi banyak inspirasi buatku mulai dari perihal kesholehan ibadah, akhlak, sampai perihal cinta. Dia adalah Fahri Abdullah dari novel Ayat-ayat Cinta. Dalam AAC 1, Fahri sempat mendapatkan surat cinta dari Nurul sesaat setelah dia sudah menikah dengan Aisha. Nurul ini temannya sesama dari Indonesia dan sama-sama termasuk kuat dalam belajar agama juga(dan seingetku sempat bikin Fahri galau juga).

Isi surat Nurul, 

“Kak Fahri,
Sungguh aku maaf sampai hati menulis surat ini. Namun jika tidak maka aku akan semakin menyesal dan menyesal. Bagi seorang perempuan, jika ia telah mencintai seorang pria, maka pria itu adalah segalanya. Susah melupakan cinta pertama apalagi yang telah menyumsum dalam tulangnya. Dan cintaku kepadamu seperti itu adanya, telah mendarah daging dan menyumsum dalam diriku. Jika masih ada kesempatan, mohon bukakanlah untukku untuk sedikit menghirup manisnya hidup bersamamu. Aku tak ingin melanggar syariat. Aku ingin yang seiring dengan syariat.”Surat ini beliau balas sama pendeknya dengan mutiara kata-kata yang masih terus aku coba pahami dan pelajari,

“Nurul,
Cinta sejati dua insan berbeda jenis adalah cinta yang terjalin setelah akad nikah. Yaitu cinta kita pada pasangan hidup kita yang sah. Cinta sebelum menikah adalah cinta semu yang tidak perlu disakralkan dan diagung-agungkan.

Nurul,
Dunia tidak selebar daun anggur. Masih ada jutaan orang saleh di dunia ini yang belum menikah. Pilihlah salah satu, menikahlah dengan dia dan kau akan mendapatkan cinta yang lebih indah dari yang pernah kau rasakan.”
 
       Sebagian orang bilang bahwa menikah itu butuh cinta. Sebagian lagi bilang bahwa cinta bisa ditumbuhkan setelah menikah saja. Yang mana yang benar? Ku tak tahu. Aku sedang tidak mengajak diskusi tentang cinta setelah menikah, tetapi sebelumnya.

       Yang jelas adalah bahwa cinta sebelum menikah itu bukan benar-benar cinta. Bahwa rindu sebelum menikah itu adalah godaan syaithan. Bahkan setelah menikah sekalipun, rindu dan cinta pada yang bukan pada orang yang seharusnya juga merupakan godaan syaithan. Godaan yang sangat kuat.

       Bismillah. Mari berdoa semoga kita yang mungkin sedang dilanda rindu mendapatkan kesabaran yang sedang sangat kita butuhkan. Semoga cinta dan rindu kita kepada-Nya sudah sempurna sebelum kita bertemu dengan manusia yang kita cinta. Cukup sempurna untuk tidak membuat kita lupa diri bahwa cinta yang kita miliki untuk sesama juga datang dari-Nya. Cukup sempurna untuk membuat kita kita mesti terus mensyukuri rasa yang dititipkan kepada kita dengan lebih dan terus berusaha mendekat pada-Nya.

Aamiin.
Share:

Tuesday 1 May 2018

Sekolah Melupakan #3 : Transisi Cinta Menjadi Dinda

Dulu, aku termasuk orang yang suka dengan lagu-lagu terkait cinta. Masa-masa dimana cintaku masih lemah dan jauh dari kata dewasa. Dimana cintaku masih jauh dari mengenali Yang Maha Cinta, Allah.

Dulu, aku adalah seorang kritikus kutipan-kutipan cinta dan relationship. Saat itu, yang kulakukan adalah aku mencoba menabrakkan antara apa yang ada dalam quotes dengan realita serta apa yang saat itu kuhadapi. Ya, memang.

Dulu aku pernah mencoba untuk belajar menerapkan salah satu bentuk cinta pada seorang teman. Bentuk cinta yang kumaksud adalah kepedulian. Bertanya kabar, mengirimkan do'a, memberi tanpa minta kembali, berharap yang terbaik baginya. Aku belajar tentang sesuatu yang dulu kuketahui sebagai cinta.

Itu dulu.

Sampai kemudian aku belajar tentang cinta pada sesuatu yang bukan manusia, bukan makhluk. Cinta pada Tuhan yang mem-fuse, memasukkan cinta ke dalam hati seorang manusia, sekaligus juga bisa mengeluarkannya. Dia yang membolak-balikkan hatiku, dia, kita, semua manusia, ciptaan-Nya.

Setelah itu aku mulai belajar bahwa banyak lagu yang kudengar terkait cinta, sebagian besar banyak yang meninggikan cinta pada manusia di atas cinta pada Tuhan. Which some people warned to me to be aware that some lyric in those songs may be another form of syirik or at least, a lie.

Ya, betul. Saat mengatakan kau adalah darahku. Tidak juga. Saat mengatakan kau adalah segalanya bagiku. Nah, terus posisi Tuhan dimana? Saat mengatakan I can't live without you. Gabungan dari yang tadi, sudah bohong, terus seharusnya kita teh ngomong gitu pada Allah, bukan pada manusia.

Jadi, aku memutuskan untuk menggunakan kata dinda. Dinda is like a crush. Gebetan. Atau kecengan. Pertama jelas, bahwa Dinda itu pastilah terkait dengan rasa suka pada manusia. Tidak terkait dengan rasa ingin memiliki, rasa butuh berlebih, atau kegilaan-kegilaan lain yang mungkin diasosiasikan dengan kata cinta. Jadi, tidak berbohong. It's just like, not love.

Kedua, dengan membiasakan menggunakan kata dinda, aku mulai belajar bahwa dinda bisa berubah-ubah. Rasa suka bisa berganti menjadi biasa saja. What you like today may be not the one you like tomorrow.

Dengan menggunakan kata dinda, aku belajar bahwa cinta itu bukan sembarang frasa. Di baliknya ada kepedulian, rasa sayang, yang semuanya diatas sebuah komitmen dan tanggung jawab. Jadi bukan sekadar sayang-sayang sembarangan, tapi harus berani untuk konsisten, walaupun mungkin sudah bosan, sudah tidak suka. Harus tetap komitmen untuk terus menumbuhkembangkan cinta dan apa yang ingin dicapai bersama dengan cinta, termasuk bersama dalam mengejar cinta-Nya.

Banyak sekali pelajaran yang aku dapatkan dari memberikan pembatas yang jelas antara cinta dengan dinda.

Nyata, itu membuatku lebih mudah untuk bisa melupakan seseorang yang butuh kulupakan. Aku sadar, bahwa dia bukan segalanya. Ini, hanyalah sebuah rasa yang hinggap sementara dan mungkin esok jua tak kan kembali berkunjung.

Jangan pula terlena dengan apa yang ada di lagu dan novel roman picisan yang seolah memosisikan cinta sebagai sebuah rasa yang menjadi tokoh utama. Seolah-olah cinta adalah segalanya. Mampu mengubah persepsi, pandangan, bahkan keyakinan. Salah dibenarkan. Buruk dibaikkan.

Semoga kita tidak sampai tercebur ke sana yah :)

Mungkin, di akhir ini aku ingin menutup dengan sebuah lagu yang dulu suka kudendangkan,

Terlanjur mendindai dirimu,
terlambat bagiku, pergi darimu.

PS : Tenang, Haw. Dinda itu bisa datang dan pergi. Ikut kata ibu aja, namanya ada di sana di Lauh Mahfudz. Tenang, sabar, fokus berbuat kebaikan. Semangat :)
Share:

Sunday 22 April 2018

Sekolah Melupakan #2 : Single but Taken. Galau?

       Kembali dari mukhoyyam kemarin, ada banyak hikmah yang kudapat. Pemateri utama, Ustadz Fadhil Al-Makky dengan baik menyampaikan pesan dan inti dari kitab At-Tibyan agar kami bisa memahami apa esensi dari belajar, menghafal, dan mendekati Al-Quran. Kami diberi pesan untuk tilawahlah dimanapun kami berada, jangan malu. Kami juga belajar tentang mudzakkarah (saling mengingatkan) dalam kebaikan sebelum melakukan aktivitas-aktivitas harian seperti tidur, makan, dan safar.

       Satu hal lagi yang menarik dari mukhoyyam dengan Ustadz Fadhil sebagai pematerinya adalah bagaimana beliau itu sosok yang sangat supel, enak diajak ngobrol, dan bisa nyambung. Bayangin ada ustadz mau jadi pemateri dari awal acara sampai akhir coba, dimana bisa nemu yang kaya gitu? Beliau membimbing kami dari setiap tahapan acara yang kami lakukan. Seolah jadi nggak ada jarak antara beliau sebagai pemateri, dan kami sebagai pembelajar. Beliau dekat dengan kami. Termasuk, saat kami pulang dari mukhoyyam.

       Ceritanya, waktu pulang dari angkot, beliau berada di satu angkot dengan kami(which is very rare, pemateri mau pulang bareng, satu angkot sama peserta. Kayanya belum pernah ada coy, ustadz lho). Di sana obrolan pun mengalir panjang. Mulai dari kisah sirah tentang peperangan di masa Umar, Muawiyah, perpecahan yang terjadi. Lalu topik berganti menjadi topik yang amat beliau kuasai, perihal jin dan ruqyah. Beliau bercerita tentang sihir yang kuat ada di Palembang, lalu di sebuah daerah di Aceh, tentang (maaf) kemaluan pria yang hilang/disfungsi karena disihir. Penyebabnya adalah dia berani-beraninya mempermainkan hati perempuan asli sana. Sampai sini, beliau berpesan,

"Makanya, jangan berani-berani kalian mainin hati perempuan. Perempuan itu akalnya pendek (kalau sudah dikuasai oleh rasa yang kuat untuk memiliki). Dukun bisa bertindak."

"Siap, ustadz."

Hingga ada yang nyeletuk,

"Ustadz, gimana kalau hati kita yang dimainin sama perempuan?"

(glek)

"Wah, kalau seperti itu, langsung saja. Lamar orangnya."

Terjadi kericuhan sesaat, lalu obrolan mengalir lagi seperti biasa.

       Sebetulnya, begitu mendengar pertanyaan itu, aku terhenyak sesaat. Itu.. adalah pertanyaan yang sangat menarik. Selama ini seringkali diposisikan seolah-olah lelaki adalah pihak yang suka bermain-main dan membuat perempuan menderita. Tapi jarang sekali ada kisah tentang bagaimana lelaki menderita karena cinta. Kaya yang udah pernah kubahas di sini. But, believe me, it happens. Cowok yang mengalami tingkat kebaperan level tinggi padahal sudah biasa menjaga diri itu sangat bisa(baca yaa, bisa bukan biasa) terjadi.

Jadi harus bagaimana?

       Melamar orang yang menyebabkan itu? Not that easy, tho. Ada nafkah yang harus dipikirkan. Mungkin makan diri sendiri saja belum bisa dipenuhi, bagaimana dengan menambah satu perut untuk diurus? Bagaimana kalau sudah jadi tiga perut? Si momongan kecil? Kalau misal mau tinggal di luar negeri, bagaimana dengan pekerjaan yang dijalani? Apa cukup? Bagaimana mengurus biaya asuransi kesehatan di LN? Kan di sana nanti biaya kesehatan kalau ga ada asuransi bisa keos. Pertanyaan-pertanyaan yang sampai pada satu titik simpulan,

Banyak orang itu mengganggap menikah itu menyelesaikan masalah. Padahal, masalah yang datang itu lebih besar dan lebih kompleks dari apa yang sudah mereka hadapi selama ini.

Well, us boys do suffer. Kebutuhan biologis yang meningkat drastis, perasaan yang tak keruan, tetapi tidak diimbangi dengan kesiapan untuk membangun sebuah rumah tangga.

Cuman, aku akan mencoba menerapkan prinsip yang kudapat dari mukhoyyam kemarin juga. Begini prinsipnya,

"Penghafal Quran yang bingung, galau, masalah keduniannya, adalah sedungu-dungunya orang. Bagaimana mungkin seseorang yang sering bermunajat pada Allah lewat tilawahnya, Allah tidak penuhi keinginannya."

Allah.. Laa haula walaa quwwata illaa billah..

bacaan tambahan, bagaimana cowok bisa sangat terpengaruh oleh perasaan dari relationship : https://www.elitedaily.com/dating/broken-men-heartbreak-love/1332715
Share:

Sunday 15 April 2018

Sekolah Melupakan #1

Tentang rasa yang mengetuk masuk dan tak kunjung pergi jua.

Bagaimana melupakannya?

Kala mencoba lupa justru membuat kehadirannya pada alam tak nyata,

masuk begitu saja dalam mimpi-mimpi biasa.

Adakah yang bisa memberiku sebuah pencerahan ?

Tentang bagaimana mengalihkan rasa.

Mencari makna dari kehidupan-kehidupan manusia lainnya.

Membuat diri menjadi tak hanya terfokus pada apa yang dialami dan dipunya.

Lupa.

Aku ingin belajar untuk bisa lupa.
Share:

Tuesday 10 April 2018

Where Are We Going With Science, Really?

       Sore ini adalah kelas-kelas terakhir dari kelas fisika radiologiku. Ya, semester ini aku ngambil dua matkul fisika yang kurasa asik, well, sekaligus menuhin syarat kelulusan juga sih (harus udh ngambil basic science). Jadi aku ngambil fisika radiologi dan fisika modern. Masing-masing membahas tentang bagaimana perkembangan fisika dalam dunia modern sekarang. Di kelas, materi yang dibahas itu tentang terapi radiologi seperti konsep dari mesin X-Ray, Co-60, LINAC, etc. Di akhir kelas, aku yang masih ada yang bingung tentang materi pun bertanya ke bapaknya.


       Pertanyaanku sih tentang materi, tapi bapaknya menjawab.. oot (out of topic). Beliau jadi cerita tentang rasa ingin tahunya apakah bisa menggabungkan dua buah sel, seperti sel jagung dan sel padi, cerita tentang kloning manusia yang katanya udah dilakukan entah dimana tapi belum diekspos aja, dan tentang konferensi yang pernah beliau hadiri bersama seorang peraih Nobel bernama Abdus Salam dengan topik The Origin of Life 'Asal Mula Kehidupan'. Pada suatu titik bercerita, yaitu pas beliau lagi cerita tentang etika dalam pengembangan teknologi dan sains, beliau bilang,

"Kadang, saya saat baca berita-berita perkembangan sains itu jadi termenung. .. Anda, Muslim kan?"

"Iya, Pak."

"Iya, menurut saya kalau ada yang mengembangkan kloning manusia dan tidak diekspos itu kan merupakan suatu ujian tersendiri buat dia ya."

(ujian .. ga paham)

"Maksudnya, Pak?"

"Iya, dia bisa menemukan itu kan pastinya merupakan ujian, dan juga udah takdir dia."

" ... " (gak berani jawab)

"Saya itu suka termenung dengan perkembangan dunia biosistem ini. Karena, banyak yang bekerja di daerah-daerah garis."

(garis perbatasan apakah suatu eskperimen dan sains itu etis atau tidak, melangkahi Tuhan atau tidak.)

"Menurut saya, kloning manusia itu sudah nembus batas sih, Pak. Maksud saya, harusnya kan biarlah yang sudah mati ya mati dengan tenang."

"Itu .. saya tidak tahu,"

       Cuplikan obrolan ini membuatku berpikir. Apa yang diceritakan dosenku itu memang benar-benar sebuah pemikiran mutakhir. Yang berbicara adalah seorang saintis ahli di bidangnya, fisika medis dan biofisika. Ketika beliau yang sudah sepaham itu dengan fisika saja berkata bahwa beliau 'termenung'.. Aku harus gimana?

       Aku jadi bertanya, sebenarnya pengembangan sains dan teknologi yang sedang gencar kita lakukan, di kampus ITB ini salah satunya, itu kemana? Untuk apa?

       Back to theory. Dalam Islam, beruntung aku terlahir dalam Islam. Aku telah mendapatkan sebuah pedoman yang membuat aku merasa aman dan terpandu dalam menjalani kehidupan. Masih hangat materi yang diberikan oleh Ustadz Abdul Somad terkait Teknologi untuk Indonesia, di sana beliau menyampaikan,


إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ 

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." (QS. Ali Imran: 190)

 الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka." (QS. Ali Imran: 191)

(Disalin dari : http://www.bacaanmadani.com/2018/01/kandungan-al-quran-surat-ali-imran-ayat.html)

       Sederhana sekali penjelasan beliau. Bahwa esensi dari menjadi seorang yang berakal (ulul albab) adalah agar di setiap posisi kita adalah selalu mengingat Allah dan berpikir tentang penciptaan alam semesta. Lalu, indikator zahir(tampak) bahwa seseorang adalah ulul albab adalah saat ia mengatakan bahwa tidak ada yang diciptakan yang sia-sia. Lalu ia sadar bahwa Allah itu Maha Suci. Dan puncaknya adalah bahwa ia meminta perlindungan dari siksa neraka.

       Jadi, ketika ada pertanyaan, where are we going with science and technology, really? Maka jawabannya adalah, agar kita dihindarkan dari siksa neraka. Berarti tauhid akidahnya selamat, ibadahnya benar, akhlaknya mulia. Bahkan, salah satu cabang iman paling akhir adalah, menyingkirkan duri/gangguan/paku di jalan agar tidak ada orang lain yang terkena dampak buruknya.

Benar-benar pedoman yang menyejukkan :)

Alhamdulillah.. Ya muqollibal quluub tsabbit qolbi 'alaa diinik.

Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." (QS. Ali Imran: 190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka." (QS. Ali Imran: 191)

Disalin dari : http://www.bacaanmadani.com/2018/01/kandungan-al-quran-surat-ali-imran-ayat.html
Terima kasih sudah berkunjung.
Share:

Friday 30 March 2018

Walk the Talk. Make Change!

Akhir-akhir ini aku mulai coba ngutak-atik Linkedin. Just in case, good opportunity comes. Ga mau kehilangan kesempatan yang mungkin kudapat di momen-momen menjelang mencari pekerjaan ini.

Terus aku bingung di bagian profil. Bagian Motto Profesional. Karena orang lain pada pake status kerja atau kemahasiswaan mereka sekarang gitu. Is that a professional motto? Really, dude. Karena aku baru tau sama istilah motto professional, awalnya kukira harus pake motto pribadi. Jadi, ya biarlah pake motto pribadi aja. Kata-kata yang menurutku sedang inspiratif sekali. Sederhana, bernyawa dan penuh isi.

Walk the Talk. Make Change.

Dulu, pertama kali aku belajar tentang benar-benar ngelakuin sesuatu daripada membicarakan bahwa akan melakukan sesuatu, adalah dari ngeliat billboard di pinggir jalan, iklan rokok. Isinya sederhana, talk less do more. Ini berbekas banget. Diperkuat dengan ribuan pertarungan yang kujalani di game online dulu ngelawan orang lain dari berbagai daerah di Indonesia. Aku belajar bahwa pro ga banyak bacot. Yang sukanya ngeluh, yang sukanya nyinyir, yang sukanya sumpah serapah, yang sukanya ngomong gak penting itu seringnya bocah. Kalau bukan bocah secara fisik berarti bocah secara pola pikir.

Banyak hal berubah sejak itu. Terus aku juga belajar dari salah satu prinsip imam besar yang melegenda. Prinsip itu adalah,

Hindari pembicaraan yang tidak ada orientasi perbuatan di atasnya. 

Maksudnya adalah, daripada berbicara, berdebat ga jelas sama orang padahal setelah itu ga akan ada apapun yang dilakukan, kaya ga akan nambah sedekah, ga bikin mulut senyum, ga bikin iman bertambah, gini-gini mending ditinggalin aja obrolannya. Kalau ga ada kebaikan, ga ada perbuatan baik yang akan muncul dari pembicaraan, baiknya tinggalkan aja.

From that point on, aku makin mantap untuk hidup dengan prinsip kerja dulu, baru ngomong. Satu hal yang sempat kusadari waktu awal kuliah adalah, saat aku mengatakan kepada orang lain bahwa aku akan melakukan sesuatu, seringkali aku ujung-ujungnya ga konsisten. Terus aku sadar, bahwa ngomong itu sebenarnya maksudnya apa? Mau minta disanjung orang lain? Diapresiasi? Terus kalo ga diapresiasi jadinya ga ngelakuin?

Di situ letak jebakannya.

Akhirnya aku jadi memegang teguh prinsip, lakuin dulu. Kalau kamu udah konsisten, kalau ucapan, komentar, dan nyinyiran orang lain ga akan membuat kamu berhenti ngelakuin apa yang kamu percayai sebagai sebuah tindakan yang benar, nah itu saatnya untuk kamu sanggup menyampaikannya ke orang lain. Kalau belum, sebaiknya ga usah diucapin, daripada malu karena ternyata ujung-ujungnya ga istiqomah. Mending lakuin dulu, dan lakuin aja. Peduli amat orang lain peduli atau nggak.

Well, itu kondisi idealnya. But, at least, aku terus berusaha untuk menjaga keidealan itu.

Jadi, itu filosofi kalimat pertama. Sekarang, masuk kalimat kedua.

Make Change!

Sederhana aja. Di saat orang lain berorientasi untuk mengejar posisi dan pekerjaan dengan menunjukkan apa pekerjaan dan tingkat mereka sekarang, aku sih ga ngejar itu banget. Bukan profesi yang kucari. Sederhana aja, ngutip Pak Michael Jackson,

Heal the world, make a better place ~

Mengubah dunia sedikit saja lebih baik, sedikit demi sedikit. Tapi kalau nanti aku dapet profesi yang kuinginkan, alhamdulillah. Aku berharap pilihanku benar bahwa profesi itu bisa membuat perubahan besar yang positif. Aamiin.

So, keep fighting! Tidak ada kata terlambat untuk perubahan yang lebih baik. Save the talk, do the work.
Share:

Sunday 25 March 2018

Menjadi Bintang untuk Seseorang

Kalau kamu gak bisa jadi bintang untuk semua orang. Kalau kamu gak bisa menginspirasi ribuan orang.

Jangan tertekan.

Menginspirasi, memberikan harapan, untuk satu orang saja sudah luar biasa.

Semangat menebar kebaikan !
Share:

Wednesday 14 March 2018

Siapa Namanya, Haw?

Kisah selanjutnya dari bahasan terkait hati.

Beberapa hari terakhir aku sudah dua kali diberikan pertanyaan terkait ini.

"Siapa orangnya, Haw? Namanya?"

Kalau kalian mendapat pertanyaan seperti ini, apakah kalian bersedia untuk menjawabnya? Menjawabnya dengan nama sesosok manusia yang telah berada dalam dzahir dan batinmu. Kau tulis namanya dalam daftar rencana masa depanmu, kau ukir di hatimu sebagai sosok yang telah pernah mengetuk dan mungkin pernah mengisinya meski mungkin sebentar.

Jujur saat pertama ditanyakan itu, kemarin lusa pagi, aku tidak tertarik untuk menjawabnya. Jawabanku saat itu sederhana,

"Namanya ada di sana, di atas. Di lauh mahfudz. Udah ditulis. Cuman aku belum tahu siapa."

Ke adik-adik mentor yang kasih pertanyaan itu di sesi sharing santai di kantin Salman.

Malamnya, pertanyaan yang mirip dengan bentuk yang lain dan metode yang lebih menohok, dilontarkan oleh temanku selepas kami makan malam. Awalnya ia bercerita sedikit,

"Iya, Haw. Urang lagi berproses nih, ta'aruf. Eh iya, maneh udah ada calon belum? Siapa tuh?"

Awalnya aku tak berniat untuk menjawab karena mungkin itu dia maksudkan hanya sebagai pertanyaan iseng biasa. Sampai dia melanjutkan,

"Namanya siapa, Haw? Biar gak rebutan. Takutnya sama."

Baru deh aku shock. 

.. Iya, ya. Bisa jadi dia berproses dengan sesosok orang atau nama yang telah menemani hatiku di sebagian waktu.

Ragu. 

...

What if? What if?

Pikiran ini berlanjut bahkan sampai kemarin. Saat aku berpikir apakah aku sebaiknya menyampaikannya atau tidak. Seperti setan dan malaikat berputar-putar di kepalaku.

Jangan dikasih tau. Ntar bisa disebar. Ntar kalau sampai di orangnya bisa jadi ujian. Buat kamu dan buat dia. Tapi.. kalau nggak dikasih tau, terus kamu nerima surat undangan dari dia dengan nama itu, kamu rela?


... aargh.

Semenjak aku belajar tentang menjaga hati, aku dengan sangat sadar menghindari bahkan menyebutkan bahwa di dalam hatiku ada satu nama. Tetapi khusus untuk tulisan ini, aku hanya sekadar ingin berbagi ibroh 'pelajaran'.

- Pelajaran #1 : 

Aku jadi teringat dari cerita Ayat-ayat Cinta 2 yang menceritakan saat dimana Fahri mendapatkan surat dari Nurul (kalau aku nggak salah) tentang gimana kondisi perasaan Nurul untuk Fahri. Surat itu baru sampai di Fahri setelah Fahri bertunangan dengan Aisha. Saat itu, satu frasa yang baru benar-benar coba kumaknai beberapa hari terakhir ini adalah,

"Sesungguhnya cinta yang sebenarnya itu adalah cinta dalam pernikahan."

Bahwa boleh jadi sekarang aku menulis satu nama, atau mungkin membuat alternatif-alternatif nama lain, tapi tetap saja. Allah yang menentukan. Kenapa harus mencoba melangkahi-Nya dengan bersikap bodoh seolah hanya ada satu orang saja dan tidak ada pilihan lain?

- Pelajaran #2 :  

Pelajaran kedua adalah tentang mengikhlaskan, tentang jodoh yang sebenarnya. Bahwa kalau toh ternyata aku akan menerima surat undangan berisikan nama temanku dan dia, ya berarti memang mereka berjodoh. Itu berarti bahwa aku dan dia memang bukan jodoh satu dengan yang lain. Seberapapun pahitnya, itu yang Allah berikan. 

Pelajaran selanjutnya jika itu benar terjadi, adalah tentang mengamalkan konsep mengikhlaskan. Belajar lagi tentang lupa, belajar lagi tentang bingung, belajar lagi tentang mencari satu nama, belajar lagi untuk menemukan cinta. Meski, tetap cinta yang sesungguhnya adalah cinta selepas pernikahan. Cinta yang Dia anugerahkan bagi mereka yang telah dengan sungguh-sungguh berkomitmen dengan cinta tersebut. Yang akan membuatku berani mengucapkan perjanjian yang setara dengan janji para Nabi, berani untuk mengguncangkan Arsy dengan menyebutnya.

Jadi. Hati. Belajarlah.

Belajarlah untuk ikhlas.

Lalu. Kepala. Belajarlah.

Belajarlah untuk fokus pada berbuat kebaikan. Belajar untuk yakin bahwa menikah dengan siapa itu adalah sarana dan bukan tujuan utama. Pahamkan pada isi kepalamu bahwa menikah memiliki both tujuan ibadah dan tujuan dakwah.

Lalu. Kembali ke hati.

Pemahaman yang telah dicapai oleh saudaramu kepala, sambutlah ia dengan baik. Bersikaplah terbuka, lalu belajarlah untuk meyakininya. Semoga dengan keyakinan itu kamu menjadi bisa lebih setia pada nilai dan bukan pada materi. Pada maksud dari pernikahan dan bukan sarananya. Dan dengan kesetiaan itu, belajarlah untuk bisa berkomitmen. .. Meski jujur aku tak tahu bagaimana aku bisa menceriterakan padamu terkait komitmen untuk bahasan ini karena aku sendiri masih belum berani untuk berkomitmen.

Barakallah.

Teruntuk hati dan kepala,

Jadilah berkomitmen sebagaimana kamu belajar untuk berkomitmen dalam beragama, dalam mencintai-Nya, dalam iman kepada-Nya.

--------

Kutipan sebagai penutup.

"Pengetahuan akan melahirkan keyakinan yang mantap. Keyakinan yang mantap akan melahirkan kesetiaan. Kesetiaan akan melahirkan komitmen (iltizam) melaksanakan segala konsekuensi syahadat."

- Ma'na Syahadatain - Syuruthu Qabuulisy Syahadatain

PS : jangan ada yang nanya lagi yaa, huhu
Share: