Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Friday 16 December 2016

Antara Nurani, Kebaikan, dan Syukur

       Semua manusia, terlepas dari latar belakang apapun, dibekali oleh Tuhan sebuah karunia yang mampu menuntunnya untuk menjadi lebih manusiawi. Karunia itu adalah hati nurani. Tetapi, mengapa makin ke sini makin sering muncul pertanyaan, di mana hati nuraninya?

"Antara nurani, dan kejahatan"
       Saat melihat ada orang yang korupsi, atau yang membunuh sanak keluarganya sendiri, atau bahkan, 14 pemuda yang dengan teganya memperkosa seorang wanita berusia 14 tahun, lalu membunuhnya usai terlampiaskan hasrat mereka.  

Tanyaku, di mana hati nurani nya? 
Tanyaku pada kalian, kalian sendiri masih punya hati nurani tidak?
Tanyaku pada diri sendiri, apakah aku masih bisa menjaga hati nuraniku? 

Apa yang sebenarnya terjadi? Who's the one behind the scene, the one that makes people more inhumane -- makin kehilangan hati nurani.

"Antara nurani, dan kebaikan"
       Saat melihat seekor kucing kecil yang mendatangi kita yang sedang makan sambil mengeong pertanda kelaparan, saat melihat wajah teman kita begitu keruh, tak tenang, sedikit-sedikit memegang dahinya pertanda gelisah, saat mata kita tiba-tiba beradu pandang dengan mata pemulung yang sedang membawa karung goninya di tangan kiri, dan besi berbentuk L nya di tangan kanan. Dan, kita tidak melakukan apa-apa. Kita teruskan makan kita, kita terus berangkat kuliah, kita teruskan saja bersikap seolah tidak ada yang salah.

Tanyaku pada diri sendiri, apakah aku sudah melakukan sesuatu di saat-saat seperti itu?
Tanyaku padamu, apa yang kau lakukan saat tidak melakukan apa-apa? Menyesalinya, atau merasa itu memang bukanlah permasalahan apa-apa?
Tanyaku, dimanakah letaknya hati nurani kita?



"Antara nurani, dan syukur"
       Aku bersyukur aku memiliki seorang teman yang banyak memberikanku pelajaran terkait menjaga kebersihan. Ia memiliki kebiasaan memungut sampah yang ia temui di pinggir jalan. Ya, kulihat tidak di semua tempat, tetapi setidaknya jika ia tidak mengambil sampah, ia akan senantiasa mengingatkan temannya jika ada yang membuang sampah sembarangan. Ia suka bercerita,

"Kamu tahu, Haw, rasanya sungguh menyenangkan bisa memungut sampah. Nggak ngerti kan senangnya dimana? Mungkin aku hanya satu di antara ratusan juta penduduk Indonesia, satu di antara belasan ribu mahasiswa ITB, tetapi dengan melakukan ini aku menjadi yakin, bahwa aku adalah salah satu di antara sedikit orang yang sedang membuat perubahan untuk Indonesia. Yaa, seenggaknya Cisitu juga bagian dari Indonesia, kan? Hehe."

Aku takjub.
Sesederhana itu mengubah Indonesia. Tak perlu muluk-muluk membuat sistem persampahan nasional. Sistem daur ulang limbah. Atau apapun yang bisa dikerjakan hanya jika sudah lulus kuliah. Kutanya padanya apa dorongan yang membuatnya konsisten dalam melakukannya, is it worth it?

Jawabnya lagi,

"Kamu juga harus tahu, Haw, (kebiasaanku) ini sangat erat dengan menjaga hati nurani. Ia(hati nuraniku) berkata bahwa tidak benar ada sampah di pinggir jalan. Kuturuti hati nuraniku dan kuambil sampah-sampah tersebut lalu kubuang di tempat sampah yang kulalui kemudian. Aku jadi sadar, saat aku menurutinya dengan langsung, ia(hati nurani) merasa dihargai dan menjadi lebih sering muncul. Ia menjadi hidup dan mewarnai kehidupanku, tidak terbunuh oleh modernisasi ataupun rasa terburu-buru karena aku yang terlalu sibuk. Aku menjadi peka terhadap permasalahan teman, peka terhadap apa yang tidak manusiawi, bahkan terkadang, terhadap apa yang benar dan yang salah. Dan bukan sekadar peka, tetapi aku juga melakukan sesuatu dengan masalah tersebut. Tidak membiarkannya diam begitu saja."

Menarik. Benar-benar menarik.
Boleh jadi itu rumus yang kita cari selama ini. Sepertinya, masalah orang zaman sekarang adalah, pertama, kita semakin kurang mendengarkan apa suara hati kita, misal di saat momen-momen di bagian awal tadi terjadi, kita malah memilih sibuk dengan hal lain seperti gadget. Atau, memilih belajar. Atau tergiur dengan pikiran ini,

"Maaf, nggak ada waktu, dikejar deadline." *kadang aku juga sih ._.v*. 

 Well, masalah kedua udah cukup jelas, boro-boro ngelakuin sesuatu terkait permasalahan yang ditemuin oleh hati nurani kita, mendengarkan suara hati nurani aja enggak.

Jadi, begitu ternyata rumusnya, dengarkan apa kata hati nurani, lakukan sesuatu jika memang kita merasa ia benar, dan lihatlah bahwa ia akan menjadi lebih hidup. Ia akan lebih sering memberikan kita pencerahan, hati yang dituntun oleh nurani dari Tuhan.

"Antara nurani, kebaikan, dan syukur"
       Syukur. Sungguh menakjubkan lagi pembahasan yang satu ini. Saat kutanya padanya, apa dia tidak lelah melihat kotornya daerah yang ia lalui, dan ia yang biasa mengambilnya, apa ia tidak bosan? Apa tidak menyalahkan keadaan? Apa tidak menuntut orang supaya tergerak hati nuraninya untuk turut serta dalam menjaga kebersihan? Apa tidak marah melihat kenyataan?

Apa katanya? 

"Aku bersyukur, Haw. Aku pernah ke kajian di Daarut Tauhid. Disana Aa Gym berpesan terkait syukur dan kebaikan. Waktu itu beliau bertanya pada jama'ah. Kalau kalian bersedekah kepada seorang pengemis, siapa yang seharusnya bersyukur? Kamu pasti berpikir, jelas pengemisnya karena dia yang butuh kan? Kata Aa' bukan. Harusnya kita yang bersyukur. Kita yang digerakkan oleh Tuhan untuk memberi, yang masih diberikan hati nurani, dan diberikan kekuatan untuk mengikuti apa kata hati nurani. Nggak banyak yang diberikan karunia itu. Sama dengan kasusku, aku juga bersyukur karena aku diberikan kesadaran oleh Tuhan untuk menjaga kebersihan. Do'akan istiqomah yah. Dan semoga ada yang mengikuti."

Aamiin.

Dan aku pun mengikutinya. Aku benar-benar kagum dengan prinsip yang ia punya. Buat apa juga seseorang yang melakukan kebaikan merasa tinggi hati, ujub, dengan apa yang kita perbuat. Itu semua adalah karunia dari Tuhan untuk menjaga kita tetap dalam kebaikan. Bersyukur, tidak kufur akan nurani, dan hidayah yang telah Ia berikan pada kita.

"Penutup"
       Pagi ini, seekor kucing tidur dengan posisi menyamping di pinggir jalan. Tampaknya seperti menikmati indahnya pagi. Tapi ada yang aneh. Mulutnya agak terbuka sedikit. Perutnya, ternyata tidak naik turun sama sekali, tak bernafas. Ia sudah mati. Terlindas oleh kendaraan yang memilih untuk hanya meminggirkannya saja.

Jika kita melihatnya, apa yang kita lakukan?

Atau, permasalahan lainnya. Gempa aceh, Aleppo, Rohingnya. Atau permasalahan 'kecil', teman yang sedih dengan hasil ujian, or it could be anything.

Enak ya punya temen kaya Dori,
Atau mungkin, lebih enak lagi kalo bisa jadi temen kaya Dori?

 Selamat menjaga hati nurani, para penjaga hati :)
Share:

Saturday 10 December 2016

Review Novel : Nikah Aja, Yuk!

- Sebelum berkata apa-apa, saya akan nyatakan dengan gamblang di awal: Buku ini bukan tentang menyegerakan menikah, buku ini tentang apa yang harus dilakukan jika kita belum menikah - 

        Kamis sore kemarin saya kebingungan, ada masalah. Setelah berpikir sebentar, kuputuskan untuk coba mencari solusinya di toko buku. Kenapa ke sana? Well, begitulah saya. Sebentar-sebentar tiba-tiba pengen beli buku. Kalau lagi ada masalah besar yang saya nggak ngerti sebenarnya masalah saya apa, biasanya opsi pergi ke toko buku menjadi menarik. Di toko buku saya akan muter-muter, nggak jelas sebenarnya apa yang dicari. Ya itu, saya sendiri nggak ngerti masalah saya apa, cuman berharap aja siapa tahu ada buku di Gra***ia yang seolah-olah mengerti bahwa saya sedang ada masalah, dan buku ini menawarkan solusi. Buku ini, setelah saya ambil di antara tumpukan buku yang lain dan berada dalam genggaman tangan, keinginan untuk memilikinya mendadak meninggi. *I want this book so much, sow much*. Meski tidak lama setelah itu, rasionalisasi datang, lalu saya pun jalan-jalan lagi dan coba mencari buku lain yang mungkin memiliki 'tingkat resonansi' lebih tinggi. Biasanya yang mengerti buku apa yang saya cari itu bukan akal dan rasio saya, tapi hati. Mungkin karena masalah yang saya alami seringnya masalah hati ya? Well, who knows. Untuk kemarin, saya berjumpa dengan dua buku menarik, Your Sin is Not Greater Than God's Mercy milik Nouman Ali Khan dan Nikah aja, Yuk! milik Irma Irawati. Sekarang, saya ingin coba berdiskusi tentang buku yang kedua karena buku itu yang paling cepat saya habiskan, baru Kamis kemarin, tadi siang sudah habis.

Buku ini menarik.

       Saya mengerti bahwa salah satu masalah yang saya hadapi adalah saya ingin mencoba mencari template yang cukup tepat untuk buku yang ingin saya buat. Saya mencari buku tentang hijrah cinta, novel lebih tepatnya. Because to me, novel is a friend, while non-novel is (often) a teacher. And I'd prefer a friend than a teacher at the moment. Awal melihat, saya khawatir isinya hanyalah lompatan-lompatan bahasan tentang jangan pacaran, lalu bagaimana menjaga hati, dalil-dalil, teoretis lah kalau bahasa teman saya. Padahal, bukan guru pendikte yang sedang saya butuhkan. Soalnya di buku-buku lain di sana, rata-rata settingnya begitu, bosen :d. Tapi.. buku ini beda. This book tells me stories. *I love stories* Akhirnya setelah kubanding-bandingkan, sepertinya buku ini memang outstanding buat saya jadikan referensi dibandingkan buku yang lain, harganya pun terjangkau (<40 rb). Jadi deh dibeli.

       Tentang isinya, ceritanya tentang bagaimana seorang kakak menjaga adik nya yang sedang mengalami masa remaja. Lucu sebetulnya. Idenya keren. Gue suka banget sih. Apapun, walaupun isinya ada yang mungkin sebagian menganggap picisan, tapi buat aku yang punya (pengalaman) jadi mau ga mau tertarik haha. Ooh, ternyata gitu. Macem gitulah rasanya waktu baca.

       Kalau di buku yang kusuka sebelumnya, Puisi Hati, ada seorang tokoh yang begitu menarik kepribadiannya karena penggambaran fisiknya yang sederhana(tidak digambarkan cantiknya bagaimana, hanya tentang bermata teduh saja sebetulnya). Di buku ini, ada tokoh yang lebih dari sekadar menarik, tetapi sampai sukses membuatku merasakan rasa ketidakpantasan, apa ya, rendahnya diri ini dibandingkan tokoh tersebut. Beliau dalam menjaga diri dan hatinya sangat subhanallah. Berikut salah satu nasihat yang ia berikan kepada adik kecilnya,

"Diri ini ibaratnya lubang kunci dan jodoh kita ibarat kuncinya. Daripada sibuk mencari-cari kunci yang tepat, lebih baik fokus membersihkan karat dan cacat di dalam diri. Memperindah kepribadian."

       Bukan hanya frasa itu indah didengar, tetapi sangat terasa tinggi, mulia. Sedangkan diri ini? Untuk berbenah diri saja rasanya seringkali masih setengah-setengah. Kalau udah capek, lelah, balik lagi buang-buang waktu, lupa jaga pandangan, macem-macem. Sedangkan tokoh itu? Bayangin coba, anak kuliahan, sudah mencari makna frasa 'Cinta kepada Allah'. Gimana supaya cinta yang paling utama kepada Allah dulu baru sama sesama manusia. Kalo gue, udah sampe mana? Rasanya diri ini malu masih berani berbicara tentang buru-buru menikah. Padahal, mungkin mirip dengan apa yang umi bilang, menikah itu gerbang penderitaan *kalau ga siap kali yak*. Tapi ya gitulah, intinya mah dari buku itu, aku jadi mikir, aku udah nyiapin apa berani mikir nikah? Tiba-tiba jadi pengen ndekem di pondokan, membersihkan diri dari kotoran-kotoran diri :(. Mau ngomong ape ane ke calon bini kalo ane bilang ane punya aib? Ga jadi nikah? Emang ga pantes lah kalo gitu mah.
Eh, sori jadi ngomong sendiri.

       Yah, begitulah. Buku ini mengajarkanku tentang keberadaan sosok ideal yang sebaiknya kita contoh tentang bagaimana usahanya untuk tetap menjaga dan membersihkan diri ini dari dosa, bahkan dari celah untuk melakukan dosa sekalipun.

Awalnya waktu kuliatin ke temen, pada nolak gitu.
Waktu kukasih tau isinya, langsung pada minat wkwkwk

Simpulan : Top Markotop.

*lirik lagu* Diri ini penuh dosa, kuharapkan ampunan dari diri-Mu. Bersihkan diri dari debu dan noda. Padamu, kuserahkan jiwa, kuserahkan jiwaku.

P.S. : Sulit dibahasakan dengan kata-kata gimana rasa malu nya diri ini saat membaca semangat membina diri yang dimiliki oleh tokoh di dalam cerita. :"(
Share:

Wednesday 23 November 2016

On Being Suicidal - 2

On Being Suicidal - Saat Sedang Ingin Bunuh Diri

In my opinion, suicide was like one of the most ultimate form of an illusory world, with other examples including living only the way someone wants to be - never thinking of what others actually feel and think about what they did in that world. Letting go of reality and ignoring it.

Maybe for those of you who's a sanguine, some of you might think that it's so irrational that someone would want to end his life with this life having so many happiness anyone can find if they want to. For the altruist you, you might feel pity to those who actually really did suicide successfully, if only you have met them before they died. Whilst for some of you who actually ever had this idea, maybe you're one melancholic person with memories of depression, you might really understand and I hope you might get opened up by this post.


Basically, there are four main points that I'd like to cover up in this post.

First things first, it's about the egoistical side of the doer. Maybe some of you might think, especially if you have someone close to you committed suicide, why're they so egoistic? Never thought of how we actually care and think so much about him/her. Nonetheless, he still did commit suicide (from a book that I read titled Me Before You). I think, yes yes they really sounds egoistic, but more than that, they actually needed help. While we might be thinking that way, but are we actually doing something that shows our care to him/her? Or we're just actually one part of his life who's making his life even worse? Who knows?

From a TED talk that I watched about one of the most famous popular place to commit suicide, the Golden Gate Bridge in San Fransisco, I learned something pretty important. The truth is, suicide can be stopped. The speaker, who's in charge of something like rescuer team, who talks to the guys who wants to end their life so bad, told this : "Anytime you see someone who started being suicidal, you've got to ask him/her straightforwardly. Other people who's gone through this(problem) usually have suicidal thoughts at this point. Do you have it, too?" If he/she answered yes, then I think it's pretty inhumane of us if  we didn't stop our life for a point just to help him/her out. You know, in my religion, saving a person's live means saving the lives of all mankind.

That's why, there's only one thing anyone who's talking to him/her needs to do.

Listen.

Do listen.

There was this one teenager who's about to jump off from the bridge. He talked with the TED speaker, and thankfully, in the end he decided not to jump. The speaker asked him
then :
"
What was it that made you come back and give hope and life another chance?"
He said, "You listened. You let me speak, and you just listened."


That's it, that's it!

Trust me. If listening was that strong that it can save one's lives, then I truly believe that listening can helps almost all the other aspect in our lives. It's such a pity that many people didn't learn to listen, they prefer learning how to speak rather than how to listen. I think that's a wrong way to do it. Listen first, then speak.

Lastly, did you know that suicide is contagious, able to be widespread just like disease?
I've ever read about it. In an online forum that seeks to support families, friends who's fighting something really hard that might make them depressed, sometimes to the point of having suicidal thoughts. There's this one idea, the idea of killing oneself to .. dunno, maybe to finish his/her own problems, that might stuck in someone else's head. Someone who had a relative/family that end his/her own life. This idea stuck and it was like becoming evil, seducing this person to finish his/her own problems by doing the same thing. As far as I could remember from that forum, this is real and happening. Suicide is contagious.

 

So, the conclusion is, if you ever see or listen in anyway, whoever it is, thinking about committing suicide, stop it with every way you have, with every access that you have to that person. In this cruel era where it's hard to find someone who listen, to find someone who has time for others, to find a real family, to find government and political people who do something out of their political interest, this is a super urgent call for you. Because you'll never really knows what might really happen then, you might never know when you saved this person's live, you're not only saved his/her, but the families and relatives who's supporting him/her too. Or even, you're saving yourself.

Thank you.

P.S. : Prayfor everyone who's struggling,
for me, for anyone, may peace be in our soul by His Rahmah, Aamiin.

Read : On Being Suicidal - 1
Share:

Tuesday 22 November 2016

On Being Suicidal - 1

On Being Suicidal - Saat Sedang Ingin Bunuh Diri


Berbicara tentang bunuh diri, mungkin tidak akan terlalu laku di Indonesia dimana mayoritas penduduknya adalah umat Muslim. Jelas, di dalam agama Islam adalah sesuatu yang sangat dilarang. Lebih dari sekadar karena ia adalah sebuah dosa, yang kulihat mungkin juga karena itu adalah gabungan kompleks dari beberapa dosa, yakni:

1) Simbol kufur nikmat. Lupa akan banyaknya nikmat yang telah diberikan oleh Allah. Lebih memikirkan tentang bagaimana buruknya kehidupan yang dirasakan dan telah dialami.

2) Antipati/tidak peduli terhadap manusia lain. Merasa bahwa dirinya tidak dipedulikan oleh orang lain sehingga merasa tidak perlu peduli akan pandangan orang jika pada saatnya dia benar-benar hilang dari dunia ini.

3) Usaha untuk melawan takdir yang telah ditentukan oleh Allah. Ketika seorang mukmin telah bersyahadat dan mengerti bahwa rukun iman adalah konsekuensinya, sudah seharusnya ia mengimani bahwa Allah telah menyediakan dua jalan baginya. Kedua jalan tersebut memiliki dua konsekuensi yang berbeda, surga atau neraka. Tergantung kepada pilihan yang dia ambil.

4) Yang ini wallahu a'lam, Allah lebih tahu, sekadar opini saya. Dosa terbesar yang tidak akan mendapat pengampunan Allah sama sekali adalah syirik. Karena saat itu, ia tak bertauhid sama sekali. Sedangkan dosa apapun, selama ia masih memiliki keimanan di dalam dirinya sekecil apapun, maka ia pada akhirnya masih akan bisa masuk ke surga asal tauhidnya murni dan bersih mensucikan Allah. Maka bunuh diri, dosa yang tidak ada ampunan baginya, boleh jadi adalah salah satu bentuk merasa bahwa diri lebih besar daripada rahmat Allah yang sesungguhnya mampu menyelamatkannya dari perkara apapun di dunia, wallahu a'lam.
(Notes : ternyata bunuh diri jika di Palestina masih bisa masuk surga sih. Jadi mungkin tergantung sebab bunuh dirinya juga).
Share:

Monday 14 November 2016

Untuk Siapa?

Aku ingin sedikit berbagi tentang ceritaku hari ini. Hari ini, jujur I just wanna take a short break from this rhythm of my life. I'm truly sorry for everyone, I hope you guys would understand. 

Bismillah, semoga jadi lebih semangat.

What I did today was pretty exceptional. Going to someone else's wedding party. I've never known this person in particular. I just knew her father who's used to come to Salman in some occasions to give his insight. In term of size, he is small. But I think in term of his mind, he sure has a big mind. Of course man, because it was like whatever you tells him, he can replies with a good answer. Humph. And today, it was her daughter's wedding reception.

Saat di mobil aku tidak terlalu terpikir banyak tentang acaranya akan seperti apa, tetapi semakin dekat aku ke pintu masuk acara, aku jadi terpikir. Aku sendiri sudah pernah mengikuti pernikahan lain, pernikahan Mbakku. Jadi aku sudah memiliki pembanding. Aku terpikir tentang kedua calon. Sang perempuan adalah anak dari salah seorang pengisi rutin di Masjid Salman. Sedangkan suaminya adalah seorang anggota TNI, tampaknya dari Angkatan Udara. Akan seperti apakah acara pernikahannya?


Kesan pertama, laki dan perempuan dicampur.
Kesan kedua, standing party.
Kesan ketiga, hingar bingar musik dan lagu. Not to mention that the women who's singing sometimes uses pampered words. I mean, something that sometimes a dangdut dancer would say. Dengan suara yang kadang bikin bergidik itu. Kayak sok centil minta diperhatiin. Malu nya dimana gitu. Eh, kelewatan.
Kesan keempat. Makanannya enak. I've got to admit this. Thank you so much.
Kesan kelima. Yang dateng kalo ya gak ganteng-ganteng, ya cantik-cantik. Some of them use miniskirt, you know?

As for now, I'd like to talk to you about that 5th impression.Dari sekian banyak yang dateng, banyak juga kok yang berkerudung lebar, atau ga ya berkerudung dan ya memang rata-rata subhanallah sih cantiknya. Dengan pakaian warna-warni atau mencolok, riasan-riasan sedikit agar tampak lebih cantik.

Mungkin aku yang terlalu banyak menuntut dunia agar mengikuti standarku. Meski memang di dalam Islam juga dilarang untuk berias berlebihan karena khawatir tabarruj. Berdandan untuk seseorang yang tidak halal. Tetapi memang lebih dari itu, it's something about my personal values that intrigues me. Di postinganku sebelumnya, aku pernah bercerita tentang tak perlu lah aku menjadi seseorang yang terlalu keren demi semua orang. Cukup satu orang yang bersedia untuk menjadi istri saja. Di kasus ini, aku penasaran, sedikit setengah jengkel(?). Untuk siapa sebenarnya mereka berdandan? Kenapa mereka harus tampil cantik, yang ya kadang sampai melewati batas koridor agama mungkin ya.

I remembered back then when I still often go to an online support group forum, there's someone who stated that women actually want to look good is for the purpose of pleasing men. Kata dia, wanita itu ya gitu, caper cowok aja. Contoh nyatanya ada di playboy magazines, kontes kecantikan(sedikit ekstrim sih). Plus, berikut sedikit kutipan menarik yang baru kutemukan tentang kontes kecantikan: "Tubuh perempuan dianggap sebagai milik publik dan kontrolnya ada di masyarakat. Masyarakat selalu merasa punya hak untuk mengatur tubuh perempuan." (dari analisis media september 2013). Ya itu, cewek berdandan itu buat memenuhi kesenangan masyarakat. Siapa yang paling suka melihat? Ya biasanya cowok. Ya supaya diliatin sama cowok. Eh, kasar nggak sih kata-katanya?

Some weeks ago, I was talking with my friend about this, and she said a different thing. Beliau berdandan ya untuk memenuhi standar kecantikan bagi diri sendiri *which you obviously should have*. Bukan bermaksud menyerang pernyataan beliau, tapi aku tidak benar-benar yakin hasil akhirnya benar-benar untuk diri beliau sendiri. Aku penasaran, kemanakah kalian para wanita melihat standar fashion terbaru abad ini? Bukannya ujung-ujungnya ke pakaian dan barang-barang yang digunakan oleh orang-orang yang tidak syar'i ya? Like Koreans, or Western public idol. Menurutku ini masuk akal karena misal orang-orang Barat, mereka sudah sejak dulu menjadi kiblat fashion dan menjadi produsen barang-barang kecantikan untuk wanita. Dari ujung kuku sampai ujung rambut paling atas. Tentu, opiniku bukan yang paling benar, semua masukan sangat kuhargai kok(Sok weh kalo mau komentar di bawah).

Balik lagi. Seseorang yang awalnya bukan mau berdandan untuk kami para pria, ketika menggunakan referensi fashion kepada (salah satunya) dunia Barat yangmana para perempuannya berdandan supaya diapresiasi oleh pria, malah jadi menggunakan atribut-atribut yang sebenarnya ya merupakan idaman kami para pria. Jadi sebetulnya ini balik lagi. Untuk siapa kalian berdandan? Kami, para pria? Atau kalian ingin balasan yang lebih baik, yakni mendapatkan ridho Allah? Jelas solusinya bukan dengan tidak berdandan.

Akan tetapi,
Rules number one: Hindari berdandan untuk kami para pria yang belum halal untuk kalian. Karena aku sendiri juga ga bisa menjamin apa yang akan terjadi bila foto kalian jatuh pada tangan orang yang memiliki maksud hati yang tak baik pada kalian, naudzubillah. 

Next,

Rules number two: Jika ingin mendapatkan ridho dan cinta dari Allah, maka mengaculah pada cara berpakaian orang-orang yang ingin mendapatkannya. Jangan ke tempat lain.

Surely, di zaman sekarang memang antara benar dan salah makin tercampur, baik dan buruk makin nggak jelas batasnya. You surely need to be smart, girls! Good luck!

P.S.: Do'akan kami para lelaki bisa menjaga pandangan kami sehingga kalian tidak jadi terlalu banyak terpikir apa kata kami tentang kecantikan kalian. Capek kalau hidup menuhin tuntutan orang lain teh..
Share:

Tuesday 8 November 2016

Tentang Kegelisahan Itu

Draft beberapa hari lalu,

       Tadi, aku berdiskusi dengan temanku terkait tema menarik laki-laki angkatan kami, lawan jenis. Menarik.

       Awalnya aku penasaran tentang dulu ketika suatu malam aku melihatnya mondar-mandir di depan masjid Salman sambil melihat-lihat ke sekeliling. Waktu itu udah cukup malam, jam 9 mungkin. Saat itu, aku masih di Salman karena ada kebutuhan ber-Wi-Fi ria menggunakan hotspot. Jadinya aku memutuskan untuk menginap saja di Salman hari itu. Setelah bersalaman dan menyapanya, kami berpisah dan aku duduk-duduk di tempat duduk tempah teh yang dekat ke tempat jalan menuju fotocopy Salman. Nah, waktu itu aku melihat ada seorang akhwat berpakaian gelap, hitam sepertinya, keluar dari tempat akhwat. Temanku ini menghampiri dia, awalnya aku berhusnudzon saja mungkin dia hanya mau ke tempat akhwat sedikit untuk mengambil air. Well, ternyata mereka tampak berkomunikasi sedikit. Kemudian, mereka berjalan berdua sambil berjarak menuju ke jalan menuju kantin, tampaknya pulang.

       Saat itu aku terpikir. Wah, ternyata. Ada apa ini gerangan? Well, sebagai seorang laki-laki yang peduli dengan keadaan teman(atau kepo ya? Haha), aku kepikiran. Jadi tadi waktu aku bertemu dengannya, kutanyakan padanya.
"Broh, kayaknya aku pernah liat kamu nganter temen perempuan ya waktu di Salman? Malem-malem. Siapa tuh?"

Jawabannya tak pernah kusangka,

"Kenapa Haw? Mau kenalan?"

*Duh* *Bukan gitu* *Waktu itu juga aku ngeliatnya gak dari depan, jadi ga keliatan dia orangnya kayak apa atau siapa*

       Ya sebetulnya aku hanya khawatir apakah mereka ada apa-apa. Itu tadi, sebagai seorang teman yang peduli, setidaknya jika aku belum bisa mengingatkan, aku tahu dahulu apa yang benar-benar terjadi. Kalau mereka ada apa-apa dan aku bisa memberitahukan kepada temanku yang mungkin lebih bisa memberikan pengertian tentang pentingnya menjaga hubungan dengan lawan jenis, ya kenapa tidak? Tau nggak? Kok jadinya tadi malah aku yang dikasih masukan banyak ya wkkwkwkw. Macem-macem, mulai dari harus berharap hanya sama Allah, terus harus cukup perhatian dari orang tua, sama harus hati-hati sama perasaan.  Ya memang setting-nya aku kayak sok lagi galau gitu sih. Gatau ya emang lagi galau atau engga. Mungkin?

Hmm.. Kegalauan. Kegelisahan itu.

       Gatau ya, kegelisahan itu apa ya? Apakah khawatir akan takut mengecewakan harapan lawan jenis? Tatapan yang kadang kudapat ketika aku beradu pandang dengan seorang perempuan. Kadang somehow aku melihat atau merasa bahwa ada pengharapan di sana. *Aku bingung*. Jadi kayak seolah pengen buat membalas perhatian itu gitu. Serius. Kalau nanti aku udah menikah, insyaAllah aku bakal mau gitu buat saling tatap gitu. Cuman duduk, melihat, dan diam. Although I don't really know whether I'll be brave enough to do that haha. Tapi kalau sekarang, itu terasa kayak mengkhianati diri sendiri yang seharusnya lebih cinta pada Allah dan patuh sama aturan-Nya. Lagian, selain aku khawatir dengan menjaga hati, aku juga khawatir dengan pikiranku sendiri(?).

Para kakak-kakak tingkat atas juga udah pada rame gitu ngebahas ini.
"Bro, udah bikin list(rencana calon istri) belum?"
atau,
"Kita ini udah harus punya pendapatan broh. Supaya gak kesulitan waktu walimahan."
 atau,
"Eh, itsar yaa nanti kalo misal ternyata yang kita incer sama broh. Hehee." (ada gitu yang mau itsar buat ini? wkwkwk)
"Wah, Kak, gimana sih caranya bisa jadi ikhwan paling suami-able" (weq, ada predikat ini ternyata wkwkwk)

       Macem-macem lah. Ada juga yang kepikiran tentang entah kenapa ada rasa bahwa udah harus nge-tag segera. Ini butuh pembahasan lebih lanjut sih. Karena entah kenapa memang dorongan untuk nge-tag itu seringkali bertimbal-balik dengan kondisi kita, misal kondisinya seolah menunjukkan bahwa lawan jenis yang kita tag entah kenapa(well, pakai entah kenapa karena ini tentang rasa. Dan rasa kan biasanya ga gampang didefiniskan) juga condong ke kita gitu. Kadang kegelisahan itu suka muncul dari rasa tersebut, plus dari mendengarkan obrolan para tetua tetua juga sih.

       Ya, kepada Allah aku sampaikan kegelisahanku ini. Disini aku hanya hendak bercerita sebuah sudut pandang kehidupan ikhwan aktipis salman weh. Aku pribadi sih berharap temen-temen ku yang ikhwan bisa lebih sabar dan instead of thinking about things like these too much, I think the problem the world today face needs a much bigger portion to be discussed. Dan untuk temen-temen akhwat, yang sabar juga. Aku ingat bahwa ada sebuah tulisan tentang bagaimana pergerakan peradaban sebenarnya sangat bergantung pada calon ibu beserta ibu-ibu di peradaban tersebut. Bukannya saya ingin bilang jangan menghambat seorang ikhwan dalam mencapai mimpinya, tapi doronglah laki-laki, utamakan dari saudara terlebih dahulu, untuk mengejar mimpi mereka. Tolong ngerti, bahwa kita punya masalah besar di Indonesia sekarang. Sure, dukungan dari kalian akan sangat membantu kami dalam menjalankan dakwah ini. But, keep in mind supaya jangan sampai kalian memberikan harapan atau meminta harapan dari kami. Itu bikin kami bingung :(

       Aku pribadi belum berniat untuk mengurus perkara ini dulu. Aku berharap ya bisa berteman, dan bersama-sama berdakwah dengan ikhlas lillahi ta'ala. Aamiin. Semoga nggak kebelok niatnya. Aamiin. Semoga ada masalah besar yang bisa kuselesaikan selama aku masih belum memasuki tahapan selanjutnya dari kehidupan ini. Aamiin.

Aku baru tau ada do'a seindah ini. Aamiin.
sumber gambar: http://jilbab.or.id/archives/1028-doa-nabi-di-kala-galau-resah-perasaan-sedih-melanda/
Share:

Friday 28 October 2016

Orang-orang yang Berlari

Ini cerita tentang seseorang,
Yang berlari karena dikejar oleh sesuatu.
Seperti disini.
Dikejar-kejar oleh sebuah mimpi buruk.
Kenangan yang tak ingin diharapkan dari masa lalu.
Cerita tentang hidup seolah hanya karena ingin lari dari masa lalu.
Setidaknya berlari terlebih dahulu saja, sudah cukup.

Bisa jadi trauma.
Ada seorang temanku yang mengalaminya.
Bisa kamu bayangkan seberapa besar dampak dari masa lalunya pada dirinya?
Dia berlari.
Tak ingin kuliah di kampung halaman atau sekitarnya.
Karena dia ingin berlari dari kenyataan pahit yang terhimpun bersama dengan keberadaan sang kampung.
Sudah tak mampu lagi menghadapi kenyataan bahwa masa lalunya terus menghantuinya di sana.
Sehingga ia ingin memulai hidup baru.
Apapun.
Selain di kampung halaman.

Aku juga.
Aku juga berlari.
Dari kenyataan pahit bahwa aku belum cukup dewasa untuk bisa mengendalikan diri sendiri.
Frasa lainnya mungkin hijrah.
Tapi jujur aku kadang suka merasa kering.
Boleh jadi karena memang niatku bukanlah sebuah niat suci untuk lillahi ta'ala saja.
Tapi lebih karena fear.
Ketakutan akan masa lalu tersebut.
Sehingga aku meninggalkan apa-apa yang berbau-bau masa lalu.

Memang meninggalkan apa-apa yang buruk di masa lalu itu baik.
Tapi, poinku adalah,
It's a li'l(little) bit sad of a truth that we have a goal in life, not about dreams forward, but nightmares backward.
Hingga kini, aku masih merasa.
Bahwa dalam menjalani hidup, ada 2 bagian :
1) Mengejar impian
2) Dikejar kenyataan
Sayangnya, ini gak semudah deal-deal an aja lagi aku mau ngapain sekarang.
Masa depan, atau masa lalu?
Seringkali, aku nggak bisa memilih.
Terpaksa.
Aku harus mengejar impian.
Bukan karena impian itu sendiri.
Bukan karena mimpi itu begitu menarik dan melenakan.
Tapi, lebih karena takut bahwa jika aku memilih opsi ke-2, apakah aku sanggup?
Berhadapan dengan kenyataan itu?
Fear.

How can I overcome it?
Kalau gini, ujung-ujungnya aku hanya lari dari opsi ke-2, dari kenyataan.
Aku ingin hidupku bisa lebih bermakna dengan mendedikasikan diri pada masa depan.
Bukan pada masa lalu.
Aku nggak rela hidup sekadar untuk lari dari sebuah kenyataan pahit.
Nggak rela.

Ya Allah tolong mudahkan jalanku. Aamiin.
Mohon do'anya, hehe.
Share:

Monday 17 October 2016

Pernahkah Kalian Sedih?

Pernahkah kalian merasa sedih saat melihat seorang ibu-ibu dengan pakaian kumal dan lusuh duduk dan makan di atas tumpukan sampah. Makanan yang mungkin merupakan hasil temuannya di tempat sampah tersebut?
Pernahkah kalian merasa sedih, melihat seorang kakek tua, masih harus menarik gerobak sampah, memunguti sampah di tiap tempat sampah?
Pernahkah kalian merasa sedih, melihat seorang loper koran, seorang bapak-bapak pada umur paruh bayanya?
Pernahkah kalian merasa sedih melihat seorang anak kecil menjual tissu, dan ketika Anda coba bertanya harganya dan Anda tidak jadi membelinya, ia tampak memancarkan aura ketidaksenangan yang sangat? Seolah-olah kita telah memberikan harapan palsu?
Pernahkah kalian merasa sedih melihat orang-orang miskin berebut pembagian porsi beras dan makan?

Sedangkan kita?

Makan masih minimal 2x sehari. Bahkan, masih bisa jajan. Sepulang dari kuliah, tidak perlu setiap hari pulang dengan badan terasa remuk, kaki terasa tak mampu berdiri lagi, tak ada anak istri yang menunggu di rumah untuk kita beri nafkah.

Mungkin aku jadi tampak seperti seorang yang menuntut keadilan. Orang yang tak bisa melihat ketidaksamarataan ini terjadi dan membiarkannya begitu saja.

Tapi memang yang membuatku sedih sebenarnya tak lain adalah tak banyak hal yang bisa kulakukan :(. Even if I said that I want to help them, but how? How can I possibly be of any help to them? Jujur, akhir-akhir ini aku agak jarang ngeluarin duit selain untuk kebutuhanku sendiri. Aku lupa. Aku lupa bahwa di bawah kolong jembatan sana ada orang yang tertidur sambil kedinginan, pertanyaan untuknya sudah bukan tentang takut masuk angin atau ngga, pertanyaannya: besok makan apa? Masih harus berjuang untuk bertahan hidup nggak?

Aku ingat dulu aku sering iri pada mereka-mereka yang sudah bekerja dengan keras. Mereka yang kusebutkan di awal tulisan. Merekalah orang-orang yang memiliki tujuan, yakni survival bagi diri sendiri, dan bahkan, keluarga. Sedangkan aku, pada posisi dimana semua serba ada. Apa yang harus kuperjuangkan? Their survival? Atau malah ego dan rasa cinta ku terhadap diri sendiri?

Apa ??

Tuhan, tolong ingatkan aku untuk mau bekerja keras dan tidak sekadar menghabis-habiskan waktu untuk hal-hal yang sia-sia yang selama aku menjalani kehidupanku ini. Aamiin. Tolong ingatkan aku untuk memiliki mimpi yang besar dan tidak menghentikan langkah hanya karena permasalahan receh dan tak penting yang tidak akan membantuku dalam menjawab pertanyaan di alam sana, saat aku diberi pertanyaan :

Apa yang sudah kamu perbuat di dunia?

Ya Allah.
Share:

Tuesday 11 October 2016

Maintaining Your Calmness

At the first time when I want to write that Line status, what comes to my mind actually wasn't calmness, but calamity. Which is, of course, worlds apart. I don't know how, but I'll try to give some explanation which might be the reason.

Between calmness and calamity. That's where I'm right now. I studied Electronic Materials this semester, and I'd like to try to apply that knowledge to understand what's happening with me right now. Imagine a semiconductor's energy band, or at least, take a look at the picture below. At the lowest part there's Valence Band where electron rotates smoothly and steadily around the nucleus of an atom. You can also see the Conduction Band, where the free/unbounded electron is. It can run away anywhere it wants, it was the physical form of the current going through a wire, it can bring energy and power. What happens is, when you give the semiconductor enough potential difference(V), some of the steady electron in the valence band will jump through the vacuum energy level(Egap). Thus, transforming into a free electron.
Pita energi dari suatu semikonduktor
Let's make it an analogy. Valence band is where calmness is, and conduction band is where calamity (disaster) is. I was trying to stay calm. But, right now I felt like a little bit more push to myself, and I'll go explode. I'll roam free, do whatever I want without even thinking of the consequences, or else, I'll do something great, really great that I will be really proud of. Well, just like currents. You may get electric shock when you touch it, but if you use it on a bulb lamp, it'll shine. Right now, I'm still trying to be sane while being given a difference of condition(let's take it as V). I might jump right after this, to become a free electron.

Yah, whatever.

But just to tell you, I often faced times like this. And I often get confused by it. I felt like my mind's going to explode, but, often there's just nowhere to soothe it down.

Image source : http://www.studynotestoday.com/2015/07/introduction-to-semiconductors.html
Share:

Sunday 25 September 2016

Mengumpat

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 
"Sh*p" (gak deng, pake t mestinya bukan pake p)
"Jaa.. mbaan!!"
"Jaan *tiit*" Sensor
"F***k!" (Freak!)
"As .. emmmm!" (bukan yg manggil nama hewan ya)
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

       Dan berbagai macam contoh umpatan lainnya. Di atas barusan, saya mencoba mengenalkan pada Anda tentang frasa-frasa yang pernah, dan beberapa masih, menemani saya(kecuali yang ke-3) dalam menjalani kehidupan. Tentunya, adalah hal yang normal bagi seseorang(setidaknya manusia zaman sekarang menganggapnya begitu) untuk mengumpat di kala dirinya mengalami kesulitan, masalah, dsb. Tapi saya ingin bercerita pada Anda tentang perjalanan yang sudah saya alami tentang mengumpat tersebut. Ternyata, itu tidaklah terlalu normal. Orang-orang pengumpatlah yang tidak normal.

Begini,

       Latar belakang saya adalah keluarga agamis. Saya dulu nyantri ketika SD, di daerah jawa timur, dan disana saya bertemu dengan kondisi yang kurang lebih bisa dikategorikan sebagai baik. Lalu, ketika SMP, saya masuk ke sekolah negeri dan di SMA pun begitu. Ya, seperti apa yang terjadi pada remaja dan anak muda umumnya, saya suka melihat apa yang teman-teman dan lingkungan saya lakukan dan coba menirunya, walaupun itu berbeda dengan apa yang saya pelajari dulunya ketika mondok. Ya, termasuk juga mengumpat. Anda pernah datang ke sebuah rental game online, spesifiknya di kota Surabaya?  Surabaya yang merupakan kota paling inovatif dan menjadi kiblat kota-kota lain di Jawa dalam menemukan dan menggunakan kata-kata umpatan. Kira-kira kondisinya ya begitulah. Mulai dari anak malu-malu, yang kalau mengumpat masih jaga lisan, dipelesetin seperti di atas, sampe yang menurut saya malu-maluin banget tapi ga punya malu: Ngumpatnya udah kenceng banget, pilihan kata udah yang paling kasar, atau malah yang paling jorok seperti menyebut nama-nama lain dari sesuatu yang berhubungan dengan kemaluan, trus dibarengin sambil nggebrak keyboard atau mouse pula. Lengkap banget. Itulah Surabaya.

       Selain dari teman-teman di rental game online, aku juga belajar banyak tentang frasa-frasa mengumpat dari teman-teman sekelas, apalagi frasa-frasa bahasa Inggris, itu kupelajari dari mereka. I was in an RSBI class all throughout my Junior High School, so I learned a lot about English from that time on. Disana aku belajar mulai dari bahasa inggrisnya anjing betina, feses, dan beberapa bahasa sensor lainnya yang biasa muncul di film-film. Aku juga heran, dulu kadang aku suka merasa bangga bisa mengumpat orang lain dengan perkataan seperti itu. Membuat mereka seolah-olah buruk, lebih jelek, dan lebih cacat daripada saya. Seolah-olah akulah yang lebih baik. As if.

       Kembali ke dunia per-warnet-an. Di warnet, aku termasuk dalam klasifikasi manusia-manusia yang berhati-hati dalam mengumpat. Ya iyalah, secara gue di warnet udah dewa gitu. Kalo kalah dikit udah ngumpat, misuh, beh bocah banget. Ga boleh lah, dewa itu ga banyak bacot. Udah bante aja lawan lo. Paling jauh saya misuh(mengumpat) itu paling mentok(maksimal) batesannya ada di frasa umpatan made in Surabaya asli, si jan *tiit* eta. Saya ga pernah mau ngumpat pake itu. Meski banyak yang berargumen bahwa sudah terjadi pergeseran makna dan makna kata itu sekarang udah nggak sekeras dan seburuk yang sebenarnya. Kata gue sih, cocot(latos). Pembelaan diri ae. Kondisinya adalah, ketika mereka mengumpat, saya lihat mereka dengan teramat khusyuk melafalkan frasa itu sepenuh hati dan benar-benar terlihat mengumpat, menghardik dengan marah. Beh, sama aja bocah dong?
       Aku juga menyadari bahwa mereka-mereka yang berani mengumpat dengan frasa 'itu' biasanya sudah tidak memiliki pantangan lagi, sudah ngga mempan itu dibilangin, "Jaga lisannya Mas." Frasa 'itu' adalah titik lepasnya rasa malu seseorang ketika mengumpat. Dan selewat dari titik itu, biasanya anak-anak kecil di warnet itu sudah berani ngumpat yang jorok-jorok. Kasian.

       Aku sendiri biasa mengumpat terakhir sekitar kelas 2 SMA, ketika aku mulai belajar tentang penerimaan diri(self-acceptance), berani bertanggungjawab, dan tidak sembarangan melampiaskan emosi. Aku mulai sadar bahwa emosi yang dilampiaskan dengan cepat itu agak identik dengan sifat kekanak-kanakan. Coba, kamu bisa bayangin nggak kakek atau nenekmu mengumpat, saat sendiri, atau saat bersama anak cucunya? Ga pernah kan?
        Mengumpat adalah sebuah manifestasi nyata dari ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya sendiri.Cobalah untuk lebih perhatian pada orang-orang di sekitarmu. Aku berani menjamin bahwa mereka yang jarang mengumpat, itu secara umum adalah pribadi yang lebih dewasa, tidak kekanak-kanakan dibandingkan orang yang mengumpat. Because these people, they have learned about emotional control. They think before they do, or say something. They're responsible person who's aware of the impact of an act that they do. Or, should I say, they're more mature. They have more

emotional control.

       Itu yang sangat ingin aku tekankan. Ada banyak cara orang melampiaskan emosi, tahapannya juga(berdasarkan buku Rising Strong-nya Brene Brown). Menurutku, orang paling hebat adalah orang yang bisa mengolah emosinya terlebih dahulu sebelum mereka melakukan tindakan, apalagi melampiaskannya *didukung juga oleh hadits Rasul bahwa orang paling kuat adalah yang bisa menahan marah*. Baik di saat dia sendiri, ataupun saat dengan orang lain. Orang seperti ini mengerti, bahwa di dunia yang penuh manusia kekanak-kanakan yang maunya di-emong, diayomi, dipahami, merekalah yang harus jadi pribadi peng-emong, pengayom, dan pemaham(?). Merekalah orang-orang hebat zaman ini. Dan sampai kapanpun, mereka akan tetap minimal selangkah lebih maju dari orang-orang yang kekanak-kanakan, yang belum bisa mengendalikan diri sendiri, atau secara spesifiknya, yang masih mengumpat.

Begitulah.


Control your emotion, or your emotion will someday control you without you realizing

Semangat tidak mengumpat ~\o_o/~

img src: http://www.jaxsurgical.com/wp-content/uploads/2015/01/Gain-Control-of-Emotions-After-Weight-Loss-Surgery.jpg
Share:

Tuesday 6 September 2016

Dear Future Generations: Sorry



Gue ga mau komentar banyak. Tapi ucapan orang ini bener-bener berbeda dari manusia pada zamannya. Dan gue suka banget. Keep up the good work! Semoga ini ga cuman kata-kata!

You and your team are an inspiration.
Share:

Tuesday 30 August 2016

Dewa Kecantikan

Dewa?
Bukan Dewi?

       Sayang sekali, bukan. Bila kusebut dewi kecantikan, banyak sekali referensi ataupun opini yang akan muncul, seperti contohnya salah satu dewi kecantikan menurut Mitologi Norse yang kutau tentu adalah Freyja. *Ya, salah satu alasan kenapa aku suka pake kata Freya*. Maksud ku, dewi kecantikan itu sudah ada, jadi ga perlu dibahas lagi. Yang mau kubahas disini dewa kecantikan. Hubungan antara diriku dengan dewa kecantikan, lebih tepatnya.

       Asal kata dewa kecantikan adalah "mendewakan kecantikan". Sebuah tindakan yang dilakukan oleh sekian banyak manusia. Termasuk juga aku sendiri(mohon maaf). Masa laluku mau tidak mau membuatku menjadi salah satu orang yang meninggikan kecantikan di atas aspek2 lain kualitas seorang perempuan. Mungkin juga karena dulu aku nggak terlalu banyak berinteraksi dengan perempuan secara langsung, paling seringnya cuman via online games. Jadi, nggak banyak yang kuketahui tentang kualitas apa yang mungkin dimiliki oleh seorang perempuan, selain kecantikan.

       Aku mulai banyak berinteraksi dengan perempuan ketika memasuki masa SMA, mulai ikut kepanitiaan lah, acara-acara kelas. Terus, aku juga sempat berinteraksi cukup intens(lagi-lagi bukan secara fisik) dengan seorang perempuan yang kupilih yang dikemudian hari karena aku berpikir bahwa lebih baik aku ngga kaya gitu lagi, ketika aku merasa bahwa I need to man up and stand strong for myself, akhirnya kami berpisah. Lalu, berlanjut ketika di dunia perkuliahan, interaksiku dengan perempuan semakin sering, dan aku juga mulai makin sadar akan batasan-batasan yang harus kujaga. Aku belajar tentang berbagai karakter dan keunikan perempuan, terutama sejak aku mulai mengikuti kegiatan-kegiatan di salman. Dari yang suka menyemangati tapi sebetulnya perlu disemangati(?), terus ada yang nggak terlalu meyakinkan nyemangatinnya(tapi ya ga bisa kebanyakan nuntut juga sih), ada yang lain yang kalau lagi melankolis ya melankolis banget, terus yang kayaknya bener-bener terbuka kalau ngobrol, sampe yang bener-bener menjaga diri dan hati. Banyak pokonya.

       Terkait pemikiran dan kepribadian seorang perempuan, aku banyak belajar dari seorang blogger dari Lampung, di maibelopah.blogspot.com. Kepribadiannya yang tercermin dalam tulisannya yang santai, riang, sering menyelipkan pikiran-pikiran dalam tulisannya, dan tentu juga semangatnya untuk terus konsisten menulis membuatku rajin mengikuti update blog beliau. Bayangkan saja, beliau bisa update sampai 37 kali dalam sebulan. Ya macem macem mulai dari kutipan buku Tere Liye, resensi buku, cerita tentang cinta(wah ini menarik, haha), sampe lagu kesukaan ada semua. Menurutku, itu keren banget :) Point terpentingnya, aku belajar banyak tentang semangat untuk terus menulis dan kesukaan terhadap buku dari beliau.

       Aku yakin, masih banyak lagi kualitas-kualitas yang mungkin dimiliki oleh seorang perempuan, sebagai bekalnya untuk bisa menjadi seorang perempuan yang bermanfaat bagi sesama manusia, ataupun sebagai seorang ibu.

       Sebetulnya, aku hendak menceritakan kemirisanku tentang dunia tempat aku berada sekarang, di dunia ini, mulai dari non-extreme nya media iklan, sampai extreme nya media pornografi, semua tampak(dan memang) mengeksploitasi kecantikan perempuan. Bahkan, gue ga ngerti lagi untuk yang satu ini, cowok pun jadi cantik! Just go and look at all the korean guys, omg some of the guys whom I've known said that korean guys are beautiful. Aku ngga ngerti lagi -____-". Lalu, kamu tau apa yang telah kupelajari dari media-media yang ada di dunia ini?

Wanita ada untuk menarik pria.

Kecantikan ada untuk dieksploitasi.

       I mean, just go and see the social media where woman's beauty were valued regardless of who the person inside the photo is. We men(or maybe women too) don't even think about who you are or what you've been through or how you're feeling when you're being taken shot. As long as you're beautiful, that's the only thing that matters. If you're not, we'll just skip through and look for other beauties. Sorry to say it, but I can see that that is the sad truth in our community, in this age.

       Pesan saya untuk diri saya sendiri adalah bahwa saya perlu belajar untuk meninggalkan apa-apa yang bisa membuat saya kembali terdorong lagi untuk hanya melihat perempuan dari segi kecantikan, dan coba melihat apa yang sebetulnya ada di dalam otak dan hati seorang perempuan, or maybe what some other people call as inner beauty. I need to redefine my own definition and perspective on what I think is beautiful. Saya tahu bahwa saya butuh untuk merasakan, mengindera kecantikan, tapi saya akan berusaha untuk mentransformasi pandangan saya tentang kecantikan dari yang ada pada perempuan jadi lebih kepada mungkin apa yang orang bilang the beauties inside the little things in our life. Seperti hal nya pada foto yang ada di bawah nanti. Belajar bahwa kecantikan itu nggak cuman ada pada perempuan, dan perempuan bukan hanya dibekali dengan kecantikan fisik, setiap pribadinya memiliki keputusan untuk memilih apakah ingin menjadi pribadi yang lebih cantik atau tidak. Sampai sini, saya mau mohon do'anya agar saya bisa istiqomah dan ini nggak cuma sekadar omongan sampis belaka. Aamiin.

       Mungkin untuk teman-teman dan saudari perempuan saya, saya hanya bisa berdo'a semoga kalian terjaga dari dinodai oleh manusia-manusia hidup penyembah dewa kecantikan. Do'akan dan ajarkanlah teman-teman laki-laki kalian agar bisa melihat bahwa indahnya kecantikan tidaklah harus didapat dari indah fisik seorang wanita, bisa dari sumber-sumber kecantikan lain seperti alam, atau indahnya dunia science, atau bahkan yang lebih gila lagi, indahnya perjuangan. :)

Semoga bermanfaaat, terimakasih telah membaca.

Ini di kampus lho, di lantai 1 labtek 5, bisa sampe lumutan. Keren banget!

bunga deket kali di deket rumah. Baguus banget ~..~
Share:

Monday 22 August 2016

Cinta 3 Benua : Wanita yang Hebat

Sebuah kutipan dari buku Cinta 3 Benua, tentang konsep diri seorang wanita biasa yang hebat. Aku somehow ngerasa ini keren banget dan dibaca berulang-ulang juga ngga bosen :)

From : Layla
Subject : Wanita yang Hebat

       Apa kabar, Faiz? Aku berharap kamu dalam keadaan baik ketika surat ini sampai. Inilah tulisan seorang wanita biasa tentang hasratnya menjadi sosok yang lebih berarti.
       Dan "menjadi lebih berarti" itu adalah "menjadi sesuatu". Setidaknya itulah pikiran para wanita. Kedengarannya sangat hebat kan? Padahal ini sangat sederhana, hanya titik tolaknya memang hebat, yaitu realita bahwa setiap wanita dibekali insting keibuan yang kuat.
       Tentu kamu paham seluruh sifat yang disandang seorang ibu karena kamu sangat dekat dengan ibumu. Yang aku maksudkan adalah ketulusan pada tingkat yang paling tinggi.
       Ketulusan seorang ibu itu menuntunnya untuk punya harapan agar anak-anak yang dicintainya mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari kehidupannya sendiri dan memperoleh pasangan hidup yang lebih hebat dari pasangan hidupnya sendiri.
       Tak ada ketulusan yang menandingi ketulusan seperti itu. Dan itulah cara menjadi lebih berarti. Cara "menjadi sesuatu".
       Begitulah dalam diri setiap wanita terpelihara sikap mulia. Begitulah menjadi lebih berarti. Begitulah "menjadi sesuatu".
       Jadi, sebenarnya kebutuhan seorang wanita amat sederhana, yaitu bagaimana membuatnya yakin bahwa dirinya telah "menjadi sesuatu". Ini mungkin hanya pengakuan atas sebuah eksistensi. Itulah mengapa "dicuekin" menjadi hukuman paling menyakitkan bagi wanita.
       Seorang pria yang bijaksana, apakah itu seorang ayah atau suami, sangat mengerti bahwa yang harus dia lakukan untuk menyenangkan hati seorang wanita adalah menghargai kehadirannya. Membuatnya merasa menjadi lebih berarti. Membuatnya merasa telah "menjadi sesuatu".
       Aku setuju dengan hampir semua yang kamu tulis di surat yang datangnya terlambat itu, namun yang paling mengesankan adalah kisahmu tentang Bunda Khadijah ra, istri Rasulullah saw.
       Setiap kali nama Khadijah disebutkan, yang pertama kali aku kenang adalah kisahnya ketika Nabi saw pulang dari Gua Hira saat wahyu pertama datang.
       Aku percaya, Khadijah bagaimanapun adalah seorang wanita yang punya perasaan yang halus, sisi hati yang rapuh, dan kekuatiran atas kekasihnya jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
       Entah seperti apa kecamuk yang dirasakannya saat sang suami datang dengan wajah pucat, penuh kecemasan, bahkan sampai merasa jangan-jangan dirinya sakit dan apa yang barusan dialaminya tidak nyata. Peristiwa kedatangan Jibril bukan peristiwa biasa. Bukan pula hal yang sudah dibayangkan sebelumnya.
       Di tengah kecemasan dan kegundahan hati yang luar biasa itu, Nabi saw bercerita kepada sang istri. Sekali lagi, yang bagaimanapun adalah seorang wanita dengan segala kerapuhannya. Kecuali bahwa Khadijah ra cepat menyadari, ini adalah saat menyembunyikan kerapuhan, ini adalah saat tampil meyakinkan dan tenang. Inilah saat menjadi lebih berarti. Saat "menjadi sesuatu".
       Maka Khadijah ra tak mau ikut memperlihatkan kecemasan, kegalauan, dan kesusahan. Dia tak ingin menampakkan kesusahan serupa yang bisa memperparah kegundahan. Dengan sangat damai dia justru meyakinkan sang suami, "Tidak, Demi Allah, Tuhanmu tidak mungkin menimpakan keburukan kepadamu. Engkau adalah pribadi yang mulia, mengajak orang-orang untuk berkata-kata baik, memuliakan tamu, menghormati tetangga, ..." Dan seterusnya, Khadijah ra sebutkan segala hal yang secara sangat ampuh membuat sang suami merasa damai.
       Kisah ini sangat inspiratif bagi aku, Faiz. Dan akan aku jadikan acuan jika nanti berumah tangga. Aku harus meyakinkan suami aku nanti bahwa sepelik apa pun hari yang dilewatkannya, saat pulang ke rumah dia akan bertemu keteduhan yang menyejukkan.
       Cukup menjadi seorang istri yang seperti ini membuat aku lebih berarti. Membuat aku telah "menjadi sesuatu". Sebab begitulah menjadi wanita yang hebat di mata wanita biasa seperti aku.
       Semoga kamu akan mendapatkan istri seperti itu, walaupun tampaknya dia hanya wanita biasa seperti penulis surat ini...

                                                                                                                         Layla


Pernah denger surat hijau? Itu yang kalo misal sertifikat tanah kita itu gak asli
(biasanya sertifikat nya masih punya pemerintah) itu kita punya nya surat ijo. Ups oot.
Share:

Monday 15 August 2016

Bagaimana Mentoring Mampu Merubah Dunia.

Bagaimana mentoring mampu merubah dunia?

       Aku adalah seorang pribadi, bagian dari dunia, yang telah berubah karena mentoring. Aku telah mengikuti mentoring semenjak aku lulus SD. SD ku dulu merupakan sekolah Islam. Aku dan teman-teman ku adalah angkatan pertama, lulusan pertama, di sekolah kami. Jumlah laki-laki di kelas kami, tak lebih dari 10 orang. Wali kelas kami benar-benar memberikan perhatiannya kepada kami semua, guru-guru yang lain pun juga. Wali kelas kami ini kemudianlah, yang menginginkan untuk membuat wadah mentoring untuk kami yang masih kecil-kecil ini. Hampir tiap minggu beliau tak pernah absen untuk mengadakannya, kecuali jika ada udzur mendadak dan penting. Padahal, kami hanya anak-anak kecil. Kalau aku boleh bertanya, apa manfaat kami bagi beliau? Pertanyaan itu sepertinya harus kupertanyakan pada diriku sendiri bila aku merasa lelah menjadi mentor.

       Namun begitulah, mentoring kami bertahan hingga SMA. Hingga kami bertukar mentor yang lain. Dan sekarang, anggota kelas kami tersebar kemana-mana. Tiga anak termasuk aku ke institut di Bandung, ada juga yang memilih institut di Surabaya, ada yang memilih sekolah kedinasan perpajakan, ada juga yang memilih untuk memperdalam ilmunya ke pondokan, ada juga yang langsung bekerja, bahkan dia sudah menikah.

       Banyak yang wali kelasku ajarkan. Bahkan kalau aku boleh jujur, menurutku aku mungkin tidak akan bisa lolos ke ITB tanpa adanya kelompok mentoring ini. Di kelompok ini kami berbagi mimpi, ada beberapa yang bermimpi masuk STEI, ada yang memang mau masuk FTTM, begitulah, disana kami berbagi mimpi. Di sana kami bercerita tentang pemikiran-pemikiran kami yang masih kecil-kecil ini, ya terkait hal-hal sehari-hari, game PS, game GBA, dll. Lingkaran yang hampir tiap minggu merapat ini kurasa benar-benar membuatku selalu ingat akan pentingnya menimba ilmu Allah. Pentingnya memiliki teman-teman saling menjaga dari keburukan, bahkan sekecil mengucapkan kata-kata yang tak pantas sekalipun. Karena itulah yang kupercaya. Di zaman dimana kebaikan dan keburukan telah bercampur, saat batasan-batasannya telah menjadi kabur, banyak pemudi pemuda terjebak pada makna dari kata normal yang salah. Banyak yang mengira bahwa berkata-kata kotor itu normal, merokok itu normal, pacaran itu normal, bahkan sekadar melihat rambut perempuan pun, baik secara langsung ataupun lewat foto, ataupun lewat gambar animasi, itu normal. Kita hidup di dunia dimana kata normal bukan hanya telah menjadi standar ganda, tapi bahkan tiga, empat, atau lima maknanya. Alhamdulillah dari lingkaran itu aku bisa tetap mengerti mana kebaikan yang sebenarnya, yang tidak tercampur-campur.

Begitulah bagaimana mentoring mampu merubah dunia, duniaku.

       Dari pengalaman itu pulalah, aku percaya, bahwa mentoring tidak hanya mampu merubah duniaku. Tapi juga dunia adik-adik mente ku, dengan hasil yang mungkin sama sekali tidak bisa kusangka-sangka. Dimana aku hanya berusaha untuk menyediakan dunia dengan standar kebaikan yang tidak tercampur dengan keburukan, hanya menyediakan nasihat-nasihat tentang kehidupan yang jauh dari niat buruk, hanya mencoba mengingatkan pada Allah dan keberadaan-Nya. Semua itu dilakukan dengan ditambah satu bumbu utama, konsisten dan rutin. Agar kata normal tak menjadi rusak terlalu lama dalam diri kami masing-masing.
Share:

Monday 8 August 2016

Cinta dan Kerja

Manteman,

       Kali ini saya mau minta do'a lagi, ya, lagi lagi lagi. Ya begitulah, banyak hal di dunia ini yang berjalan tanpa kita ketahui di balik layar kehidupan kita. Dan saya yakin, tidak sedikit diantaranya terjadi karena do'a yang kita lantunkan, atau yang orang lain lantunkan untuk kita. Karena memang, do'a itu seperti bisa menjadi mantra alam bawah sadar yang, somehow, membuat hidup kita jadi terarah kesana. Bisa lewat keputusan-keputusan yang kita buat, atau bisa juga perasaan-perasaan kita yang muncul terkait suatu hal. Yah, intinya saya percaya dengan kekuatan do'a.

       Sebetulnya ini bermula dari tadi aku browsing ke pemudahijrah.com terus cek list rekaman-rekaman yang tersedia. Menurutku yang paling bagus, yang Hijrah, dan yang paling membahayakan mental state, yang Falling in Love Syariah, di sini link nya. Nah, yang kedua ini, yang tadi aku berhasil selesaikan paling akhir. Terus ya gitu, hmm gitu ya, hmm. Cemcem gitu lah pokonya. Kan ustadz Tengku Hanan Attaki orangnya suka cerita gitu kan tentang gimana asiknya 'pacaran' setelah nikah, ilustratif banget! Silahkan bayangkan perasaan Anda ketika mendengarnya nanti. Ada juga bagian dimana beliau cerita tentang temennya yang pacaran sewaktu SMA, yang laki-laki ketua OSIS, yang perempuan sekertarisnya. And they live happily ever after. *ya nggak lah, ada kerja kerasnya pasti* Beliau cerita kalau orang tua kedua anak ini sama-sama paham agama, makanya ngebolehin anak-anaknya nikah di umur segitu. Kalau tentang rezeki sudah ada yang atur, gitu menurut mereka. Nah, ini yang mau kubahas.

Kerja.
Udah cukup jelas. Punya penghasilan. Kerja dulu, baru nikah. Kalo aku nggak usah ditanya, InsyaAllah itu jawabannya. Teuing juga sih, siapa yang bakal nanyain ya --".

Sebelum saya membahas secara lebih mendalam, ada baiknya saya memohon maklum bahwa ilmu saya masih secukupnya belajar selama ini, harapannya isi pendapat saya tidak perlu dibanding-bandingkan dengan pendapat orang lain terkait topik ini. Jadi, ya ini hanya pandangan pribadi yang saya miliki dan saya yakini. Bila ada masukan/nasihat lillah maka saya insyaAllah akan cukup berterimakasih.

       Mengapa saya memilih untuk kerja terlebih dahulu? Padahal sudah jelas Allah menjanjikan bahwa rezeki itu ada di tangan Allah?
Pemahamanku sejauh ini baru seperti ini: Kondisinya, hingga saat ini aku sama sekali belum pernah mendapatkan pekerjaan tetap. Baru sekali mungkin proyekan. Terus jadi pengajar sekali. Terus megang jualan buku sekali, itupun kurang jos. Ya gitu. Terngiang kembali pertanyaan-pertanyaan itu di telingaku?

"Bojomu ape mbok kei panganan opo? Gedhang ta?" yang artinya,
"Istrimu mau kamu kasih makan apa? Daun?"
*Uhuk.
"Ya nggak, Pak. Ya maunya ya 4 sehat 5 sempurna, Tapi ya itu, duitnya,,"
*nggak dibales se, orang belum punya kerjaan.

Sekarang, mari kita coba pecahkan permasalahan ini dengan metoda Pak Rudy Habibie,

1) Faktanya, rezeki ada di tangan Allah.

2) Masalahnya, aku merasa masih sangat kurang dekat, bukan hanya dengan rezekinya, tapi bahkan dengan pintunya. Bayangkan kalau kita belum kerja. Rezeki, uang itu, akan datang dari mana? Yang bisa bikin nggak hanya saya yang bisa bertahan hidup, tapi juga istri saya, apalagi misal di Bandung, dengan biaya hidup semahal itu. Pintu rezeki itu yang bisa mencukupi ada dimana?
Solusinya,  ya ada di bekerja. Atau mungkin bisa bertahan beberapa saat dengan tabungan terlebih dahulu. Tapi ya itu, selanjutnya pintunya ada di pekerjaan. Jadi ya saya kira saya lebih memilih untuk mendekati dulu pintu rezeki itu, baru nanti bisa berharap semoga Allah akan mengalirkan rezeki ke kita. Sedangkan aku sendiri, baru berapa kali mencoba mendekat pada pintu-pintu rezeki itu? Baru sedikit.

3) Solusinya, perlu ada usaha-usaha nyata dari pribadi saya sendiri agar benar-benar rezeki itu bisa mengalir kepada saya. Kembali lagi, bila saya bahkan tidak dekat dengan pintu rezeki Allah selama ini, bagaimana mungkin saya bisa berharap bahwa rezeki saya akan tiba-tiba datang?
Akhir-akhir ini, muncul beberapa opsi. Menjadi tutor di BMK, dengan gaji yang lumayan. Lalu di KLC, gaji nya tergantung kepada berapa kali saya bisa istiqomah mengajar. Lalu ada tawaran lagi terkait penelitian dan pengembangan. Yang ini tampaknya menarik karena sejalan dengan apa yang sedang saya lakukan sekarang. Bisa juga bisnis/jasa, menarik juga untuk dicoba. Yaa apapun nanti hasilnya kerjaan saya, saya mohon do'a nya supaya saya bisa segera membuka salah satu pintu rezeki dari Allah, agar saya bisa menjadi satu langkah lebih mantap dan berani untuk menyongsong pernikahan.

       Kalau memang saya cinta kepada Allah, maka saya harus bisa menyiapkan diri untuk bershadaqah kepada sesama, untuk membantu saudara-saudara saya yang kekurangan.
Mohon do'anya, terimakaih.
Share:

Thursday 21 July 2016

Bersikap di Luar Tipe Kepribadian

Kemarin, aku habis nonton TED Talks yang baguuus banget. Judulnya gini, Who are You Really? The Puzzle of Personality. Pembicaranya bapak bapak udah lumayan tua, dosen Cambridge, bidang beliau adalah Personality Psychology, Pak Brian Little namanya. Lucu gitu bapaknya, humoris. Tapi isinya tuh bikin mikir. Meskipun, ada bagian kecil dari yang dibicarakan yang aga sedikit not safe(obrolan orang dewasa). Tapi sisanya, oke.. Coba deh, kalian tau tes-tes kepribadian gitu nggak? Terus ada tipe-tipe gitu kan? Atau traits 'sifat' bahasa lainnya. Terus, pernah nggak ditanyain sama orang gini?

Is that all we are? Just a bunch of traits?

Bener banget bahwa memang semua dari kita itu terdiri dari apa yang beliau bilang ada 5 aspek. OCEAN singkatannya. O stands for Open to experience, C stands for consciestiousness, E stands for extroversion, A stands for Agreeable individuals, and N for neurotic individuals. Itu semua itu ya yang biasa gitu lah kepribadian orang. Tapi yang keren memang pertanyaan beliau yang ini,

"Apa ada hal lain yang bisa membuat kami memahamimu lebih dari sekadar sekumpulan kepribadian? Yang membuat kami menjadi mencintaimu? Mencintaimu, bukan hanya karena kamu seseorang dengan tipe kepribadian tertentu."

Apa jawabannya?

"Jadi apa yang membedakan kita? Yang membedakan adalah apa yang telah kita perbuat dalam hidup kita -- proyek-proyek pribadi kita. Anda bisa jadi memiliki proyek pribadi sekarang, tetapi mungkin tidak ada orang disini yang tahu tentang itu. Ini mungkin berhubungan dengan anak Anda -- Anda telah ke rumah sakit 3 kali, dan tetap saja tidak ada yang tahu apa yang terjadi. Atau bisa juga itu Ibu Anda. Dan Anda bersikap di luar karakter Anda yang biasanya. Ini adalah sifat-sifat bebas." lanjut lagi ke pertanyaan bagus beliau,

"Don't ask people what your types are. Ask them, 'What are your core projects in your life?'"


Beliau menghayati banget waktu bilang tentang rumah sakit ini. Phew

       Kusadari ya, di antara temen-temenku sendiri pun banyak banget yang penasaran tentang tipe kepribadian temen yang satu sama temen yang lain, Tetapi memang kalau aku pribadi selama ini agak merasa skeptis ya sama itu. Penting ta? Ternyata kutemukan jawabannya disini. Tipe-tipe kepribadian yang ada itu seolah dipake sama orang lain malah kayak bukan buat lebih memahami kita gitu lho, tapi malah kaya mau mengeksploitasi kelebihan kita. Jarang gitu ada yang bener-bener mau belajar tipe kepribadian itu sampe mau baca-baca tentang bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan suatu tipe. Yang ada itu, kalo kamu tipe ini, kamu harus diginiin biar kamu bisa kerja lancar. Kalo kamu tipe itu, berarti memang, misal, orangnya outgoing, cocok jadi kepala ini. Cocoknya kerja sama si tipe A, atau tipe B, eksetera. Ternyata itu penyebab aku ngerasa skeptis sama tipe-tipe kepribadian selama ini. Disalahgunakan.

       Aku setuju 100% sama pernyataan bapaknya, aku memang merasa lebih dihargai bila ditanyai apa proyek-proyek personal yang kumiliki dalam kehidupan, daripada ditanyain tentang tipe kepribadianku apa. Being asked like that fuels my energy, my spirit. Karena memang, untuk mengejar core project ini, orang-orang sering sampai bersikap tidak seperti tipe kepribadiannya. Dan seperti kata Pak Brian, they're what matters.

"They're where we enact a script in order to advance a core project in our lives. And they are what matters."
yang artinya:
"Mereka(free traits) adalah saat-saat kita memerankan naskah agar kita bisa meneruskan proyek inti di di dalam kehidupan kita. Dan mereka itulah yang penting."

       Ya seperti yang tadi kujelasin itu, orang-orang sampai rela keluar dari kepribadiannya sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan script 'naskah' agar proyek dia bisa tercapai. Pengorbanannya ya itu.

       Jadi, itu. Hargailah orang lebih baik dengan bertanya padanya bukan tentang apa kepribadiannya. Menurutku, lebih keren kalo misal kamu bisa nebak kepribadianku apa. Ya intinya kamu memang berniat untuk mengetahuiku lebih dalam daripada sekadar bertanya. Tapi, lebih baik lagi, tanyakan, apa proyek-proyek inti dalam kehidupan dia.

Terima kasih pembaca, terima kasih Pak Brian. :)
Hayo tebaak, tipe kepribadianku apaa :D
Share:

Thursday 7 July 2016

Kereta Lebaran

*Huwaaa*
*Kyaaaaaaaaaa* *nada tinggi banget*
*Hiye e e e e*
Duh ya mbakyu, rame banget. Ada sampe 5 anak kecil dalam radius 5 meter di sekitarku.
Ini pertama kalinya aku naik kereta api dalam rentang waktu yang sangat dekat dengan lebaran, yaa bahkan di hari H lebaran. Ramadhan kemarin aku pulang di H-7, dan di lain waktu sepertinya aku nggak pernah ngerasain kereta lebaran, kereta yang berangkat di saat lebaran. Ternyata banyak anak kecilnya =-=.
*Dan sekarang eta anak-anak kecil malah lagi ketawa-ketawa*
Sekarang, mari berdiskusi.
Rumah ya, pulang.
Sekarang aku sedang dalam perjalanan pulang menuju Surabaya lagi. Tapi harus kuakui bahwa ada yang berbeda dalam perjalanan kali ini. Ada rasa yang berbeda. Dulu, pulang kampung adalah sesuatu yang begitu dinanti-nanti, ada rasa senang, berasa "Yesss!!!" gitu. Tapi sekarang semua terasa lebih datar. Mungkin aku sudah makin mahir memainkan perasaan homesick 'kangen rumah'. Atau alasan lainnya, mungkin aku sedang berada dalam keadaan dilematis. Apakah ini berangkat, ataukah ini pulang? Dari rumah, atau ke rumah?
Keaktifanku di P3R kemarin boleh dibilang cukup berkesan ya, kejaranku untuk bisa all-out in something, insyaAllah sudah terkejar.
*dan si anak-anak makin tertawa, ada juga yang berjalan-jalan ria, sepertinya mereka sudah terbangun dari hibernasi mereka dan sedang sangat aktif*
Semua bermula dari wawancara. Aku ingat aku diwawancara oleh Kak Ardi. Lalu kami berbicara tentang P3R. Tak ada banyak konsep yang kumiliki untuk P3R, aku pun tak menyangka bahwa aku akan menjadi tim inti di P3R yang kemarin. Lalu akhirnya semua dimulai. Bermula dari perkenalan satu per satu, lalu penentuan siapa yang akan menjadi calon ketua. Kami memutuskan untuk memunculkan calon ketua dengan menyebutkan masing-masing 3 nama yang menurut kami cocok untuk mengemban amanah tersebut. Aku masih cukup ingat, Ali rifki dan anwar(yang ketiga agak lupa). Dan pilihanku sama dengan pilihan Ilzam.
Ali, kenapa Ali? Aku melihatnya dari berbagai segi, salah satunya, Ali cocok untuk menjadi icon P3R. Kesopanan dan kesantunan ada dia miliki. Karena aku cenderung lebih memilih itu. Daripada seorang yang mapan dan mantap kemampuan berorganisasinya, lebih tepat kesopanan dan kesantunan sebagai icon nya. Semisal ini sebuah pergerakan besar merubah dunia, maka okay kemapanan berorganisasi adalah prioritas. Tapi karena ini adalah pelayanan, dan bentuk paling minimal dari pelayanan adalah senyum, kurasa Ali tepat. Poin-poin lain seperti ia sering di Salman, fasih membaca Al-Qur'an yaa adalah poin tambahan saja bagiku.
Lalu terkait tim inti, harus kuakui bahwa kami adalah tim yang cukup hebat. Secara individu pun, saya mengapresiasi sekali masing-masing teman-teman. Di dunia perkampusan yang menuntut batas terakhir penjaga kehormatan adalah IPK, menurut saya, tidak sedikit di antara kami yang rela untuk mengorbankan waktu belajarnya untuk itu, dan secara langsung itu berdampak pada penurunan IPK. Saya juga menurun sih. Pengorbanan lain seperti rasa lelah berkepanjangan saat kami dituntut untuk fokus, tetap solid pada masa-masa yang rentan seperti di awal-awal Ramadhan, atau bahkan, pengorbanan perasaan yang kadang suka kemana-mana, ketika diri menuntut hendak diperhatikan, Saat beberapa dari kami kurang kuat untuk menumpahkan segala sesuatunya pada Allah, dan kami harus membaginya satu sama lain. Seperti ketika ada yang hampir tidak jadi pulang dan jadi seperti kehilangan arah.
Banyak kejadian. Banyak. Mungkin saya seorang yang cukup pelupa, tapi saya harap saya mampu mengenangnya. Saya ralat, mempelajarinya. Karena untuk saya, mengenang hanya akan membuat saya kurang rela untuk meninggalkan itu semua dan berpindah pada perjuangan selanjutnya.
*Terus ada orang tua yang sekarang lagi asik-asiknya main sama anak-anaknya, ada anak lari-lari, trus berhenti buat ngeliatin penumpang lain dengan pandangan penasaran khas anak kecil*
Harus kuakui aku bangga. Bangga akan keberhasilanku untuk mendedikasikan diri untuk sesuatu, untuk Ramadhan di Salman, untuk Allah. Aku suka dedikasi.
Terima kasih untuk teman-teman,
Ali untuk semangatnya,
Ilzam untuk mengingatkan untuk mengembalikan semua kepada Qur'an,
Rifki untuk keceriaannya,
Rozi untuk usahanya untuk tetap ikut bekerja keras,
Ayub untuk karya-karya dalam diamnya,
Anwar untuk semangat bekerjanya,
Hawari untuk telah ada menjadi dirinya sendiri,
untuk PWP digabung, atas pelajarannya tentang bagaimana berteman dengan baik dengan perempuan, dan dorongan semangatnya.
Hatur nuhun, matur suwun saget.
Do'a kan semoga kita terus istiqomah membawa niat lillah itu untuk tidak berhenti di P3R, tapi kemanapun nanti kita berada. Muara terbaik niat adalah lillahi ta'ala.
Kudoakan kalian semua mendapat umur panjang yang barokah, dan kesehatan. Aamiin.
*Kereta pun berhenti di stasiun Gubeng*
Aku pulang :)
08:28, 7 Juli 2016
Share:

Thursday 30 June 2016

Drama Korea

credits to shutterstock.com
       Hari ini, aku bertanya-tanya pada beberapa teman-temanku terkait dengan drama korea. Awal mulanya yang ingin ku coba cari tahu adalah apa yang sebenarnya seorang cewek cari dari drama korea. Jawabannya, ada yang suka sejarah dan kultur nya, ada yang suka aktor/aktressnya, ada yang suka bahasanya, ada yang suka alur ceritanya, ada yang suka baper baperannya(ga deng ga dijawab gini hehe). Ya, kemudian, supaya lebih memahami apa yang dirasakan cewek terhadap sebuah drama korea, aku mencoba menganalogikannya dengan bagaimana sikap seorang cowok terhadap game online. Why online games, tho? Kupikir karena pengorbanan yang cowok lakukan untuk game online boleh dibilang sama besarnya atau bahkan lebih besar dari pengorbanan yang cewek lakukan untuk menonton drama korea. Bila cewek rela keluar duit 2 juta atau bahkan lebih semisal untuk mendapatkan VIP seat dalam suatu konser di Jakarta misalnya, seorang cowok rela merogoh koccek dalam dalam, menguras atm nya untuk membeli satu set armor 'pakaian' dan persenjataan bagus untuk karakter game dia. Bila seorang cewek rela mengorbankan malamnya untuk mengisinya dengan waking up all night long untuk menghabiskan sebuah serial drama, maka itu pula yang terjadi pada cowok. Ada kasus cowok meninggal karena tidak istirahat bermain game selama 3 hari penuh, baca di sini. Ada pula kasus cewek hampir buta karena menonton drama korea terus menerus selama 18 jam, baca di sini. Sehingga, menurutku, game online dan drama korea memiliki banyak benang merah yang terkait antara keduanya.

        Dari sana aku mendapat cerita bahwa ya salah satu temanku ada yang jumlah teman ceweknya yang menonton drama korea itu mencapai 70%. Hm, angka yang cukup besar ya ternyata. *Makes me wonder what kind of women wouldn't watch Korean drama, actually? Why do they choose not to watch Korean drama?*

       Saat malam, aku mencoba bertanya pada beberapa teman lagi, ada yang nonton, ada yang tidak nonton. Dan disana ya didapati kenyataan bahwa tampaknya memang drama korea sama menguras waktunya dengan bermain game online. Dan yang dikejar adalah untuk melepas kepenatan/kejenuhan. Ya sama seperti yang dicari oleh cowok saat bermain game, menurutku. Jika cowok biasanya mencari serunya, cewek mungkin mencari apa yang kusebutkan di atas tadi, ada yang bilang kultur, sejarah, ataupun aktor/aktress nya.

       Dan malam ini, lebih malam lagi, aku mencari-cari beberapa artikel di internet terkait drama korea. Ada yang bercerita bahwa memang beda antara drama korea dengan drama yang lainnya, semisal drama barat. Drama non-Korea cenderung untuk tidak membuat penontonnya baper dan galau, sedangkan drama korea sebaliknya. Seperti tertera di sini. Di sana dijelaskan hingga tahapan-tahapan seseorang menyukai sebuah drama korea/tidak. Tapi, ada hal menarik lain yang kutemukan terkait drama korea. Aku memasukkan kata "puasa drama korea", kemudian "berhenti menonton drama korea". Yang pertama, tidak ada hasil yang relevan. Yang kedua, muncul sebuah artikel menarik di sini. Terkait seseorang yang ingin berhenti menonton drama korea. Ternyata, ada!
Dan di salah satu referensi dalam tulisannya ada dari muslim.or.id yang isinya terkait balasan bagi seseorang yang meninggalkan sesuatu karena Allah. Berikut redaksi haditsnya:

Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad 5: 363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Sumber: https://muslim.or.id/22120-kajian-ramadhan-35-meninggalkan-sesuatu-karena-allah.html
       
       Melihat i'tikad dan niat baik penulis, somehow kayaknya aku ingin mendo'akan aja. Do'a ku bagi penulis tulisan terkait berhenti menonton drama korea ini adalah semoga ia diberikan kemudahan untuk melakukannya. Dan digantikan kebiasaan tersebut oleh Allah dengan ganti yang lebih baik daripada drama korea. Be it a caring and handsome husband(when the time comes), a more loving family, or even just another bestfriend. Something that can replace drakor's place in her heart. Aamiin :)

PS: Aku bukan bermaksud jahat dengan mengatakan bahwa drama korea tidak boleh ditonton, atau yang menonton adalah orang yang suka membuang2 waktu dan kesempatan. Meskipun, menurut beberapa temanku kedua pernyataan itu benar. Hanya saja disini, aku hanya hendak menyampaikan sedikit bahwa seorang yang bertakwa, atau yang mengejar derajat takwa, adalah seseorang yang sangat menjaga dirinya. Mengutip kata2 Ubay bin Kaab bahwa takwa itu seperti mencoba berjalan di jalan yang penuh duri. Maka kita tentu akan berhati-hati. Termasuk juga berhati-hati dengan apa yang kita lihat. Ini pesan buat saya pribadi juga hmm. Harus bener-bener bisa memilih tontontan saya dengan baik demi menjaga agar tidak jatuh ke lubang yang sama. Bismillah.
Share:

Tuesday 24 May 2016

Jam 24.01-24.59

Bila bisa ada ya, aku berharap aku bisa memiliki waktu itu.
24.01-24.59.

You know, lately I've been quite really busy. So busy that it's really hard for me to find a free time to write, just like now. Even right now, I was writing inside Masjid Salman, just finished my prayer, stealing a li'l free time to write. Time felt really got tensed up these days. Things just keep coming one after another. Free time has become such a utopian luxury. Why?

First, I applied for SSDK trainer some weeks ago, and there it goes, from this Monday till Thursday, I need to attend the TFT from 7.30 in the morning, till 15.30. It was quite tiring, even worse, I can't seem to reach anyone through my smart phone at those times. Coz at the room I was in, there was no internet signal for my SIM card. 

I was also a part of P3R(Panitia Persiapan Program Ramadhan) family(supposedly, by now it should've been becoming a li'l kind of family, but it hasn't, yet. Mostly we were still for the event, and the spiritual development wasn't that strong) and I'm one of some people who fought together to make P3R impactful and useful for everyone around us. Although lately it's been really hard for me to become optimistic since we have so many problems and I can't seem to help that much because I have errands to do for other things like SSDK. 

I was also a committee in LMD(Latihan Mujtahid Dakwah) 182 which is going to be held on 27-29 of May. 

And also, 2 days ago, I was in Dago Natural(?) School(Sekolah Alam Dago). I was the logistic team helping the other comitmitee who held the DP2Q #2. 
Overall, it make me quite exhausted, even for simple things like writing in this blog is quite hard.

But then,
Lately I've been wondering, if, maybe, peaceful times were never meant to really exist. I mean, when we're having all those big things to do, what are we hoping? Sitting down in front of our room, enjoying the luxury of just sitting down there while the sun washes our face, noticing the calm surroundings because everyone have gone to work, to school, while we're staying since it's already holiday for us, and just keep typing in front of our laptop? Well, actually that's what I'm doing right now, hehe. But, you know, these kind of times were such a luxury. It was not meant to exist, especially when I'm this busy. What I'm doing right now actually was sacrificing the time that I should've spent to do many other things, just so I can write.

You know, I just want to have some time, just some, to do things that I need to do. By things I mean digesting and processing all these information, every facts about the chores, the plans that I've abandoned. There were just so many things going on, and I can't seem to process them all. I need, really need, to sit down, and process everything that's happening with me, and around me. I got really confused when I heard the news, this men got killed, that women got raped, there's flood there, Indonesian rupiah currency droppred really low. And all those news. 

"HAH!", what can I do?

I felt like I was bombarded with all these problems while probably, they were thinking that knowing about all those problems might get me feel better. It doesn't, FYI. I need some time, to sit down, relax, and think.

Which is important and urgent to me, which is not?
I was wondering if maybe, I can ask for Him to give me an extra time, just an hour everyday, to do that. To sit down, process things, write it down, whether it may be in my blog or in my book or anywhere. To make it clear what's actually happening. Because I felt like I was inside a loop which I don't even know what's really happening in each loop. Just maybe, He can give me an extra time to do it, 24.01-24.59 in everyday. To make me things clear in every loop, in every routine that I do everyday.

Do'akan saya, ya, manteman,
Dan satu lagii, jangan lupa sudah makin dekat dengan Ramadhan, yuk persiapkan. Do'akan saya bisa segera membuat tulisan tentang persiapan Ramadhan hehe :D
Share:

Friday 13 May 2016

Lakukanlah Kebaikan, tetapi Jangan Sampai Merasa Terberatkan

Manteman,

       Hari ini ku ingin bercerita tentang sesuatu yang kuanggap krusial dalam menjalani hidup ini. Well, you may say that it's one of my prioritized principle whenever I wanna do good deeds. It's just like what the title says: 

"Do good deeds, but do it so that you're not burdened by what you did."

Mungkin prinsip ini memberi kesan malah saya seperti melakukan sesuatu tapi tidak all-out, tetapi menurut saya ini ada kaitannya dengan banyaknya jumlah kebaikan yang hendak(kita) lakukan. Kalau saya sendiri, saya lebih memilih untuk melakukan banyak hal, meskipun dalam takaran yang sedikit, tetapi saya berharap bisa istiqomah. Karena Allah sendiri memang lebih menyukai amalan yang sedikit, tetapi istiqomah.

       Saya sendiri suka merasa kurang sreg, kurang cocok ketika melihat orang lain berkoar-koar saat demo, atau saat mencalonkan diri hendak menjadi sesuatu, berkata bahwa mereka akan melakukan suatu hal BESAR. Saya kurang sreg dengan orang yang ketika melakukan kebaikan itu sampai membuat mereka benar-benar capek. Misalnya, saat hendak membantu teman, mereka membantu sampai benar-benar mereka sendiri kehabisan tenaga untuk melakukan hal-hal lain yang seharusnya menjadi kewajiban mereka sendiri. Misalnya, saat hendak melakukan ibadah sunnah, tetapi melakukan ibadah sunnah itu sampai mereka sedikit membuat kejaran akademik mereka tertinggal.

       Memang, saya terkesan seperti seseorang yang seolah-olah melakukan suatu kebaikan tidak benar-benar all- out, saya kadang-kadang masih suka memikirkan,

"Bila saya melakukan ini, kerugian apa yang saya dapat?" 

       Tetapi, saya sendiri melakukan ini memang berdasarkan pengalaman saya pribadi, bahwa ketika saya melakukan suatu kebaikan yang besar, misalnya saya coba membantu masyarakat dengan mengurus bangkai tikus yang ada di pinggir jalan. Well, baunya itu loh, busuk banget. Ini masalah kemasyarakatan yang pelik. Bangkai tikus adalah sampah yang sangat tidak sopan untuk dibuang di tempat sampah rumah orang, atau dimanapun lah. Lha ini, settingan TKP bangkai tikus yang kutemukan waktu itu di pinggir jalan, dan di daerah itu memang hanya ada sedikit tempat sampah umum(read: Cisitu). Ya, daripada membersihkannya, seringkali saya lebih memilih untuk membiarkannya saja di pinggir jalan, sambil berdo'a semoga ada orang yang lebih baik hati untuk mau mengurusnya.

       Contoh lainnya, misal saya mengikuti suatu kepanitiaan X. Salah satu penurunan dari prinsip saya tadi adalah, bila ada kumpul panitia, jangan sampai saya merasa terberatkan dengan kehadiran saya di kepanitiaan tersebut. Semisal kumpulnya di malam hari, dan kondisi fisik saya sedang tidak terlalu sehat untuk bisa keluar malam, maka saya akan lebih memilih untuk tidak mengikuti kumpul kepanitiaan tersebut. Mungkin, dalam bahasa lain, prinsip tersebut adalah:

"It turns out that, you can only be good to other people, only if you're being good to yourself."

atau dalam bahasa lain,

"Kamu baru bisa benar-benar menghargai orang lain, ketika kamu sudah bisa menghargai dirimu sendiri."

Saya lebih memilih untuk melakukan kebaikan, tetapi saya tidak merasa terberatkan dengan kebaikan tersebut. Agar saya tidak menyalahkan kebaikan tersebut di kemudian hari dan akhirnya saya malah berhenti melakukan kebaikan tersebut.

       Jadi, mohon maaf kepada teman-teman yang mampu melakukan kebaikan sampai melupakan dirinya sendiri, kalian orang yang hebat. Kuakui. Tapi, ini sekadar harapan agar kalian memaklumi bahwa aku masih belum mampu untuk menjadi seperti kalian. Dan mungkin, sedikit ajakan agar kalian lebih mencintai diri kalian sendiri :)

A little picture,
Mungkin kamu memang sedang sibuk untuk mengejar mimpi2
besarmu, tetapi jangan lupa bahwa di luar sana, orang2, teman2mu
ada yang sekadar untuk hidup saja sudah kesusahan.
NB: Aku percaya bahwa ketika mindset dari masih mencari aman, masih terlalu mencintai diri sendiri ini bisa berubah menjadi berani mengabdikan diri untuk orang lain tanpa memikirkan diri sendiri, akan terjadi sebuah perubahan besar dalam hidupku. I believe that my life will ascend to the next level, a level with higher gain, but also higher risk, but still, far more interesting than before :)
Share: