Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Friday, 23 June 2017

Oleh-oleh dari Mu

KBBI :
oleh-oleh /oléh-oléh/ n sesuatu yang dibawa dari bepergian; buah tangan:

Mengutip pepatah terkenal,
"Gajah mati meninggalkan gading harimau mati meninggalkan belang."

       Katanya yang pergi pasti akan meninggalkan sesuatu. Entah saat pergi, atau saat pulang. Meski sebenarnya menurutku itu terkait sudut pandang saja. Saat seseorang meninggal, ada yang menyebutnya sebagai "pergi dari dunia", atau "pulang ke alam sana". Ya, hanya tentang sudut pandang saja. Tentunya kita tahu, salah satu kebiasaan yang biasa dilakukan saat seseorang telah pulang, atau dalam sudut pandang lain, baru pergi adalah memberi oleh-oleh.

       Sebentar lagi.. akan ada yang pergi dari keseharian kita. Lalu, apa kita sudah mendapatkan oleh-olehnya? Seperti catatan kemarin pada catatan harian yang biasa kubuat,

"Kesadaran apa yang sudah kita dapatkan, yang akan membedakan kita semenjak kepergiannya hingga datangnya lagi?"

       Apa, apa yang sudah kita sadari? Apakah kita sudah sadar bahwa ada orang yang untuk makan saja sampai sudah melupakan gengsi nya? Berat lho ninggalin gengsi itu. Bayangin kamu pake baju badut, terus nyetel lagu dangdut, di pinggir jalan sampai bikin orang yang ngeliat cuman bisa merengut? Nih orang ngapain. Mungkin kita baru tau jawabannya saat ngeliat kalo di kakinya ada sebuah gelas minum berukuran agak besar, pertanda minta diisi dengan koin. Bayangin kita ngelakuin itu hanya demi sesuap nasi untuk buka, atau sahur, untuk kita atau untuk anak kita. Sedangkan kita.. (isi sendiri)

       Apa yang kita sudah sadari? Apakah kita sudah sadar bahwa hidup ini cuman senda gurau? Bahwa banyak teman-teman kita yang di siang hari nya dia mungkin tertawa bersama kita, tetapi di malam harinya bisa jadi dia menangis sejadi-jadinya di dalam sujudnya maupun bangunnya. Bukan karena ia bermuka dua, kita semua tahu, bukan itu. Teman-teman kita itu, biasanya sudah sadar bahwa hidup ini hanya persinggahan sementara. Jika memang mereka harus ikut tertawa dengan kita yang masih sering lupa, ya tentunya mereka akan ikut tertawa. Tetapi di saat malamnya mereka menjelma menjadi diri mereka yang mereka sangat berharap itu menjadi diri mereka yang sesungguhnya. Seperti kata pepatah, "Siangnya seperti prajurit, malamnya seperti rahib." Siangnya adalah untuk dunia, tetapi malamnya adalah sungguh-sungguh untuk paska dunia.

Apa lagi yang sudah kita sadari? Oh, tidak. Apalagi penyadaran yang sudah (ku)kita dapatkan pada Ramadhan ini?

Akankah penyadaran-penyadaran ini bertahan hingga kita bertemu dengannya lagi? Akankah ia membekas dan memberi makna baru dalam kehidupan kita?

       Atau jangan-jangan, Ramadhan ini hanya merupakan seperti Ramadhan sebelum-sebelumnya, saat kita masih spiritually childish, masih kekanak-kanakan, masih belum ngeh ketika ada yang bilang "pemaknaan hidup", atau "mencapai derajat takwa", atau "menangisi dosa-dosa". Ramadhan yang tidak memberikan kita oleh-oleh, pun kenangan apa-apa.

Allah, adakah oleh-oleh Ramadhan kali ini menjadikan hidup(ku) kita lebih bermakna?
Share:

0 komentar:

Post a Comment