Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Tuesday, 1 May 2018

Sekolah Melupakan #3 : Transisi Cinta Menjadi Dinda

Dulu, aku termasuk orang yang suka dengan lagu-lagu terkait cinta. Masa-masa dimana cintaku masih lemah dan jauh dari kata dewasa. Dimana cintaku masih jauh dari mengenali Yang Maha Cinta, Allah.

Dulu, aku adalah seorang kritikus kutipan-kutipan cinta dan relationship. Saat itu, yang kulakukan adalah aku mencoba menabrakkan antara apa yang ada dalam quotes dengan realita serta apa yang saat itu kuhadapi. Ya, memang.

Dulu aku pernah mencoba untuk belajar menerapkan salah satu bentuk cinta pada seorang teman. Bentuk cinta yang kumaksud adalah kepedulian. Bertanya kabar, mengirimkan do'a, memberi tanpa minta kembali, berharap yang terbaik baginya. Aku belajar tentang sesuatu yang dulu kuketahui sebagai cinta.

Itu dulu.

Sampai kemudian aku belajar tentang cinta pada sesuatu yang bukan manusia, bukan makhluk. Cinta pada Tuhan yang mem-fuse, memasukkan cinta ke dalam hati seorang manusia, sekaligus juga bisa mengeluarkannya. Dia yang membolak-balikkan hatiku, dia, kita, semua manusia, ciptaan-Nya.

Setelah itu aku mulai belajar bahwa banyak lagu yang kudengar terkait cinta, sebagian besar banyak yang meninggikan cinta pada manusia di atas cinta pada Tuhan. Which some people warned to me to be aware that some lyric in those songs may be another form of syirik or at least, a lie.

Ya, betul. Saat mengatakan kau adalah darahku. Tidak juga. Saat mengatakan kau adalah segalanya bagiku. Nah, terus posisi Tuhan dimana? Saat mengatakan I can't live without you. Gabungan dari yang tadi, sudah bohong, terus seharusnya kita teh ngomong gitu pada Allah, bukan pada manusia.

Jadi, aku memutuskan untuk menggunakan kata dinda. Dinda is like a crush. Gebetan. Atau kecengan. Pertama jelas, bahwa Dinda itu pastilah terkait dengan rasa suka pada manusia. Tidak terkait dengan rasa ingin memiliki, rasa butuh berlebih, atau kegilaan-kegilaan lain yang mungkin diasosiasikan dengan kata cinta. Jadi, tidak berbohong. It's just like, not love.

Kedua, dengan membiasakan menggunakan kata dinda, aku mulai belajar bahwa dinda bisa berubah-ubah. Rasa suka bisa berganti menjadi biasa saja. What you like today may be not the one you like tomorrow.

Dengan menggunakan kata dinda, aku belajar bahwa cinta itu bukan sembarang frasa. Di baliknya ada kepedulian, rasa sayang, yang semuanya diatas sebuah komitmen dan tanggung jawab. Jadi bukan sekadar sayang-sayang sembarangan, tapi harus berani untuk konsisten, walaupun mungkin sudah bosan, sudah tidak suka. Harus tetap komitmen untuk terus menumbuhkembangkan cinta dan apa yang ingin dicapai bersama dengan cinta, termasuk bersama dalam mengejar cinta-Nya.

Banyak sekali pelajaran yang aku dapatkan dari memberikan pembatas yang jelas antara cinta dengan dinda.

Nyata, itu membuatku lebih mudah untuk bisa melupakan seseorang yang butuh kulupakan. Aku sadar, bahwa dia bukan segalanya. Ini, hanyalah sebuah rasa yang hinggap sementara dan mungkin esok jua tak kan kembali berkunjung.

Jangan pula terlena dengan apa yang ada di lagu dan novel roman picisan yang seolah memosisikan cinta sebagai sebuah rasa yang menjadi tokoh utama. Seolah-olah cinta adalah segalanya. Mampu mengubah persepsi, pandangan, bahkan keyakinan. Salah dibenarkan. Buruk dibaikkan.

Semoga kita tidak sampai tercebur ke sana yah :)

Mungkin, di akhir ini aku ingin menutup dengan sebuah lagu yang dulu suka kudendangkan,

Terlanjur mendindai dirimu,
terlambat bagiku, pergi darimu.

PS : Tenang, Haw. Dinda itu bisa datang dan pergi. Ikut kata ibu aja, namanya ada di sana di Lauh Mahfudz. Tenang, sabar, fokus berbuat kebaikan. Semangat :)
Share:

0 komentar:

Post a Comment