Beberapa hari terakhir aku sudah dua kali diberikan pertanyaan terkait ini.
"Siapa orangnya, Haw? Namanya?"
Kalau kalian mendapat pertanyaan seperti ini, apakah kalian bersedia untuk menjawabnya? Menjawabnya dengan nama sesosok manusia yang telah berada dalam dzahir dan batinmu. Kau tulis namanya dalam daftar rencana masa depanmu, kau ukir di hatimu sebagai sosok yang telah pernah mengetuk dan mungkin pernah mengisinya meski mungkin sebentar.Jujur saat pertama ditanyakan itu, kemarin lusa pagi, aku tidak tertarik untuk menjawabnya. Jawabanku saat itu sederhana,
"Namanya ada di sana, di atas. Di lauh mahfudz. Udah ditulis. Cuman aku belum tahu siapa."
Ke adik-adik mentor yang kasih pertanyaan itu di sesi sharing santai di kantin Salman.
Malamnya, pertanyaan yang mirip dengan bentuk yang lain dan metode yang lebih menohok, dilontarkan oleh temanku selepas kami makan malam. Awalnya ia bercerita sedikit,
"Iya, Haw. Urang lagi berproses nih, ta'aruf. Eh iya, maneh udah ada calon belum? Siapa tuh?"
Awalnya aku tak berniat untuk menjawab karena mungkin itu dia maksudkan hanya sebagai pertanyaan iseng biasa. Sampai dia melanjutkan,
"Namanya siapa, Haw? Biar gak rebutan. Takutnya sama."
Baru deh aku shock.
.. Iya, ya. Bisa jadi dia berproses dengan sesosok orang atau nama yang telah menemani hatiku di sebagian waktu.
Ragu.
...
What if? What if?
Pikiran ini berlanjut bahkan sampai kemarin. Saat aku berpikir apakah aku sebaiknya menyampaikannya atau tidak. Seperti setan dan malaikat berputar-putar di kepalaku.
Jangan dikasih tau. Ntar bisa disebar. Ntar kalau sampai di orangnya bisa jadi ujian. Buat kamu dan buat dia. Tapi.. kalau nggak dikasih tau, terus kamu nerima surat undangan dari dia dengan nama itu, kamu rela?
... aargh.
Semenjak aku belajar tentang menjaga hati, aku dengan sangat sadar menghindari bahkan menyebutkan bahwa di dalam hatiku ada satu nama. Tetapi khusus untuk tulisan ini, aku hanya sekadar ingin berbagi ibroh 'pelajaran'.
- Pelajaran #1 :
Aku jadi teringat dari cerita Ayat-ayat Cinta 2 yang menceritakan saat dimana Fahri mendapatkan surat dari Nurul (kalau aku nggak salah) tentang gimana kondisi perasaan Nurul untuk Fahri. Surat itu baru sampai di Fahri setelah Fahri bertunangan dengan Aisha. Saat itu, satu frasa yang baru benar-benar coba kumaknai beberapa hari terakhir ini adalah,"Sesungguhnya cinta yang sebenarnya itu adalah cinta dalam pernikahan."
Bahwa boleh jadi sekarang aku menulis satu nama, atau mungkin membuat alternatif-alternatif nama lain, tapi tetap saja. Allah yang menentukan. Kenapa harus mencoba melangkahi-Nya dengan bersikap bodoh seolah hanya ada satu orang saja dan tidak ada pilihan lain?
- Pelajaran #2 :
Pelajaran kedua adalah tentang mengikhlaskan, tentang jodoh yang sebenarnya. Bahwa kalau toh ternyata aku akan menerima surat undangan berisikan nama temanku dan dia, ya berarti memang mereka berjodoh. Itu berarti bahwa aku dan dia memang bukan jodoh satu dengan yang lain. Seberapapun pahitnya, itu yang Allah berikan.Pelajaran selanjutnya jika itu benar terjadi, adalah tentang mengamalkan konsep mengikhlaskan. Belajar lagi tentang lupa, belajar lagi tentang bingung, belajar lagi tentang mencari satu nama, belajar lagi untuk menemukan cinta. Meski, tetap cinta yang sesungguhnya adalah cinta selepas pernikahan. Cinta yang Dia anugerahkan bagi mereka yang telah dengan sungguh-sungguh berkomitmen dengan cinta tersebut. Yang akan membuatku berani mengucapkan perjanjian yang setara dengan janji para Nabi, berani untuk mengguncangkan Arsy dengan menyebutnya.
Jadi. Hati. Belajarlah.
Belajarlah untuk ikhlas.
Lalu. Kepala. Belajarlah.
Belajarlah untuk fokus pada berbuat kebaikan. Belajar untuk yakin bahwa menikah dengan siapa itu adalah sarana dan bukan tujuan utama. Pahamkan pada isi kepalamu bahwa menikah memiliki both tujuan ibadah dan tujuan dakwah.
Lalu. Kembali ke hati.
Pemahaman yang telah dicapai oleh saudaramu kepala, sambutlah ia dengan baik. Bersikaplah terbuka, lalu belajarlah untuk meyakininya. Semoga dengan keyakinan itu kamu menjadi bisa lebih setia pada nilai dan bukan pada materi. Pada maksud dari pernikahan dan bukan sarananya. Dan dengan kesetiaan itu, belajarlah untuk bisa berkomitmen. .. Meski jujur aku tak tahu bagaimana aku bisa menceriterakan padamu terkait komitmen untuk bahasan ini karena aku sendiri masih belum berani untuk berkomitmen.
Barakallah.
Teruntuk hati dan kepala,
Jadilah berkomitmen sebagaimana kamu belajar untuk berkomitmen dalam beragama, dalam mencintai-Nya, dalam iman kepada-Nya.
--------
Kutipan sebagai penutup.
"Pengetahuan akan melahirkan keyakinan yang mantap. Keyakinan yang mantap akan melahirkan kesetiaan. Kesetiaan akan melahirkan komitmen (iltizam) melaksanakan segala konsekuensi syahadat."
- Ma'na Syahadatain - Syuruthu Qabuulisy Syahadatain
PS : jangan ada yang nanya lagi yaa, huhu
0 komentar:
Post a Comment