Hari-hari
ini, kukira banyak permasalahan yang muncul dari kehidupan sehari-hari
itu bermula dari ketidakbijakan kita dalam menghadapi ketidaksempurnaan.
Saling
menjatuhkan antar golongan satu dengan yang lain. Terutama, dalam
Islam. Sangat tampak bahwa saat ada seseorang yang memiliki ‘label’
baik. Dan dia melakukan keburukan, desas desus yang beredar pun sangat
tidak menyenangkan.
Ketika
seorang guru agama mengambil jalan yang tidak sempurna dalam
menyampaikan agama, hujatan muncul satu demi satu. Ada yang menggunakan
metode musik, ada yang dakwah di dunia skate, bahkan mungkin ada yang ke
nigth club.
Aku
harus bilang bahwa media adalah salah satu faktor pengompor paling
hebat. Saat ada calon legislatif mengakses konten pornografi, ramai.
Saat ada partai yang menggunakan semangat kebaikan lalu di tangkap
tangan korupsi, ramai. Pun saat ada calon Presiden yang melakukan
kesalahan, baik di masa kini ataupun di masa lalu, ramai.
Kita semua seolah di-framing
kan dengan sebuah konsep kesempurnaan yang bersih dari segala
keburukan. Bahwa jika ada seseorang mengaku baik, tetapi memiliki
keburukan, sudah tidak ada artinya kebaikan yang ia miliki.
Pun dengan munculnya golongan orang yang tidak setuju dengan mengatakan,
“Ambil baiknya, buang buruknya.”
Seolah-olah
bahwa jika seseorang memiliki satu saja keburukan. Tak selayaknya kita
mengambil kebaikan yang ia miliki. Mereka lebih memegang prinsip,
“Jangan percaya padanya, saya khawatir nanti kamu terbawa pada keburukan yang dimilikinya.”
Pun
dengan satu isu yang akhir-akhir ini membuatku sangat resah. Yakni
tentang kemunculan teman-teman Feminis ekstrim. Mereka menuntut
kebebasan yang sama dengan yang dimiliki oleh laki-laki. Mereka tidak
mau bahwa perempuan harus tunduk pada laki-laki, baik secara pribadi,
ataupun secara sistem. Kata-kata sesederhana,
“Bukan badan kami yang harus ditutupi, tapi pikiran kamu yang ngeres.”
Bermula
dari kegagalan laki-laki dalam menutupi dan memperbaiki
ketidaksempurnaannya, diletakkanlah hujatan demi hujatan, tuduhan demi
tuduhan. Bukan hanya pada lelaki yang memang seperti
itu, tetapi pada semua jenis lelaki. Sampai lelaki yang baik pun merasa
heran kenapa dia seperti dianggap sebagai sesosok manusia yang haus
seks dan tidak pernah puas (meminjam istilah teman).
Yang
kupelajari hingga saat ini, saat kita menghadapi ketidaksempurnaan,
kita seolah diarahkan oleh suatu bisikan kasatmata, pada dua hal,
- Generalisasi.
- Kebencian.
Sehingga
sangat wajarlah jika kita melihat negeri kita ini semakin terpecah.
Padahal orang-orangnya shalat. Punya spirit gotong royong.
Dan aku yang melihat ini merasa tak berdaya. Kenapa kita harus keras pada ketidaksempurnaan orang lain? Kenapa kita harus mem-bully orang yang tidak berhasil mencapai apa yang kita kira dia bisa capai?
Dengan kata bully aku
bermaksud bukan sekadar mengejek, merendahkan. Tapi juga tindakan yang
lebih kasar seperti menghujat jilbab-nya, menghujat kebiasaannya shalat.
“Heh, buat apa sholatmu kalau kayak gitu aja gak kamu lakuin? Buang sampah sembarangan.”
“Kamu itu, masih bercanda sama laki-laki padahal udah malem gini. Orang yang berjilbab harusnya udah tahu!”
Dan ada orang yang tersakiti, dan ada orang yang sedih, dan boleh jadi ada orang yang benci.
Kenapa kita harus keras pada ketidaksempurnaan orang lain?
Melalui serial tulisan ini, aku mengajak temen-temen semua untuk masuk ke dalam sebuah space
‘ruang’ dimana kita akan mencoba lebih peka akan ketidaksempurnaan di
sekitar kita, dan mulai untuk lebih bijak dalam menyikapinya.
P.S. : Aku
pun sedang belajar, tapi aku berharap bisa membagikan ilmu ini pada
mereka yang belum sampai mengambil mata kuliah kehidupan ini. Atau
mungkin ada kakak tingkat yang bersedia memberikan ilmu lebih, saya akan
sangat mengapresasi :)
0 komentar:
Post a Comment