Beberapa hari yang lalu aku mendengar sebuah kalimat dari orang dekatku. Kalimat yang mungkin bagi sebagian orang dianggap biasa saja, tapi menyadarkanku akan jalan perubahanku meninggalkan apa-apa yang telah terlalu lama mengendalikan hidupku tanpa persetujuanku.
A : Kamu lagi nonton pakai kuota ya, B?
B : Iya. Pakai Te*koms*l. Haah, kayak gini ini gak bisa banget lah kalo ga ada kuota. Pokoknya kebutuhanku itu internet internet internet, sandang pangan papan. Aku gak bisa hidup tanpa internet.
Aku : Shalat B, shalat. Shalat itu kebutuhan.
B : Udahlah, pokoknya internet itu kebutuhan pokok.
(…)
Mendengar ucapan seperti itu, aku jadi terusik. Bagaimana seseorang mengatakan ucapan yang seolah telah sangat bergantung dengan sesuatu dalam hidupnya. Kata-kata, “gak bisa hidup tanpa internet”. Bagiku, kata-kata ini sangat keras dan bisa jadi melanggar prinsip tauhid, meski tidak ada maksud melanggarnya. Bukan bermaksud menjelek-jelekkan yang mengatakan, tapi kusarankan sebaiknya di lain kali beliau tidak mengatakan hal seperti ini lagi walaupun dirasa-rasa memang seperti itu yang terjadi. Khawatir itu melanggar prinsip tauhid.
Dari dulu, aku juga punya riwayat memiliki kebutuhan, kecanduan. Terhadap berbagai hal. Dimulai dari game online. Aku yang dulu kalau pulang sekolah jam 4, dan biasanya baru sampai rumah jam 9 malam. Hampir setiap hari jika tidak ada les. 5 jam. Mungkin untuk sekitar 2–3 tahun. Kalau tidak main game, kadang terasa hidup itu hambar. Lalu ditambah juga dengan kecanduan-kecanduan lain.
Kecanduan yang mulai kusadari ketidakbaikannya saat aku lebih dalam belajar agama. Mungkin itu ketika aku di Masjid Salman, lebih spesifik lagi mungkin ketika aku di Mata’ Salman.
Satu pelajaran tentang definisi illah.
Bahwa illah adalah segala sesuatu yang seseorang rela dikuasai, dikendalikan, patuh dan taat sepenuhnya kepadanya. Sesuatu yang sangat dicintai, didamba-dambakan, diharapkan keberadaannya. Segalanya baginya.
(kalau ga salah definisi dari Bang Imad)
Belajar tentang itu membuatku merasa tersentil. Bagaimana aku begitu mudahnya menyerah kepada game ataupun anime, ataupun film yang sedang kutonton ketika aku mendengar suara adzan shalat. Dan aku lebih memilih untuk tidak sholat dulu, lebih memilih menyelesaikan apa yang sedang kulakukan tersebut. Tampak bahwa aku rela untuk dikendalikan oleh hal-hal tersebut, dan tidak memilih untuk shalat.
Juga tentang perempuan. Pernah ketika aku merasa begitu tertarik. Tidak ada hari tanpa memikirkannya. Dan aku merasa benar-benar didominasi oleh perasaan sendiri. Banyak hal kulakukan, rela kulakukan, dan sebagian besar tidak logis.
Pun halnya dengan internet dan media sosial. Bagaimana aku tidak nyaman mendapati bahwa setelah shalat, aku langsung cek ada chat baru atau tidak. Ada postingan menarik atau tidak. Ketika malam-malam yang seharusnya diisi seminimalnya dengan tidur, atau yang lebih baik, tapi malah dipakai untuk membuka media sosial. Ah, seolah-olah semua update dan pesan yang masuk itu begitu penting. Mengendalikanku dari alam bawah sadar.
Hingga akhirnya aku belajar untuk memutus rantai pengikat antara hal-hal tersebut denganku. Belajar bahwa sebenarnya yang perlu aku pelajari untuk butuh adalah butuh akan Allah, akan pertolongan-Nya, rezeki dari-Nya, petunjuk-Nya. Butuh untuk dzikir, butuh untuk shalat. Bersedia menyatakan bahwa aku patuh dan tunduk pada aturan-Nya di atas aturan-aturan lain. Melepaskan ketergantungan dari makhluk menjadi kepada Khalik. Dari yang diciptakan kepada Yang Menciptakan.
Mulai mengurangi jatah main game. Kadang muncul rasa tidak nyaman di dalam hati ketika menyadari bahwa aku sudah bermain game sampai beberapa jam. Atau hampir setiap hari. Atau bahkan menunda-nunda shalat karenanya. Satu hal penting yang kulakukan adalah membatasi kapasitas HP. Aku sadar banget bahwa bermain game berjam-jam salah satunya diawali dengan memiliki HP dengan kapasitas yang tinggi. RAM 2 GB, memori 8 GB, dst. Momen dimana aku seharusnya belajar, semisal di kelas, malah terpakai untuk bermain game. Akhirnya, aku mulai membatasi itu semua dan memutuskan bahwa HP hanya untuk media sosial. HP pertama yang kubeli setelah kesadaran itu adalah HP L*G dengan kapasitas RAM 756 MB. Line dan WA saja terkadang sudah nge-lag. Pun sekarang, masih HP L*G dengan merek yang berbeda, hanya memiliki RAM 1.5 GB. Sedikit tinggi, tapi kuperkirakan bahwa sudah akan lambat jika banyak diisi dengan game. Sengaja kupilih. Oh iya, tapi aku masih ada tab yang kuiisi game juga. Tapi memang fungsinya untuk HP bermain dan belajar, bukan HP medsos. Jadi batasnya jelas.
Mulai sadar bahwa perempuan bukan segalanya. Salah kalau sebagai seorang laki-laki aku tergila-gila pada perempuan. Bukan untuk itu aku hidup.
Aku juga mulai membatasi penggunaan internet. Berawal dari memesan kuota hanya 15 MB/hari. Cukup untuk update Line sehari. Berkomunikasi dan mendapatkan segala informasi yang sekiranya kubutuhkan dalam berkehidupan di kampus. Sempat keos karena kembali membeli kuota yang besar dari provider tertentu, berlanjut dengan browsing-browsing tanpa henti, buang-buang waktu, dan hal-hal lain yang sebagian besar tidak ingin kulakukan. Sampai akhirnya sekarang sedang settle pada kuota per bulan yang 1GB dengan Medsos (kira-kira) unlimited. Selain itu, aku juga mulai membiasakan untuk memiliki waktu satu jam dalam sehari untuk tidak menggunakan medsos. Menggantinya dengan sesuatu yang memang prioritas dalam hidup, tanpa keberadaan internet. Kadang sampe dimarah-marahin karena ada skip. Cuman, luar biasa, hasilnya menunjukkan bahwa memang aku bisa kok hidup tanpa internet, walaupun hanya satu jam sehari. Hidupku masih baik-baik saja mostly. You know, that’s such a good relief. Phew.
Banyak hal yang kuubah. Sampai sempat terpikir juga untuk tidak ingin dikirimi sangu oleh orangtua agar tidak ketergantungan dengan kiriman orangtua. Tapi, setelah dipikir-pikir tampaknya itu akan terlalu berlebihan. Karena aku toh belum bisa dapat beasiswa juga.
Bagaimana belajar tauhid bisa membuat hidupku banyak berubah. Bagaimana iman bisa mendorongku untuk meninggalkan sesuatu yang tidak seharusnya kulakukan secara berlebihan. Berhijrah, mungkin, itu istilahnya. Alhamdulillahi ‘alaa kulli haal.
Kembali kepada kasus perbincangan di awal. Ada satu hal lain yang perlu menjadi perhatian tentang iman. Bahwa iman itu diyakini di hati, diucapkan di lisan, dan diterapkan dalam tindakan. Bagaimana Iblis meyakini bahwa Allah itu Tuhan, mengucapkannya juga, tapi ternyata tidak mau mematuhi dan bertindak untuk sujud kepada Nabi Adam. Batal keimanannya dan ia menjadi kafir. Terkutuk selamanya.
Begitu juga dengan ucapan. Mengucapkan bahwa aku tidak bisa hidup tanpa sesuatu selain Allah, sangat dikhawatirkan telah mengucapkan bahwa ada illah bagi dia selain Allah. Walaupun di hati mungkin tidak seperti itu maksudnya. Tapi sesungguhnya berhati-hati dalam hal akidah itu jelas merupakan hal yang utama dan teramat penting. Bisa jadi ketidakhati-hatian (tolong koreksi kalau salah penulisan) dalam mengucapkannya menjadi asbab kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita inginkan di hari akhir nanti.
Jadi, saran saya, hindari mengucapkan hal-hal seperti itu. Termasuk di dalam lagu-lagu cinta, “Ku tak bisa hidup tanpamu”. Itu juga sangat rawan merusak akidah. Apalagi kalau lebih dari sekadar ucapan dan dalam keseharian benar-benar seperti itu. Jangan. Usahakan untuk tidak menggantungkan diri sepenuhnya kepada selain Allah. Terus berusaha yakin bahwa innallaha ma’ash shaabiriin.
Robbanaa laa tuzigh quluubana ba’da idz hadaitanaa wa hablanaa min ladunka rohmah. Innaka antal wahhab.
Notes : Masih banyak PR. Masih banyak cacat dan cela. Sebagian hal masih mengecewakan. Tapi, setidaknya aku masih memiliki keinginan untuk menjadi orang baik. Dan masih melakukan hal-hal yang kuharapkan bisa membawaku ke sana. Hingga di pemberhentian akhir nanti.
0 komentar:
Post a Comment