Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Saturday, 13 April 2019

Ruang Ketidaksempurnaan  —  part 2 : Tangan Kecil, Langit Luas, dan Jurang yang Dalam

       Hari ini aku mengalami ketakutan. Habis mengalami kecelakaan tunggal dan membuat aku mengalami luka. Masih belum kering luka, sudah mesti berhadapan dengan jarum suntik. Entah, rasanya menakutkan. Enaknya jadi orang beriman, tidak perlu takut kepada selain Allah. Iri.

Well,
ya. 

       Ruangan kali ini akan berisikan sebuah paham yang kupegang beberapa bulan terakhir tentang ketidaksempurnaan manusia. Aku memasuki ruangan ini sejak aku mulai mendalami isu tentang laki-laki dan seksualitas. Baik itu di orang lain, ataupun di diri sendiri. 

       Dalam memulai gerakan FightForFreedom, gerakan kampanye bahaya pornografi berbasis medsos, aku mengambil sebuah mata kuliah dari jurusan sosial yang kuat dengan dasar penelitiannya. Planologi dengan matkul pra-TA mereka, Metode Penelitian. Di kelas ini aku belajar tentang bagaimana menyusun sebuah proposal penelitian yang akan bisa menjadi basis dan acuan dalam melaksanakan sebuah penelitian sosial.

       Salah satu hal penting yang kupelajari adalah tentang mengumpulkan referensi yang sudah ada terkait isu yang akan kuteliti. Salah satunya dari sinilah aku menemukan banyak hal perihal pornografi secara lebih jauh. Baik itu statistik, ataupun cerita-cerita. Termasuk aku juga mulai peka dengan isu pornografi di sekitarku.

Bagaimana seorang anak kecil bercanda dengan temannya di dalam masjid. Suatu waktu di kala aku dapat kesempatan mengajar anak-anak di sebuah masjid, bada maghrib. Aku bertanya,

Cep (panggilan untuk anak laki-laki), sebelum kakak emang sudah pernah ada siapa saja yang ngajar kalian?”

“Waah, banyak kak, ada kak a, kak b, dst.”

Terus temennya nyeletuk,

“Eh inget gak sih, si tukang jualan cuanki yang ditangkep itu? Itu kan ketahuan nyodomin yaa..”

*kaget

“Ooh iya, yang itu yaa. Wah jangan-jangan jualan cuanki sambil gitu ya?”

(si anak meragain gerakan nyodomin anak-anak)

“aahahahahah.” (pada ketawa)

*double kaget

… 

Allah, anak kecil bisa kayak gitu. 

       Terus aku ditambah dengan ketika aku mulai mengajak berdiskusi dengan teman-teman cowok lain lewat gerakan FiForFree, fakta-fakta yang kukumpulkan semakin berat dicerna. Sampai kadang membuatku terpaku. Hanya bisa diam. Ngga ngerti harus mulai dari mana.

       Fakta seperti bahwa ada teman di Surabaya yang mengira bahwa tidak ada teman laki-lakinya yang tidak melihat pornografi. Ditambah dia mengatakan bahwa sudah hal lumrah bagi seorang istri di Surabaya untuk memahami bahwa suaminya butuh space untuk melihat pornografi. Atau cerita lain tentang teman-teman yang telah begitu mudahnya mengakses aplikasi pacaran, yang disebut oleh temanku sebagai prostitusi terselubung. Foto profil vulgar, orang-orang yang haus belaian, dsb. Sampai ke level atas, bagaimana biasanya di permainan golf, seorang caddy (pembawa peralatan golf, biasanya cewe) akan sangat senang jika bisa menemani setelah bermain golf. Menemani ke hotel, lebih tepatnya. Termasuk yang tidak kalah sedih adalah kisah tentang seorang teman yang tidak tertarik dengan pornografi, tapi mereka terjebak oleh nafsunya lewat cara lain. Ada teman yang suka mengumpulkan foto cewe SMP dengan pakaian tertentu (sehari-hari sebetulnya, tapi kalau jadi dikumpulin ratusan kan gimana ya..), ada juga teman yang gak sengaja meluk temen sekamarnya sampe temen sekamarnya takut kalo dia gak straight. Padahal dia normal, cuman memang mungkin dorongan nafsu itu gak kerja di alam sadar aja, tapi juga sampai ke alam bawah sadar. Entah.

       Tentu gak kalah menyedihkan lagi kalau sudah bicara kekerasan seksual yang didalangi sama pornografi. Ya maklum, orang di sana diajarkan bahwa seks itu tidak membutuhkan rasa kemanusiaan, ya gimana. Orang pedesaan sekalipun kalau konsumsinya seperti itu ya lama-lama konslet.

Phew. Kepalaku kadang terasa penuh. Bingung. 

Just where exactly are we going with this rate of crime and such hypersexualized and less-morale culture?

       Aku ingat aku pernah memberikan sebuah materi komunikasi pada teman-teman di lingkungan islami. Satu pesan awal yang kusampaikan kepada mereka tentang kenapa mereka harus memperbaiki kemampuan komunikasi mereka, aku meminta mereka memejamkan mata. Dan aku bertanya,
Coba bayangin kalian lagi ada di gunung pinggir sebuah jurang. Disana kalian bisa melihat langit lepas. Lalu sekarang, angkat tangan kalian. Bandingkan, besar mana tangan kalian dengan langit? Lalu, lihat ke bawah, seberapa dalam jurang itu? Apa yang terjadi kalau kalian jatuh ke sana? Coba bayangkan teman-teman. Ini analogi.

       Kita ini diutus oleh Yang Mengutus Rasulullah, untuk menjadi khalifah di muka bumi. Untuk menyebarkan amar ma’ruf nahi munkar. Tugas dan amanah yang gunung pun hancur saking tidak sanggupnya menerima amanah ini. 

       Padahal, kita apa? Mungkin di antara kita ada yang keluarganya broken home, mungkin saudara kalian ada yang kecanduan narkoba, atau kecanduan seks, atau apa yang lebih mengerikan lagi. Atau bahkan kalian sendiri, kita sendiri, punya masalah yang kalian sendiri kadang bingung dan sampai tertarik jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam itu. Dimana kalian kesakitan luar biasa saat terjatuh ke sana. Dan saat kalian melihat ke kanan dan kiri pun semua seperti gelap luar biasa. Selamat datang di jurang kalian. Sesuatu yang sangat kalian takuti. Ada kekecewaan mendalam di sana. Ada kebingungan yang tak tahu harus kalian sampaikan pada siapa. 

       Sekarang tengok kepala kalian ke atas lagi, kalian melihat langit. Sebuah tugas, amanah untuk memperbaiki kerusakan yang ada di dunia ini begitu berat. Tugas yang sangat tinggi, dan sangat luas. Padahal, kalian perhatikan lagi tangan kalian? Kecil. Gak ada apa-apanya dibanding luasnya dan besarny atugas tersebut.

       Mungkin kalian pernah dengar pernyataan bahwa kita ini ibaratnya satu butir pasir di pantai jika dibandingkan dengan alam semesta ini. Atau lebih kecil. Kalian tahu? Allah menciptakan kita untuk menjadi pemelihara pantai tersebut. Kita yang kecilnya hanya seperti sebutir pasir itu. Tangan yang sangat kecil itu. Yang mungkin banyak goresan luka juga di sana. Dengan segala kemungkinan untuk jatuh ke jurang yang dalam, sangat dalam. 

Paralyzed. Lumpuh.

       Gagasan kalimat pengantar dalam materiku kali itu adalah sebuah pertanyaan besarku yang ingin kutunjukkan pada kalian. Pertanyaan yang mungkin jika kita hanya terfokus pada pertanyaannya, akan membuat kita lumpuh. Kaku diam. Seolah apa yang kita lakukan tak ada artinya. Menumbuhkan pesimisme luar biasa, mungkin? Dunno.

Sekali lagi kuucapkan, 

Hai, selamat datang di [Ruang Ketidaksempurnaan]. Kalau kalian berhenti di ruangan ini dan memutuskan untuk tidak mau kuantarkan ke ruangan-ruangan selanjutnya yang mungkin akan berisi jawaban dan harapan, aku khawatir kalian akan tersesat. So, stay with me. 

Hint : Ketika aku menanyakan pertanyaan tentang tangan, langit, dan jurang ini kepada senior yang telah melakukan perubahan di tengah tawaran untuk bersantai saja, ini jawaban beliau.

Bagus, itu disadari dulu. Itu kenapa kita juga ga bisa sendiri-sendiri.

(continued, insyaAllah)
Share:

0 komentar:

Post a Comment