Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Wednesday 25 January 2017

Hijrahku, Maharku

       There is this phrase that somehow I stumbled upon recently. It felt intriguing to me, so I think I'd like to share it with you here. Frasa ini entah kutemukan pada buku nikah kelas tinggi tentang kepantasan diri saat membaca buku-buku bukaan yang ada di Gramedia beberapa hari lalu, entah di blog saat blogwalking. Ceritanya begini:

Seorang lelaki melamar seorang perempuan baik-baik(bahasa lainnya : sholehah) dengan berkata,

"Kurasa, maharku untukmu, adalah semua usaha perubahan kebaikan yang telah kulakukan untuk memantaskan diri ini untukmu. Apakah itu cukup?"

Dan sang perempuan menjawab,

----

Yak! Jawaban sang perempuan tidak menjadi bahasan sama sekali ya, mohon maaf jika telah membuat Anda kecewa. Yang kubahas adalah pernyataan sang lelaki ini.

       Tersebutlah seorang ikhwan, lelaki, yang dahulu bukanlah orang baik-baik. Lalu, ia masuk ke dalam sebuah organisasi, gerakan berbasis Islam. Disana, ia berkenalan dengan banyak sekali 'kasta' orang. Mulai dari teman seangkatan, adik angkatan yang cenderung lebih culun 'lucu', pendahulu dakwah yang sudah kelihatan subhanallah nya. Ia melihat bahwa ternyata di zaman sekarang ini, jumlah lelaki baik itu tidaklah banyak. Ia mendengar beberapa komplain melalui murobbi nya bahwa akhwat zaman sekarang banyak yang terpaksa menurunkan standar karena memang di lingkungan tempat ia berada tidak ada suplai lelaki baik-baik. Kalau mau yang rajin ke masjid, yang ngerokok baru ada. Mau yang biasa jenguk tetangga, sopan, dan santun, eh udah ga pernah ke masjid. Susah kan.

       Pada suatu titik dalam hidupnya, dibarengi dengan kesadaran akan kelangkaan lelaki baik-baik itu, ia juga sadar bahwa ia sangat jauh dari kata 'baik' itu. Setidaknya, ia sadar bahwa di hadapan Tuhannya, dia terlalu banyak menyimpan dosa. Kebohongan-kebohongan itu yang ia gunakan untuk menutupi aib dalam dirinya rasanya sudah menggerogoti hati nuraninya terlalu dalam. Ia tak sanggup membohongi kenyataan. Bagaimana nanti di masa depan? Ia terpekur. Rasanya jika ingin selamat dalam mengarungi dunia pekerjaan yang lebih berat, ia takkan sanggup jika juga harus membina pendamping hidupnya. Padahal, justru ia yang perlu dibina. Ia tak ingin dituntut oleh anak istrinya yang (naudzubillah) masuk neraka karena kekurangmampuan dirinya dalam membina mereka. Saat itulah ia sadar bahwa ia butuh pendamping yang baik.

       Dalam masa pemikirannya itu, ia ingat akan salah satu ceramah yang ia dengar terkait konsep pernikahan dalam Islam. Konsep 'se-kufu',  atau biasa diartikan se-level/se-tingkat. Hindari menikah sama orang yang belum setingkat sama kita secara agama, pemikiran, dll. Kalau ingin mendapatkan pasangan yang seperti itu, ya kita maksimalkan mendekati level seperti itu *kalau merasa kurang ganteng atau cantik, ya mbok diusahakan ke sana, terus banyak do'a sama Allah semoga diberikan kegantengan ataupun kecantikan itu, seenggaknya kalau gak fisik ya hati kita*. Salah satunya karena asbab 'sebab' ini, dia memutuskan untuk berubah, untuk memperbaiki diri, mengurangi kebiasaan buruk, dan meningkatkan kebiasaan baik. Be it his gaming habit, inappropriate internet consumption, etc. Ia coba tinggalkan itu semua, demi memantaskan diri. Di saat ia sudah merasa cukup baik, saat itulah ia melamar sang perempuan yang telah lama ia jadikan alasan untuk memperbaiki diri. Meski ia sebetulnya ia tak tahu siapa nama yang tertera di lauh mahfudz, tetapi ia hanya tahu bahwa ia harus memilih perempuan baik.


-- Continued in Hijrahku, Maharku part 2
Share:

0 komentar:

Post a Comment