Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Wednesday 1 February 2017

Ayat Ayat Cinta 2 : Meneladani Ketidaksempurnaan Fahri

       Semester ini adalah semester yang menurutku cukup berat. Dengan asumsi aku akan sering merasakan penat dan stress, akhirnya aku mempersiapkan banyak alternatif untuk melepas kepenatan. Salah satunya, novel. Saat libur saja, aku sudah menghabiskan sebuah novel yang keren banget. If we can make it as an analogy into something else, it definitely turn itself into something else. Maksud saya, novel yang saya baca waktu itu, Eragon - Inheritance, jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda isinya akan jadi sangat berbeda dan menjadi jauh lebih banyak hikmahnya. Ah, biarlah itu menjadi bahasan di lain waktu. Novel lain yang saya siapkan adalah Musashi dengan tebal sangat tebal *dulu udah pernah baca sih, kisah cinta nya itu cukup sweety-sweety menyayat hati(?)*. Daan, finally, novel terakhir yang kupinjam sebagai bekal mengarungi semester ini adalah Ayat-Ayat Cinta 2 karangan Kang Abik. Ini yang akan saya bahas.

       Well, kalau kalian ingin baca resensi dan review buku ini, wah pasti udah banyak beut, bejibun! Disini, aku tertarik untuk menggunakan metode lain untuk mengomentari buku ini. Aku ingin mengomentari komentar-komentar yang orang buat terkait buku ini. Ada yang dari goodreads, sama ada yang dari blog orang. Macem-macem yah, komentar orang. Berikut dua komentar yang akan ku highlight beserta komentarku :


 Poin pertama :  "Fahri terasa terlalu sempurna."

       Opini yang menarik. Tapi, tahu apa yang lebih menarik? Dari komentar pada blog tadi, kata Kang Abik, orang-orang seperti Fahri itu banyak di Al-Azhar. Cuman di Indonesia aja ga keliatan *hayoo, jadi pengen ke Al-Azhar ga? Hehe*. Mungkin memang beda ya, kualitas antara pelajar Muslim di Indonesia dengan pelajar Muslim di salah satu kampus keislaman tertua di Mesir.

       Secara pribadi, jujur sebenarnya saya bisa melihat kekurangan-kekurangan Fahri. Sebetulnya, kalau kita pakai sudut pandang kita yang seperti ini, jelas saja kalau kita merasa rendah. Eh, maksudnya Fahrinya yang jadi terlalu tinggi. Tetapi, kalau kita coba memposisikan diri sebagai Fahri, menurut saya dia lemah. Saat ia khawatir bahwa niatnya dalam mencintai seseorang itu bukan karena Allah, dia lemah. Saat dia ragu dalam melakukan kebaikan, dia lemah. Dan momen-momen kelemahan lain.

source gambar : https://www.goodreads.com/book/show/28099346-ayat-ayat-cinta-2

       Meminjam kata-kata teman saya, kayaknya memang beda kelasnya ya. Apa yang kita sebut sebagai sempurna bisa jadi bertolak belakang dengan Fahri. Coba deh, bandingkan masa-masa futur nya Fahri dengan futur nya kita. Kalau Fahri mah, futur-nya itu terlalu banyak mengurus hal-hal dunia sampai lelah lalu malas untuk qiyamul layl. Takut tidak bisa menjaga hati karena cinta berlebih kepada sesama juga sudah merupakan dosa bagi dia yang perlu dia dzikirkan. Beda sama kita, ya ga? Wkwkwk. Jadi, beliau bukan orang yang sempurna, dalam sudut pandang diri beliau sendiri. Tampaknya disini saya yang tersadarkan bahwa mungkin kita membandingkan standar kita dengan standar hamba Allah yang setia ya, pantes jauh huehue

       Tambahan lagi, keberadaan teladan praktis dari Fahri tentang bagaimana bermuamalah, beribadah kepada Allah, dll ini sangatlah menyenangkan bagi saya. Hal ini membuat saya menyadari dimana posisi saya, dan apa yang musti saya kembangkan agar bisa menjadi pribadi yang lebih dekat kepada Allah di masa depan. Saya jadi sadar bahwa pengorbanannya tidak ringan, tetapi saya jadi punya gambaran bahwa insyaAllah jalan di sana nanti saya akan tetap bisa menemukan ketenangan. Bahkan, Fahri yang jarang terlihat letih juga menurut saya bukanlah hal yang aneh. Jika menilik kebiasaan Rasul dan para Sahabat untuk shalat malam hingga kakinya bengkak-bengkak, sepertinya memang ini bukan hal yang di luar kehendak Allah. Maksud saya, begitu seseorang sudah Allah cintai, maka bukan hal aneh ketika ia bisa melakukan hal-hal luar biasa. Apalagi bagi seorang hafidz yang setiap hari mengulang minimal 5 juz hafalannya. MasyaAllah.

Semoga kita bisa semakin mendekati derajat beliau, aamiin. Beliau tidaklah sempurna, tidak ada yang sempurna selain Allah semata. Percayalah.


Poin kedua : "Buku Kang Abik tebal, kurang efisien, bertele-tele"


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhku08zC2mYEN_Ci8IUpAowK2SlFhXQ7LpGthUEpcOL3L4Va07vXVWYAjtAiJX1mNW27Yf6RGjexQR8ruaxqHukDFz-5N3Awt7JxrZheU-62u4oq7s9iJcwr55lKbrljk_bzkdotvBEWu0/s1600/032.JPG
       Hmm.. Kalau yang ini macem-macem. Ada yang berkomentar plot nya kurang konflik. Ada yang tentang kisah cinta terasa sangat lambat. Ada juga yang membanding-bandingkan dengan AAC 1. 

       Gimana ya, saya sendiri sudah pernah membaca AAC 1. Duluu, lama sekali. Jadi, sebetulnya saya sudah cukup lupa apa saja isinya. Saya merasa menjadi pembaca yang membuka halaman pertama buku ini dengan little to none expectation. Dari awal, kisah di dalam buku ini begitu memikat, membuat saya ingin berhenti membacanya karena jadi lupa hal-hal lain*entah saya yang lagi butuh pelepas stress atau gimana ya*. Saya sempat kurang suka bagian mendayu-dayu, kerinduan mendalam Fahri pada Aisha. Rasanya kartu pelanggaran dalam hati saya terangkat otomatis *buat yang ga ngerti, maksudnya romance di dalam buku ini berbahaya buat single single seperti saya*. Tapi, makin saya ikuti alur ceritanya, saya makin sadar bahwa ini bukan sekadar kisah roman sederhana. Begitu apiknya, Kang Abik membuat alur cerita yang manusiawi dari sudut pandang seorang laki-laki. Bahwa bagi kami, tantangan-tantangan dalam hidup ini juga salah satu hal yang membuat hidup kami lebih hidup. Tantangan untuk membuktikan sesuatu, bukti pada Allah bahwa kami berkorban untuk-Nya. Bukan tentang prestige diri.

       Daripada melihat buku ini sebagai kelanjutan AAC 1, saya lebih senang melihat buku ini sebagai sebuah kritik sosial sekaligus media dakwah kepada pembaca. Buku ini banyak memberikan situasi-situasi yang sering kontras dengan apa yang terjadi di Indonesia. Lewat kondisi-kondisi yang mirip ini, lalu beliau mencoba menyampaikan pesan-pesan tersembunyi tentang bagaimana sebaiknya kita menghadapi situasi tersebut. Sebutlah tentang pesan jangan mengemis. Wah, ga kelar-kelar kalo bahas kasus pengemis di Indonesia mah. Sayang ya Kang Abik ga bahas tentang preman yang berada di balik mayoritas pengemis di Indonesia. Berhubungan dengan tetangga. Menyikapi perbedaan. Toleransi. Membela maqasidus syari'ah seperti agama dan kehormatan. Memahami konsep dasar aqidah agar tidak tersesat pada atheisme ataupun pluralisme. dll. Mudah-mudahan saya bisa mengambil hikmahnya, pembaca juga.

       Kesimpulannya, rasanya begitu banyak ilmu yang ada di dalam novel ini sehingga membuat saya merasa tak ape lah kalau plot ataupun kisah cinta nya lamban. Bagi saya, buku ini merupakan novel komplit. Kesempurnaan dalam ketidaksempurnaan itu justru membuat kisah Fahri dalam buku ini menjadi suguhan lezat. Kalau ditanya apakah buku ini harus dibaca atau tidak, gak usah ditanya lagi huehue. Kalau sudah mulai baca, jangan lupa awali dengan do'a kepahaman akan ilmu karena isinya bisa jadi cukup tinggi dan kita malah jadi melewatkan hikmahnya. Tentu tidak mau kan?
Share:

0 komentar:

Post a Comment