Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Monday, 29 May 2017

Ramadhan Perubahan - Edisi 1 : Dalu Nuzlul Kirom

       Ramadhan 1437 H, tahun lalu. Itulah awal pertemuanku dengan sosok rendah hati yang satu ini, Dalu Nuzlul Kirom. Beliau begitu luar biasa sehingga tak perlu baginya untuk berbicara tentang hal-hal besar untuk mampu membuatku terhenyak dan berpikir tentang betapa jauhnya perbedaan antara diriku dengan beliau. Memang benar kata temanku, beliau orang apa adanya, tetapi justru di sana sisi luar biasanya menjadi makin tampak sederhana namun tak tersentuh.

Dalu (baju hitam) bersama tim

       Pertemuan sekaligus obrolan pertamaku dengan beliau terjadi di mihrob Masjid Salman ITB bersama dengan teman-teman yang lain yang sudah stand by di mihrob sejak beliau belum selesai mengisi materi IRAMA(Inpirasi Ramadhan) hari itu. Aku sendiri hari itu tidak bisa mengikut kajian IRAMA karena ada urusan terkait perlogistikan yang harus kuklarifikasi agar tidak menjadi permasalahan di esok hari. Saat urusanku selesai, waktu telah menunjukkan sekitar 30 menit menuju Maghrib. Aku penasaran dengan beliau, jadi aku memilih untuk ikut stand by di mihrob bersama panitia-panitia lain. Qadarullah, kami berasal dari sekolah yang sama. Saat itu aku ingat bahwa ada juga adik tingkat yang berasal dari daerah yang sepaguyuban (daerah kepulangan).

Sekilas tentang GMH
       Di IRAMA, yang kuingat tema beliau adalah tentang kegelisahan pemuda dan bagaimana harus mengubah lingkungan yang kurang baik. Sedikit cerita tentang Mas Dalu. Mas Dalu adalah founder Gerakan Melukis Harapan yang telah menjembatani kekhawatiran warga Gang Dolly (eks lokalisasi di daerah Surabaya) dengan keinginan Pemkot Surabaya untuk menutup daerah tersebut. Warga khawatir janji yang diberikan oleh Pemkot adalah janji palsu dan mereka tidak akan mampu melanjutkan kehidupan selepas ditutupnya Gang Dolly karena itulah satu-satunya penghidupan mereka. Mas Dalu saat itu melakukan diskusi beberapa kali dengan beberapa ormas-ormas mahasiswa hingga akhirnya ditentukan untuk mendirikan sebuah gerakan pengawalan janji Pemkot tersebut. Hingga akhirnya saat ini Gang Dolly telah berubah menjadi kampung mural, kampung wisata. Sebuah daerah yang seperti kata Mas Dalu pada pertemuan keduaku dengan beliau, daerah yang tidak hanya dari di bawah standar menjadi normal, tetapi menjadi jauh di atas normal, luar biasa.

       Mas Dalu sendiri adalah lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Mantan PresBem, Kahim. Dengan sederet prestasi mentereng seperti juara lomba LKTI beberapa kali, dan lulus juga sebagai mapres(mahasiswa berprestasi). Dengan nilai plusnya lagi, kesuksesan beliau mendirikan Gerakan Melukis Harapan. Organisatoris, akademisi, sekaligus juga mengabdi kepada masyarakat, not to mention dalam apa yangku lihat, ilmu agama beliau juga bagus, berhubung ada pembinaan dari PPSDMS atau kini biasa dikenal dengan Rumah Kepemimpinan. PPSDMS seingatku bukanlah sebuah asrama biasa, ada kenalan yang kutahu ikut dan akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri karena banyaknya kegiatan sehingga kurang sanggup untuk mengimbangi dengan kemampuan akademis yang baik.

       Satu pertanyaanku. Hanya satu. Semenjak aku membaca CV beliau. Semenjak aku mulai mengikuti perkembangan Gerakan Melukis Harapan. Semenjak aku diminta oleh ketua P3R untuk menghubungi beliau agar mengisi di IRAMA P3R.

       Bagaimana bisa beliau melakukan hal itu semua sekaligus?

       Bagaimana mungkin, seorang mahasiswa dengan akademik prestatif, mapan dalam berorganisasi, sekaligus secara agama baik? Jujur aku gagal paham. Mindset-ku dulu adalah jika mahasiswa sudah lelah setelah ujian atau berorganisasi maka mereka main game. Mereka refreshing. Buang-buang waktu. Tidak ikut lomba. Tidur. Segala macam hal yang biasa digunakan untuk melepas penat. Aku sadar betul bahwa bisa jadi itu penyebab utama mengapa mahasiswa ITB mayoritas lulus tidak benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Aku penasaran, apakah Mas Dalu memiliki resep menghilangkan kepenatan yang tidak umum? Atau apa?

H : "Mas, saya penasaran banget, Mas. Gimana caranya waktu Mas Dalu itu bisa seoptimal ini, produktif, dan kayaknya seperti tidak ada yang terbuang sia-sia jika dilihat dari CV mas yang boleh dibilang imba(imbalanced = terlalu bagus, red.) ini?"

Mas yang dimaksud
D : "Gini Dek, sebenarnya, Mas itu berasal dari keluarga yang kurang mampu. Mas dibiayai oleh beasiswa. Beberapa beasiswa menuntut saya untuk bisa memberikan sesuatu yang lebih. Kalau akademik bagus sebenarnya saya juga sudah lupa Dek, belajar ya buat ujian aja (haha). Kalau bermain itu kadang saya juga lakuin, futsal bareng temen, atau yang lain. Tapi nggak sering-sering, tetap pada kondisi saya tidak terkendalikan oleh permainan itu. .. "

Begitu jawaban beliau. Masih ada terusannya, tetapi yang sangat membekas dan menampar di dalam hati adalah awal jawaban beliau ini. Mengapa?


       Saat itu saya langsung sadar. Tanpa perlu ada petir menyambar, pernyataan beliau membuat saya teringat akan keadaan saya yang serba berkecukupan. Saya langsung ingat akan rumus-rumus kesuksesan terkait keluar dari zona nyaman. Jujur, sejak percakapan singkat itu saya semakin mantap untuk berhijrah dan membuat list kebiasaan-kebiasaan buruk yang akan saya tinggalkan.

       Banyak hal saya coba tinggalkan: lagu, manga, anime, film yang kurang bermanfaat, game, hingga kadang terpikir apa mesti meninggalkan uang kiriman dari orang tua? Begitu banyak hal-hal yang awalnya menghiasi kehidupan saya, apalagi dengan kondisi sekitar yang seperti yang saya ceritakan tadi tentang mindset mahasiswa ITB. Saya benar-benar mengerti bahwa orang-orang sukses biasanya adalah yang memiliki motivasi besar, salah satu yang paling besar adalah berada dalam keterbatasan. Sejak jauh-jauh hari saya sudah terbiasa melihat bagaimana bapak-bapak penjual koran bisa meninggalkan rasa pride nya sebagai laki-laki yang inginnya terhormat dengan berjualan koran. Melihat bagaimana pemulung, pengemis, semuanya. Saya melihat mereka melakukan itu karena mereka butuh untuk melakukan itu. Keterbatasan ekonomi membuat mereka harus melakukan hal-hal yang tidak bisa dimiliki oleh orang kecukupan pada umumnya. Itu membuat mereka terus dan terus bergerak. Karena berhenti bergerak sebentar saja boleh jadi berarti ajal mendekat.

       Pertemuan dengan Mas Dalu telah mengajarkan saya untuk berhenti percaya pada kecukupan. Kini, kadang saya dibilang terlalu serius, atau, kurang main. Kadang saya masih bermain ataupun membaca manga, tapi kini dengan niat yang lebih sadar. Sehingga jauh lebih mudah untuk dikendalikan daripada dulu ketika bermain hanyalah sekadar penghabis waktu, pelampiasan penat. Kini memang jika sudah benar-benar butuh saja saya bermain.

       Sungguh, saya bersyukur bisa bertemu dengan beliau. Saya berharap bahwa suatu saat langkah yang beliau tempuh juga akan menjadi langkah yang membantu saya untuk mampu membuat perubahan yang juga mampu memberikan manfaat yang besar kepada dunia. Aamiin.

link : 
https://pr3s1d3n.wordpress.com/about/ -> CV Dalu Nuzlul Kirom
http://melukisharapan.org/ -> situs resmi gmh
http://www2.jawapos.com/baca/artikel/19882/Serius-Memulihkan-Ekonomi-Warga-Sekitar-Eks-Dolly -> liputan gmh
https://issuu.com -> search profil gmh
Share:

0 komentar:

Post a Comment