Peluit kereta telah ditiup. Suaranya saling bersahut-sahutan, awalnya terdengar begitu dekat, lama-lama menjadi begitu jauh. Hingga akhirnya dibalas oleh suara "dooong" besar tanda keberangkatan kereta. Aku berada di gerbong terdepan kereta perjalanan menuju kampung halamanku, Surabaya. Tadi, kami baru saja berhenti di stasiun Solo Balapan. Untuk kesekian kalinya penumpang naik ke atas kereta, masih saja tidak ada penumpang yang bersedia untuk duduk bersamaku. Dari awal keberangkatanku di Bandung yang diwarnai dengan sedikit kegelisahan dan kepanikan akan keterlambatan, hingga sekarang, aku masih saja merasakan sedikit kekosongan itu. Sebuah rasa bahwa aku seolah begitu egois karena orang lain semua duduk berdua, sedangkan aku dengan enaknya menempati dua kursi sekaligus. Apakah itu, atau ini adalah rasa yang lain? Aku menebak-nebak.
Kekosongan di kursi sebelah ini cukup mengintimidasiku. Aku sedari kemarin mencoba untuk tidur hanya di satu bagian dari kursi, berharap akan ada orang lain yang mengisi kursi ini, bersamaku. Entah kenapa, aku berharap ia adalah seorang perempuan. Memang, sudah lama semenjak aku terakhir kebetulan harus duduk bersebelahan dengan perempuan. Dulu ketika keberangkatan pertamaku merantau dan meninggalkan Surabaya, menuju Jakarta, aku duduk bersama dengan seorang perempuan dengan sepatu yang membungkus menutupi hingga 10 cm di atas mata kaki dan berumbai-rumbai. Dan semenjak itu, aku tak pernah lagi duduk bersebelahan dengan seorang perempuan.
Mungkin, aku berharap seperti itu karena aku ingin ada sesuatu yang bisa kuobservasi, sesuatu yang hidup dan bergerak, dan tentunya, duduk di sebelahku. Aku tak tahu apakah kekosongan ini sedikit merepresentasikan kekosongan figur di dalam diriku, atau, aku tak tahu. Mungkin, aku berharap ada seseorang yang cukup baik untuk mau duduk di sampingku, dan kami bisa bercerita, saling bertanya kabar, saling menguatkan, dan saling berbagi perhatian. Di saat dunia di sekitar kami berjalan begitu cepat, di saat rumah-perumahan hanya tinggal tampak seperti titik-titik cahaya yang berlarian, di saat kecepatan dan keakuratan dalam melakukan suatu kegiatan menerima pemujaan dan penghargaan. Seolah tidak memberikan ruang bagi suatu sifat dasar manusia, berbuat kesalahan.
Hanya itu yang bisa kutawarkan.
Sekian.
-----------------------------------------------------
Sebuah bacaan untuk aku di kemudian hari. Bukan sekarang.
Daan duduk di sebelah itu maksudnya bukan mau khalwaat yaa.. Kan dosa tuh berduaan sama perempuan yang bukan muhrim. Tapi gimana ya, ya mungkin ini harap terpendam ku bagi sang pendampingku nantinya.
0 komentar:
Post a Comment