Kesepian – Awal dari Sebuah Romantika
Ketika
kita sedang merasakan kesepian yang mendalam, apa yang mampu menenangkan kita –
apa yang mungkin mampu menghilangkan perasaan tersebut? Sebenarnya, apa?
Seringkali, rasanya seolah-olah tidak ada satu pun pelipur lara karena
kesepian, yang ada adalah seolah-olah kita sedang berlari dari bayangan kita
sendiri. Dari satu sisi, perumpamaan ini memang benar adanya. Tidak ada yang
bisa lari dari masa-masa kesendirian. Kita selalu sendiri. Tetapi, ada cara
untuk bisa keluar dari rasa kesepian.
Semua
usaha kita untuk lari dari rasa kesepian sebenarnya secara mendasar bercacat/tidak
tepat karena kita tidak mengerti sifat alamiah dari rasa kesepian itu sendiri.
Ada sesuatu yang indah dalam kesepian Anda. Dan ketika Anda melihatnya, ketika
Anda memahaminya, lalu belajar untuk bersenang-senang dan bersuka ria di
dalamnya, itulah saat dimana ada sesuatu yang berubah di dalam diri Anda. Ketika rasa
kesepian Anda menjadi rasa kesendirian – itulah kebebasan! Itulah saat dimana Anda
benar-benar bisa mulai untuk mencintai.
Fragmentasi dan pencarian untuk keutuhan(diri)
-----------------------------------------------------------------------
*Fragmentasi
: rasa seolah diri terpecah menjadi kepingan-kepingan yang lebih kecil.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Osho – hal penting pertama adalah untuk mengakui kesendirian. Kesendirian adalah sesuatu yang alami pada diri kita; kita tidak akan pernah bisa untuk tidak sendiri. Kita lahir di dunia ini sendiri, dan kita meninggalkannya sendiri. Dan diantaranya pun, kita juga sendiri – tetapi kita dengan penuh kebingungan bersembunyi dari nya, lari dari nya, berpura-pura seolah-olah itu tidak benar.
Saya
ingat pernah menganalisa sebuah lampiran test dalam sebuah kelas psikologi. Tes
ini ditujukan untuk mengetahui seberapa merasa aman kah kita akan
hubungan-hubungan kita. Salah satu pertanyaannya adalah, “Apakah kamu pernah
merasa seolah-olah ingin untuk menjadi satu dengan orang lain secara
keseluruhan?”
Ruang
kelas pun langsung penuh dengan gelak tawa yang canggung dan ragu-ragu karena
pertanyaan itu. “Betapa tak masuk akalnya!” komentar mereka. Tetapi aku diam
saja. Sebuah kenangan masa lalu menghantamku, dan aku ingat aku merasakan
kesepian begitu mendalam seperti itu, satu kali, dulu sekali. Atau mungkin rasa
itu tidak pernah benar-benar meninggalkanku – rasa pengasingan yang sangat
mendalam yang membuat satu-satunya jalan keluar darinya adalah dengan meleleh
dan menjadi satu dengan orang lain.
Merasa
begitu terpisah dari yang lain di tengah-tengah kerumunan orang yang makan
siang, merasa sendiri ketika sedang duduk berdekatan dengan pacar; selalu melihat
kehidupan hanya dari luarnya saja, seolah-olah kita tidak memiliki kendali akan
hidup kita. Aku ingat saat itu aku melirik ke sekeliling pada murid-murid ku.
Tampang pada wajah mereka – tampaknya banyak yang merasakan hal yang sama.
Rasa
pengasingan ini adalah sebuah dilema universal dari eksistensi seorang manusia –
tidak pernah merasa tentram, tidak pernah merasa sedang berada di ‘rumah’. Ini
mendorong hampir semua yang kita lakukan. Rasa kesepian dan keterpisahan adalah
sebuah bagian dari sifat intrinsik dan permanen dari ego kita.
Pada
ajaran-ajaran non-duality, inti dari banyak agama dan filosofi, pesan
yang disampaikan sederhana – kita adalah bagian dari sesuatu yang tak
terhingga, selalu ada, kehidupan abadi Yang Esa. Kita semua terikat dan tidak
bisa dipisahkan satu dengan yang lain.
*non-duality : bahwa semua yang ada dalam hidup ini berasal dari satu sumber, satu kekuatan. Bahwa semua nya hanya berbeda secara wujud, tetapi pada dasarnya semua adalah satu hal yang sama. Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun.(sebenarnya ajaran Buddha sih)
Ego, kalau begitu, adalah ilusi universal, rasa ke-“aku” an yang berlebihan, dan akar dari semua kesendirian kita. Karena ketika kita merasa bahwa kita adalah sebuah “aku”, saat itu lah kita menciptakan “bukan-aku”, yang lain, apapun itu. Kita menjadi terpecah, terpisah dari eksistensi yang lain. Kita menjadi sebuah titik di dunia ini, yang dilupakan oleh Tuhan.
Rasa
keterpisahan ini, bagi beberapa orang – mungkin orang-orang yang tidak bisa
tertawa saat tes di ruang kelas psikologi – terasa nyata. Rasa ini muncul
sebagai sebuah perasaan yang mendalam dan konstan akan suatu ketidakutuhan,
ketidakcukupan.
Bagi
yang lain, mereka yang tertawa saat tes, perasaan ini tidak secara sadar
terasa. Mereka kekurangan sesuatu, tetapi mereka tidak tahu apa itu. Dan
akhirnya mereka mencari, dan mengejar, dan berjuang, tetapi pada saat yang
bersamaan mereka tidak tahu dengan apa rasa kekurangan itu mereka coba isi. Lebih
banyak kepemilikan, lebih banyak hubungan dan seks, lebih banyak kedudukan, lebih
banyak kekuasaan, lebih banyak pamor, lebih banyak, lebih banyak dan lebih
banyak. Hampir semua dari usaha mereka berakar dari dorongan untuk keutuhan
diri. Tetapi itu semua sia-sia – kita membuang energi kita kedalam sebuah
jurang tak berdasar. Kenyataan bahwa kita mencoba mengisi kekurangan itu
sendirilah yang menyebabkan kita merasa kurang.
.. (to be continued)
------------------
Post ini adalah terjemahan dari post yang sebelumnya,
http://lokiarawarisan.blogspot.co.id/2014/08/loneliness-beginning-of-romance.html
dengan harapan agar semua pembaca bisa lebih memahami maksud dari post tersebut. Sumber aslinya didapat dari urbanmonk.net, yang sayangnya sudah ditutup karena kontrak website tersebut tidak diperpanjang oleh Albert, sang pemilik website.
0 komentar:
Post a Comment