Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Tuesday 30 January 2018

Living in an Overly Romanticized Culture

Haloo semua, ketemu lagi.

Rasanya udh lumayan lama aku ga nulis dengan tujuan sharing what I was feeling. Sekarang mau nge-share lagi tentang pandanganku terkait apa yang kurasain dari hasil kontemplasi-pendek-proses-penghubung-hubungan.

Aku mau share pandanganku terkait satu budaya yang sangat kurasakan di Bandung ini. Tapi, sebelumnya aku juga ingin minta maaf kalau apa yang kutuliskan ada ketidaksesuaian dengan apa yang terkadang kulakukan. Kadang aku juga suka melakukan hal-hal yang kusebutkan di bawah ini, sebagian karena penasaran bagaimana respon orang jika dibegitukan, sebagian karena terbawa oleh kebiasaan yang terbentuk di budaya ini.

Nah, dari tadi bicarain budaya, maksudnya apa sih?

Kali ini aku pengen bicarain tentang budaya suka roman, suka kisah romantis, yang sedang terbentuk dengan sangat komprehensif di sekitarku. Dari hal kecil sampai besar. Terus di akhir aku akan coba hubungin dengan apa yang sedang kucoba untuk lakukan dalam hidup di usia menjelang dewasa ini, kerja keras.

Kalau berbicara tentang awal muda gimana aku diperkenalkan oleh budaya tentang indahnya romantika cinta, kukira itu bermula dari perkenalan dengan lagu-lagu Indonesia bergenre cinta. Lagu-lagu masaku dulu adalah Vierra, Ada Band, Sheila on 7, Peterpan, Ari Lasso, Ungu, Yovie & Nuno, Jikustik, dan banyak yang lain. Beberapa lagu memang mempengaruhi secara langsung ekspektasiku tentang romansa dan terkadang sampai membuatku membayangkan akan keberadaan seseorang di sisi. Budaya lain yang terkadang mempengaruhi mulai dari adanya sistem couple di dalam game online, sampai kejadian-kejadian Cinlok di kelas, atau di suatu tempat dimana aku berada.

Aku ga ngerti sekarang gimana. Tapi, sepengetahuanku, lagu cinta jaman sekarang sudah cukup berbeda dari jaman dulu. Dulu, lagunya biasanya mengajarkan sesuatu yang indah dari kisah cinta, lebih ke esensi cinta itu sendiri. Kalau sekarang, ada yang benar-benar to the point menganggap cinta adalah kisah di ranjang. Seperti dulu, waktu pas lagi rame lagu Cinta Satu Malam. Waktu makin bergeser, makin bermunculan lagu-lagu yang udah gak sekadar berbahaya secara perasaan aja, tapi bahkan juga sangat bisa meningkatkan hasrat seksual. 

Makin ke kuliah, seiring makin bertambahnya hormon pubertas, rasanya dorongan untuk terbiasa dengan dunia roman itu semakin kuat. Dorongan-dorongan dari lagu, lingkungan yang sangat me-normal-kan, pertanyaan dari teman saat meng-kompor-i dan mencocok-cocokkan dan mendukung gak jelas, kajian dari pada Ustadz yang beberapa kadang kalau bikin baper bisa kelewatan, kadang ada perempuan yang gampang kasih sinyal meski cuman mendadak sekadar ngeliatin, dibarengi dengan kenyataan bahwa memang perempuan banyak yang menyukai roman, apa lagi ya. Banyak banget faktor eksternal yang membuat seolah romantika cinta itu sesuatu yang sudah seharusnya segera kukejar.

Take for example, having a wife, a girlfriend, a caring friend, or any form of special relationships.

Tapi, aku tadi kepikiran sesuatu. Tentang orang-orang yang berhenti berjuang.

Sebuah siklus perioda peradaban biasanya akan diawali dengan fasa kerja keras. Seperti fasa perjuangan kemerdekaan, di Indonesia, atau yang sangat keras, di Palestina. Atau kita tarik jauh ke belakang contoh pada fasa primitif dimana manusia harus berburu hewan. Pada fasa ini, orang berpikir bisa jadi hari itu adalah hari terakhir ia hidup jika ia tidak mencari makan. Fasa selanjutnya, adalah fasa kemenangan saat kemerdekaan telah diraih. Lalu akan mulai fasa forming dan storming, pembentukan masyarakat saat sedang hidup bersama. Berlanjut ke fasa norming, muncul apa batas yang wajar dan maklum untuk dilakukan. Nah, setelah ini fasa yang menentukan. Fase produktif, performing. Atau, jika tidak diatasi dengan baik maka justru akan menjadi fase destruktif.

Menjelang fase produktif, biasanya orang-orang sudah berada pada kondisi berkecukupan, atau bahasa lainnya, sudah stabil. Contohnya saat masa reformasi, orangtua banyak yang ingin bekerja menjadi PNS karena gaji tetap dan stabil hingga akhir masa kerja. Kestabilan ekonomi ini membuat fokus dari orang-orang pada fase ini sudah mulai bergeser. Generasi penerus dari generasi pencapai kestabilan ini akan dihadapkan pada tiga pilihan,

1) Menghabiskan semua sumber daya yang telah didapatkan pada masa stabil. Mengambil budaya konsumtif. 
2) Menikmati kestabilan dan tetap bekerja pada tingkat kestabilan yang ada. Tentu lebih mudah untuk stabil di titik itu karena sudah ada jejak dan contoh dari orangtua dan pendahulu.
3) Mencoba meningkatkan titik kestabilan yang sudah ada ke titik kestabilan yang baru -- which means - kerja keras lagi.

Mari kita coba studi kasus di Am*rika. Dari sudut pandangku, aku melihat bahwa mereka sudah pada tahap produktif. Pada masa Bapak Bama kemarin sebenarnya sudah sempat muncul konflik-konflik internal yang terjadi karena mereka hanya adem ayem dan ingin mempertahankan hak maupun kekayaan pribadi. Menurutku konflik ini terjadi karena ada orang yang memilih opsi nomor 2, tetapi kemudian berkonflik satu sama lain.

Beberapa keputusan Pak Donal yang kontroversial, kalau dipikir alasannya bagus juga. Dengan memfokuskan perhatian masyarakat pada beberapa isu, seperti isu rasis, terorisme, dsb, beliau telah secara langsung mengarahkan kestabilan yang sudah mereka capai pada satu titik dan menjadikan masyarakat ingin mencapai titik kestabilan yang baru. Kestabilan yang bersih dari isu-isu tersebut. Beliau mengangkat beberapa common enemy yang membuat banyak orang tergerak untuk tidak tinggal diam pada titik kestabilannya saja, tapi bisa berbuat lebih dari itu.

Mari kita ambil kasus Indonesia, langsung saja, anak muda Indonesia. Kurasa, kita memang generasi yang sangat merasakan nyamannya berada pada titik kestabilan. Orangtua punya gaji tetap, keinginan biasanya terpenuhi tidak terlalu lama, akses kemana-mana dipermudah dengan adanya gadget dan kuota yang semakin murah. Hal ini membuat banyak anak mudanya terlena dan jatuh pada pilihan antara ke-1 atau ke-2. Buktinya apa, tak jarang sekarang muncul kasus dimana anak muda tidak mau bekerja keras, manja, sedangkan orangtuanya bekerja dengan sangat keras. Generasi yang semakin terasa semakin egois, hanya berusaha mempertahankan hak dan kesenangan yang sudah ia miliki sekarang.

Setuju?

Kalau setuju, mari balik lagi ke budaya suka roman di Indonesia.

Kurasa, budaya suka roman adalah salah satu budaya yang banyak melenakan anak-anak muda yang memilih pilihan ke-2. Kita masih berusaha untuk menjadi mandiri, berpenghasilan, tetapi kita juga masih selalu menyediakan waktu untuk mengikuti kisah roman yang disuka, pacaran, dll. Aku sendiri sangat jarang menemukan anak generasi sekarang yang mengambil pilihan ke-3. Kalaupun ada, biasanya orang-orang ini punya latar belakang yang berbeda dengan yang lain. Sebagai contoh, mereka mungkin memang tidak berasal dari keluarga yang stabil. Sejak lahir, mereka belum menemukan kestabilan dan terus berusaha berjuang mendapatkan kemerdekaan agar bisa mencapai kestabilan. Jadi mereka mengambil pilihan ke-3 bukan karena ingin, tapi karena tidak ada pilihan lain.

Take for example, Bang Ricky Elson. Beliau SMA saja sempat hampir dibenci sama banyak orang. Tapi karena suatu hal, akhirnya beliau bisa berangkat ke Jepang untuk lanjut studi kuliah. Pulang, ia membuat paten demi paten. Karyanya ditolak bangsa sendiri, ia memutuskan untuk membuat pesantren anak teknik. He's the kind of guy who just don't stop working. Beliau yang awalnya mungkin bergerak untuk mengangkat derajat diri yang sangat tidak disukai orang lain, ternyata malah bergeser semangatnya menjadi ingin mengangkat derajat bangsa dan negara.

Beda sama orang-orang yang dari awal memang sudah stabil. Hidupnya tidak banyak tuntutan. Banyak dari kita yang berada pada posisi ini dan pada akhirnya tidak bergerak lebih untuk bekerja keras. Banyak dari generasi sekarang adalah orang-orang yang terjebak pada menikmati kestabilan dan memilih untuk tidak keluar dari zona nyaman seperti misal mengambil pilihan ke-3.

Beda kasus lagi dengan Elon Musk. Aku belum baca biografinya sih. Tapi yang jelas dia adalah orang yang memilih pilihan ke-3. Ia tidak puas kalau manusia hanya tinggal di bumi. Dia pengen manusia bisa hidup di interplanetary system. Makanya dia kerja keras jauh lebih keras dari orang lain untuk membuat roket, membuat driverless car, autonomous truck, Neuralink, etc.

Kalau aku bisa jadi seperti Elon Musk, aku pengen. Aku pengen bisa mendedikasikan hidupku untuk mengangkat titik kestabilan yang sudah ada sekarang ini ke titik kestabilan yang baru. Bukan apa-apa, tapi aku takut kalau aku terlalu menikmati aku tidak akan sadar bahwa aku mendadak sudah terlalu konsumtif dan hampir tidak sebanding dengan apa yang kuproduksi. Seperti dalam sehari aku setiap hari bermain game selama dua jam, yang semisal dikonversi untuk membuat sesuatu bisa jadi sudah bisa membuat sesuatu yang berbeda.

Kamu tahu? Ada salah satu cara membunuh kodok yang cukup tidak masuk akal. Masukkan kodok ke kompor, lalu panaskan suhunya secara perlahan. Kodok itu tidak akan sadar sedang dimasak karena beda suhu tubuhnya dan sekitarnya tidak berbeda terlalu jauh. Suhu badannya akan turut naik secara perlahan. Baru pada satu titik saat panas itu sudah merusak, mulailah terasa organ kodok mulai tidak bekerja dan dia mulai sadar akan bahayanya. Ini berbeda kalau kodok dimasukkan ke kompor yang dari awal sudah panas. Karena suhu tubuh dia dan kompor berbeda jauh, dia akan langsung melompat.

Maksudnya apa? Maksudnya adalah jangan sampai karena kita bekerja biasa-biasa saja, masih banyak menikmati kesantaian yang kita rasakan. You only live once, love and enjoy it. Kita tidak sadar bahwa ada sesuatu yang menggerogoti kita dari luar. Kenapa tidak sadar? Karena kita tidak peka. Karena sesuatu itu datang dari apa yang kita nikmati, kalau di kasus kodok, ia memiliki suhu yang tidak berbeda jauh dengan kita. Hati-hati. Serius, hati-hati.

Kalau boleh saran, buat aku sendiri, dan buat pembaca, sebelum kita menemukan indahnya kecintaan pada kerja keras, jangan coba-coba jatuh cinta pada menikmati kestabilan yang kita alami. Bisa jadi, sekali gak bisa kerja keras, selamanya gak akan bisa kerja keras. Sekali terlalu menikmati, jadi gak bisa hidup tanpa kenikmatan.

Seolah hidup tanpa kisah roman itu gak mungkin. Seakan hidup kerja keras doang itu gak mungkin. Itu bisa, cuman kita aja yang mungkin belum menemukan common enemy. Kita aja yang hidupnya stabil dan gak banyak tuntutan. Tapi saat tuntutan-tuntutan itu, analogi kodok saat suhu di sekitar kodok, itu sudah terlalu tinggi, baru kita sadar bahwa kita harus kerja keras. Jangan sampai yah.

 "Tidak ada yang bisa mengubah dirimu sebelum kamu sendiri berusaha untuk mengubahnya."


80 jam/minggu berarti 11 jam/hari. Berangkat pagi jam 7, pulang jam 8 malem.
Hmm, oke. Gila.

Ketawa sarkas. Jadi harus segitunya banget yaaa -__-

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
tl;dr (too long, didn't read - kepanjangan jadi ga baca postingan) : Jangan terlalu menikmati kenyamanan yang kamu miliki kalau kamu belum bisa menikmati kenyamanan dalam bekerja keras. Karena pasti akan ada titik dimana kamu harus kerja keras untuk sekadar bisa hidup. Di saat itu, kalau kamu belum terbiasa kerja keras tanpa kenikmatan, bisa jadi kamu gak bisa bertahan hidup.

PS : Kalau sempat bakal kuedit ulang supaya lebih jelas

source : Model Tuckman ( http://psycnet.apa.org/record/1965-12187-001)
Share:

0 komentar:

Post a Comment