Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Friday, 28 October 2016

Orang-orang yang Berlari

Ini cerita tentang seseorang,
Yang berlari karena dikejar oleh sesuatu.
Seperti disini.
Dikejar-kejar oleh sebuah mimpi buruk.
Kenangan yang tak ingin diharapkan dari masa lalu.
Cerita tentang hidup seolah hanya karena ingin lari dari masa lalu.
Setidaknya berlari terlebih dahulu saja, sudah cukup.

Bisa jadi trauma.
Ada seorang temanku yang mengalaminya.
Bisa kamu bayangkan seberapa besar dampak dari masa lalunya pada dirinya?
Dia berlari.
Tak ingin kuliah di kampung halaman atau sekitarnya.
Karena dia ingin berlari dari kenyataan pahit yang terhimpun bersama dengan keberadaan sang kampung.
Sudah tak mampu lagi menghadapi kenyataan bahwa masa lalunya terus menghantuinya di sana.
Sehingga ia ingin memulai hidup baru.
Apapun.
Selain di kampung halaman.

Aku juga.
Aku juga berlari.
Dari kenyataan pahit bahwa aku belum cukup dewasa untuk bisa mengendalikan diri sendiri.
Frasa lainnya mungkin hijrah.
Tapi jujur aku kadang suka merasa kering.
Boleh jadi karena memang niatku bukanlah sebuah niat suci untuk lillahi ta'ala saja.
Tapi lebih karena fear.
Ketakutan akan masa lalu tersebut.
Sehingga aku meninggalkan apa-apa yang berbau-bau masa lalu.

Memang meninggalkan apa-apa yang buruk di masa lalu itu baik.
Tapi, poinku adalah,
It's a li'l(little) bit sad of a truth that we have a goal in life, not about dreams forward, but nightmares backward.
Hingga kini, aku masih merasa.
Bahwa dalam menjalani hidup, ada 2 bagian :
1) Mengejar impian
2) Dikejar kenyataan
Sayangnya, ini gak semudah deal-deal an aja lagi aku mau ngapain sekarang.
Masa depan, atau masa lalu?
Seringkali, aku nggak bisa memilih.
Terpaksa.
Aku harus mengejar impian.
Bukan karena impian itu sendiri.
Bukan karena mimpi itu begitu menarik dan melenakan.
Tapi, lebih karena takut bahwa jika aku memilih opsi ke-2, apakah aku sanggup?
Berhadapan dengan kenyataan itu?
Fear.

How can I overcome it?
Kalau gini, ujung-ujungnya aku hanya lari dari opsi ke-2, dari kenyataan.
Aku ingin hidupku bisa lebih bermakna dengan mendedikasikan diri pada masa depan.
Bukan pada masa lalu.
Aku nggak rela hidup sekadar untuk lari dari sebuah kenyataan pahit.
Nggak rela.

Ya Allah tolong mudahkan jalanku. Aamiin.
Mohon do'anya, hehe.
Share:

Monday, 17 October 2016

Pernahkah Kalian Sedih?

Pernahkah kalian merasa sedih saat melihat seorang ibu-ibu dengan pakaian kumal dan lusuh duduk dan makan di atas tumpukan sampah. Makanan yang mungkin merupakan hasil temuannya di tempat sampah tersebut?
Pernahkah kalian merasa sedih, melihat seorang kakek tua, masih harus menarik gerobak sampah, memunguti sampah di tiap tempat sampah?
Pernahkah kalian merasa sedih, melihat seorang loper koran, seorang bapak-bapak pada umur paruh bayanya?
Pernahkah kalian merasa sedih melihat seorang anak kecil menjual tissu, dan ketika Anda coba bertanya harganya dan Anda tidak jadi membelinya, ia tampak memancarkan aura ketidaksenangan yang sangat? Seolah-olah kita telah memberikan harapan palsu?
Pernahkah kalian merasa sedih melihat orang-orang miskin berebut pembagian porsi beras dan makan?

Sedangkan kita?

Makan masih minimal 2x sehari. Bahkan, masih bisa jajan. Sepulang dari kuliah, tidak perlu setiap hari pulang dengan badan terasa remuk, kaki terasa tak mampu berdiri lagi, tak ada anak istri yang menunggu di rumah untuk kita beri nafkah.

Mungkin aku jadi tampak seperti seorang yang menuntut keadilan. Orang yang tak bisa melihat ketidaksamarataan ini terjadi dan membiarkannya begitu saja.

Tapi memang yang membuatku sedih sebenarnya tak lain adalah tak banyak hal yang bisa kulakukan :(. Even if I said that I want to help them, but how? How can I possibly be of any help to them? Jujur, akhir-akhir ini aku agak jarang ngeluarin duit selain untuk kebutuhanku sendiri. Aku lupa. Aku lupa bahwa di bawah kolong jembatan sana ada orang yang tertidur sambil kedinginan, pertanyaan untuknya sudah bukan tentang takut masuk angin atau ngga, pertanyaannya: besok makan apa? Masih harus berjuang untuk bertahan hidup nggak?

Aku ingat dulu aku sering iri pada mereka-mereka yang sudah bekerja dengan keras. Mereka yang kusebutkan di awal tulisan. Merekalah orang-orang yang memiliki tujuan, yakni survival bagi diri sendiri, dan bahkan, keluarga. Sedangkan aku, pada posisi dimana semua serba ada. Apa yang harus kuperjuangkan? Their survival? Atau malah ego dan rasa cinta ku terhadap diri sendiri?

Apa ??

Tuhan, tolong ingatkan aku untuk mau bekerja keras dan tidak sekadar menghabis-habiskan waktu untuk hal-hal yang sia-sia yang selama aku menjalani kehidupanku ini. Aamiin. Tolong ingatkan aku untuk memiliki mimpi yang besar dan tidak menghentikan langkah hanya karena permasalahan receh dan tak penting yang tidak akan membantuku dalam menjawab pertanyaan di alam sana, saat aku diberi pertanyaan :

Apa yang sudah kamu perbuat di dunia?

Ya Allah.
Share:

Tuesday, 11 October 2016

Maintaining Your Calmness

At the first time when I want to write that Line status, what comes to my mind actually wasn't calmness, but calamity. Which is, of course, worlds apart. I don't know how, but I'll try to give some explanation which might be the reason.

Between calmness and calamity. That's where I'm right now. I studied Electronic Materials this semester, and I'd like to try to apply that knowledge to understand what's happening with me right now. Imagine a semiconductor's energy band, or at least, take a look at the picture below. At the lowest part there's Valence Band where electron rotates smoothly and steadily around the nucleus of an atom. You can also see the Conduction Band, where the free/unbounded electron is. It can run away anywhere it wants, it was the physical form of the current going through a wire, it can bring energy and power. What happens is, when you give the semiconductor enough potential difference(V), some of the steady electron in the valence band will jump through the vacuum energy level(Egap). Thus, transforming into a free electron.
Pita energi dari suatu semikonduktor
Let's make it an analogy. Valence band is where calmness is, and conduction band is where calamity (disaster) is. I was trying to stay calm. But, right now I felt like a little bit more push to myself, and I'll go explode. I'll roam free, do whatever I want without even thinking of the consequences, or else, I'll do something great, really great that I will be really proud of. Well, just like currents. You may get electric shock when you touch it, but if you use it on a bulb lamp, it'll shine. Right now, I'm still trying to be sane while being given a difference of condition(let's take it as V). I might jump right after this, to become a free electron.

Yah, whatever.

But just to tell you, I often faced times like this. And I often get confused by it. I felt like my mind's going to explode, but, often there's just nowhere to soothe it down.

Image source : http://www.studynotestoday.com/2015/07/introduction-to-semiconductors.html
Share: