Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Wednesday, 21 January 2015

Pengabdian Masyarakat

Bismillahirrohmanirrahiim ..    

     Dua kata di atas adalah dua buah kata yang menurut saya sakral, dilihat dari segi mana pun. Karena mulai dari awal masuk ke dunia perkuliahan, pengerjaan thesis, hingga pemilihan penelitian penentu kelulusan pendidikan tingkat doktorat pun memerlukan pertimbangan pada aspek yang satu ini.

     Awal-awal saya masuk ITB ini, saya juga diperkenalkan dengan kosakata yang pada masa SMA cukup jarang diucapkan atau pun diperbincangkan ini. Kami diminta oleh kating(singkatan dari kakak tingkat, merujuk pada kakak sejurusan/sefakultas yang lebih tinggi dari kami baik 1, 2, 3 tingkat, atau bahkan lebih) untuk mengadakan sebuah kegiatan pengabdian masyarakat. Kami dari STEI pun memilih untuk mengadakan sebuah acara 'have fun' bersama anak yatim piatu di panti asuhan.

     Akan tetapi, ada hal lain yang hendak saya perbincangkan saat ini, yaitu mengenai pengabdian masyarakat dan hubungannya dengan ITB sebagai kampus yang sudah santer di kalangan masyarakat. Saya akan mengambil sebuah contoh dari salah seorang Guru Besar Matematika, yakni pak Iwan P. Beliau menuturkan bahwasanya ada sebuah budaya yang mulai memudar di ITB. Budaya yang beliau maksud adalah budaya arak-arakan wisudawan dan wisudawati. Perbedaan yang muncul pada budaya ini sangatlah nyata. Dulu, arak-arakan dilakukan dari ITB, lewat tamansari, bahkan sampai ke UNPAD Dipati Ukur. Oleh siapa? Ya, itulah yang berbeda. Dahulu, yang melakukan sama sekali bukan dari kalangan ITB, arak-arakan dilakukan oleh masyarakat sekitar karena kebanggaan dan harapan mereka akan lulusan-lulusan kampus tersebut. Namun, sekarang, arak-arakan dilakukan oleh para junior, termasuk para maba-maba tahun pertamanya yang notabene belum benar-benar mengenal siapa, dan bagaimana, sih, senior-senior mereka yang baru lulus itu.

     Dari sana bisa dilihat bahwa dulu keterikatan antara mahasiswa ITB dengan masyarakat bisa dibilang rekat. Masyarakat bisa terbantu dengan apa yang telah diberikan oleh para mahasiswa kampus itu. Namun sekarang, kenapa hal ini bisa berubah? Apa karena mahasiswa nya sudah sibuk dengan urusan 'Line GetRich'? Atau karena memburu 'free sticker' yang terkadang disediakan oleh Line? Atau mungkin karena FIFA terbaru sudah keluar?

     Belajar? Semenjak dahulu mahasiswa ITB memang sudah terkenal rajin belajar. Tapi lihatlah perbedaannya. Ada yang bilang bahwa mahasiswa ITB sekarang lebih jarang memberikan waktunya untuk masyarakat. Itu. Itu yang ingin saya tekankan disini. Bagi saya sendiri yang juga merupakan junior, hal ini sepantasnya menjadi cambuk bagi saya untuk mengingat bahwa saya bisa disini, hanya membayar spp persemester sekian, bukan lah karena diri saya sendiri. Orang tua telah mendanai saya, dengan ditambahi hampir separuh spp nya lagi dibayarkan dari uang negara. Dari mana asalnya uang negara? Tentunya dari pajak dan pembayaran masyarakat kepada pemerintah. Saya merasa perlu selalu diingatkan bahwa saya bisa kuliah dengan fasilitas selengkap ini adalah karena masyarakat juga.

     Saya harap saya benar-benar bisa memaknai apa arti dari dua buah kata, 'Pengabdian Masyarakat'. Untuk saat ini saya hanya beranggapan bahwa kata-kata itu berarti lebih meluangkan waktu untuk duduk bersama dengan masyarakat, mendengar keluh-kesah mereka. Memberi sedikit contoh membuang sampah pada tempatnya.

     Terakhir, saya akan mengutip apa yang telah Pak Iwan Pranoto ucapkan pada jurnalis majalah 'Ganesha' edisi 37 bulan September 2012:


"ITB sudah benar jika bisa membuat masyarakat sekelilingnya menangis tatkala ITB tidak ada."
Wassalamu'alaikum ~

Referensi: majalah 'Ganesha' edisi 37 bulan September 2012
Share:

0 komentar:

Post a Comment