Selamat datang di blog seorang pribadi pembelajar :) Namaku Hawari, namamu siapa?

Kehidupan dan pencarian maksud dari sesuatu yang tampak absurd

Bila kamu menemukan sesuatu yang menurutmu cukup merubah mindset atau pemikiranmu akan sesuatu di dalam dunia ini menjadi lebih baik, ga ada salahnya kamu mencoba menyebarkan sesuatu tersebut kepada orang lain. Semoga dia juga merasakan manfaatnya.

Motivasiku Menulis

Bermula dari pertanyaan seorang teman, menjadi sebuah jawaban bagiku untuk lebih memaknai dunia penulisan

read more

Merubah Kepribadian Demi Sesuatu

Karena untuk setiap perjuangan pasti ada pengorbanan. Berani dan mampukah kita mengorbankan kepribadian kita untuk sesuatu yang kita kejar? Menjadi orang lain.

read more

Redefining Beauty

Secantik apa Anda setelah membaca tulisan ini? Karena menurutku cantik itu relatif.

read more

Sunday, 29 August 2021

Berhenti Mempercayai Diri Sendiri

 Hai, lama ngga jumpa hehe.

Sedikit curcol mungkin, life's not easy here, in Japan, by myself, and some friends.

Tapi yang mau kuceritain sekarang adalah tentang pergumulan dengan diri sendiri sih. Aku kan akhir-akhir ini coba ngebangun kebiasaan lari pagi minimal 3x sepekan. Kalo ga bisa lari diganti sama gowes pake sepeda statis gitu gowes 5 km. Nah sambil lari itu biasanya aku dengerin motivasi-motivasi yang udah pernah kudownload gitu. Ada sekitar 8 video yang isinya potongan klip dari obrolan interview sama orang-orang hebat, atau orang-orang yang meneliti orang-orang hebat. Delapan video itu diulang terus entah udah berapa kali lari pagi. Aku mikirnya kayak buku sih. Sebuah buku, kalau kamu baca saat masih SMP, dengan waktu kuliah, kerasa gak sih bedanya? Beda kan? Kadang ada insight-insight baru. Nah, itu yang aku cari. Jangan-jangan di balik hal-hal yang sama ini kalau diulang, dengan sudut pandang yang berbeda kita bisa dapet hal baru yang gak pernah terpikirkan dengan level pemikiran kita yang lama. Dan akhir-akhir ini aku sampai pada satu topik baru.

Temanya sama, hanya disampaikan oleh berbagai macam orang dengan pesan yang berbeda, dengan beberapa interview paling representatif yang disampaikan oleh dua orang pengarang buku sekaligus motivator, Bu Mel Robbins dan Pak Tony Robbins (Gatau ya sodara atau bukan ini). Mereka cerita bahwa otak manusia ini didesain bertahun-tahun bukan untuk membuat kita bahagia, tapi untuk membuat kita survive. Anything yang membawa pada kesakitan dihindari, dan apapun yang membawa kepada survival itu disukai. Ini bisa terlihat dari saat kita mencoba menjadi orang yang lebih baik, dengan ingin lebih produktif, ingin bisa belajar hobi x, atau bisa juga saat kita ingin memperbaiki suatu kondisi tertentu dalam hidup kita, misalnya kita ada punya hubungan dimana kita dipergunakan oleh orang lain, dan kita pengen ngomong ke orang tersebut. Secara perasaan, tentu capek kalau mesti kerja keras, lari pagi, nge-gym. Pasti bosen kalau belajar sendirian tentang sesuatu yang belum jelas akan bermanfaat. Pasti takut ngehubungi orang yang sudah lama mempergunakan kita, misal kita pengen putus, or anything. Pasti ga akan sakit, akan lebih mudah, gampang kalau kita biarin gitu aja, dan semua berjalan begitu saja. Dan disana lah poinnya, otak kita akan memperkuat alasan yang menjadikan munculnya keraguan itu. Otak kita takut kita gak survive kalau kita harus menjalani hal-hal tersebut. Bahwa seringkali otak kita akan tunduk pada emosi sesaat yang muncul, ketakutan, takut sakit takut capek, ataupun kebosenan. Dan disana lah aku sampai pada satu kesimpulan (yang aku belum paham ini baik atau nggak, silahkan dipilah sendiri):

Hmm, jadi otak kita sebenarnya bisa jadi melakukan sesuatu yang berlawanan dengan tujuan jangka panjang kita ya. Mengarahkan kita pada hal-hal yang gampang dimana kita jelas survive, tapi memaksa kita berada tetap pada zona nyaman dan gak berkembang sama sekali.

Kalau dipikir-pikir, bener juga. Sering banget lah aku memilih zona nyaman daripada harus susah-susah. Atau malah, terlalu sering. Dan akhirnya hidup gini-gini aja, nggak jadi berkembangnya. Mau lanjut di perusahaan sekarang atau nggak, takut nanti akan susah kalau harus proses pindahan dan nyari kerjaannya gimana. Otak nyuruh aman aja. Keraguan-keraguan yang ada di dalam hati itu di dobel in jadi berkali-kali lipat sampai pada akhirnya jatuh pada keputusan, "udah lah urungin aja..". Aku baru paham, bahwa kita sebenarnya gak bisa sepenuhnya percaya sama otak kita sendiri. Seringkali kita harus memaksa menutup telinga dari suara-suara otak, dan lanjut ke jalan yang menurut hati kita harus kita tempuh. Serahkan hasilnya kepada-Nya. 

Well.. itu topik 1. Topik 2 jadi agak melenceng.

Aku yang awalnya hanya memandang itu dari sudut pandang self-improvement aja, mulai merasakan juga gimana rasanya kalau ada suatu hal yang udah kita ga pengen lakuin, tapi dengan alasan-alasan tertentu otak kita memperbesar alasan-alasan tersebut dan kita jadi ngelakuin hal itu lagi. Sesuatu yang setelah kita lakuin kita ngerasa buang-buang waktu lah, disgusted sama diri sendiri lah, or anything. Yang balik lagi, otak kita mengajak kita pada jalan yang gampang. Kamu udah punya kebiasaan ini, kenapa harus dihentiin kalau ternyata masih bisa bikin kamu nyaman? Dan di sana, urang merasa ter-split. Jadi, di dalam diriku ada dua keberadaan? Atau ya satu, yang tertarik pada suatu sistem kebiasaan yang bentukannya otomatis secara jalur di dalam otaknya (begitu udah masuk ya dilanjutin habitnya sampai ke akhir habitnya), dan yang lainnya yang pengen kebiasaan itu dihentikan, diganti dengan kebiasaan lain. Satu identitas, yang tertarik pada dua kutub magnet yang berseberangan.

Dan dari beberapa kali perulangan, aku jadi kehilangan kepercayaan diri, saking seringnya dikhianati oleh diri sendiri. Sebenarnya, aku mau ikut yang mana? Sebenarnya aku bisa percaya ke diri sendiri nggak sih? Sebenarnya siapa sih yang bikin aku jadi bertanya-tanya hal yang gak menyenangkan ke diriku sendiri ini sih? Ini salah ku, atau salah mereka? Dan pertanyaan-pertanyaan itu berputar dan aku terseret pada hal-hal yang tidak membawa aku ke tempat yang positif. Di sana, aku merasa kehilangan. Kehilangan diri sendiri. Harus gimana ya..

Jadi bertanya-tanya gak sih, masa depan ku gimana? Apa aku bisa percaya bahwa masa depan ku bakal positif kalau kayak gini terus? Dan sebenarnya jatuhnya ke gak mau mikirin hal itu, dan yang hanya membuat tidak mau mengambil keputusan-keputusan lagi, menumpuk dan menumpuk dan menunggu meledaknya momen untuk pengambilan keputusan. Mau kayak gitu? Phew..

Itu sih. Sekelumit pikiran yang menggelayuti kepala. Semoga sehat-sehat, gaes. Stay safe dan juga stay sane ya, katanya. Semoga ditunjuki kebaikan

Share:

Sunday, 15 December 2019

Mencintai Ketidaknyataan

       Pernah, dalam kelas Bahasa Jepang yang biasa kuikuti, diadakan diskusi terkait buku cetak vs buku elektronik. Diskusi yang menarik, mengingat setiap dari kami peserta diskusi hampir pasti memilih salah satu di antara keduanya. Kami yang sama-sama sudah lulus kuliah ini, pasti sering berinteraksi dengan salah satu dari keduanya. Dan waktu itu, untuk bisa memberikan poin argumen yang ingin kuberikan, aku membaca-baca referensi terkait argumen bahwa buku cetak masih lebih baik daripada buku elektronik.

       Pada suatu titik dalam diskusi kami, salah satu temanku berargumen bahwa tujuan dari buku adalah untuk mendapatkan pemahaman, maka dari itu cukup dengan membaca buku elektronik saja sudah cukup. Pada buku elektronik kita bisa memberikan stabilo, bisa langsung menggunakan fitur search, dan bisa dengan mudah mengganti-ganti di antara sekian banyak buku untuk mencari hubungan antara satu buku/paper dengan yang lain. Nah, terhadap poin itu, aku akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa argumen itu kurang lengkap. Bahwa selain untuk mendapatkan pengetahuan, ada aspek, tujuan lain yang membuat orang jadi menyukainya, yaitu bahwa buku adalah teman.

       Aku lupa membaca dari artikel mana, tapi ada salah satu argumen orang yang menyukai buku yang mengatakan bahwa saat membaca buku, ia sering sekali jatuh cinta pada salah satu tokoh dalam buku itu. Mengikut kisah hidupnya. Hingga sampai pada saat dimana ia menghadapi kenyataan bahwa halaman terakhir sudah di depan mata. Dan sudah saatnya berpisah dengan tokoh tersebut. Dan itu adalah bagian paling menyedihkan dari membaca sebuah buku. Kalau ngga salah ini pendapat orang dari Quora kayanya, jadi tadi waktu kucari lagi nggak ketemu. 

       Awalnya saat membaca opini orang itu, aku ngerasa agak ngga paham. Bisa gitu ya kalau orang baca novel/fiksi itu.. Sampai aku sadar sekarang-sekarang ini. … Ketika aku juga mulai merasakan cinta pada sebuah karakter yang ada di dalam novel. Hingga aku menuliskannya bahwa aku harus menemukannya. Meskipun ia tak ada. Mencari seseorang yang menyerupainya. Ah, memang ada-ada saja isi kepala ini. Tapi, kalian harus tahu…

       Kalian harus tahu bagaimana penulis mengatur sedemikian rupa, membuat kita merasakan menjadi tokoh utama, menjalani jalan hidupnya. Hingga bertemu dengan sesosok wanita yang misterius, menarik, dan jatuh hati padanya. Dengan segala pernik, misteri, dan jarak yang ada, tak membuat sang tokoh utama untuk berhenti perhatian padanya, berusaha menjaganya meski itu bukan hal yang dibutuhkan, ditolak dan masih terus berusaha untuk mendapatkan rasa kepercayaan darinya. Kalian harus tahu, dan merasakan bagaimana menjadi sang tokoh utama selama sekitar 1000 halaman, dan merasakan teraduk-aduknya perasaan ketika ingin mencinta tapi tak jua bisa. Ah, seperti merana tapi tak juga. 

       Begitulah, aku ingin mencarinya. Dan ini bukan berarti aku mencintai sosok yang tidak ada, tapi mungkin karena lama hati ini tak berlabuh pada yang nyata.. hingga akhirnya ia berusaha menggapai sesuatu yang tak ada. Ah, semoga hati ini bisa berlabuh pada kenyataan yang bisa menenangkannya.
Share:

Monday, 28 October 2019

Perempuan Seperti Apa yang Kau Cari? Part 2 : Mencari Diri Sendiri

       Dalam kelas Bahasa Jepang yang sedang kuikuti sekarang-sekarang ini, sebagai persiapan kerja, aku belajar banyak hal tentang kehidupan, tentang orang Jepang, dan terkadang, tentang diri sendiri. Di dalam buku paket Bahasa Jepang yang digunakan, ada berbagai macam soal dan pertanyaan-pertanyaan keseharian, dan terkadang ada hal-hal menarik. Seperti, kalau ada uang tabungan, memangnya apa yang paling ingin dilakukan? Sampai sekarang, hadiah dari siapa yang paling dijaga sampe sekarang? Kalau anak pengen ngelakuin apa pun apa bakal dibolehkan? Dan yang ngga kalah menarik, tolong definisikan kepribadian diri sendiri dan kepribadian pasangan yang diinginkan!

       Well, pertanyaan-pertanyaan itu awalnya kedengeran sederhana, tapi begitu udah mulai dipikir tuh, kayak sampai 10 menit juga kadang belum dapet jawabannya. Ya, kalau jawaban normatif sih ada, tapi biasanya bukan jawaban sebenernya. Kalau mau dapet jawaban sebenernya, mesti dipikir lebih dalem lagi. Salah satu pertanyaan yang begitu akhirnya berhasil kutentukan aku merasa dapet banyak tenaga dan semangat baru dalam hidup adalah pertanyaan yang paling terakhir.

       Akhir-akhir ini, aku beberapa kali terpikir tentang calon pasangan yang kuinginkan. Dan makin lama dipikir dan dirunut, rasanya tetap saja bagaimanapun kriteria yang kutentukan, rasanya tidak akan pernah terasa cukup aman untuk dipilih sebagai seseorang untuk dinikahi. Masih tetap ada kekhawatiran apakah yakin kriteria ini sudah merupakan yang terbaik buatku? Gimana kalau dia berubah nantinya? Apakah aku pantes buat orang sebaik ini? Dst.

       Dan aku pun mengubah sudut pandangku. Aku inget dulu waktu suka main game online bahwa pasangan idealku adalah pasangan yang dalam kondisi apapun kami bisa saling melindungi dari serangan dunia luar. Punggung bertemu punggung, bersama menghadapi segala serangan luar. Yang pada makna lainnya adalah bahwa kami saling melindungi, mungkin melengkapi juga. Di titik mana aku lemah, di sana dia akan ada untuk membantu. Hingga pada akhirnya ini semua kembali kepada aku sendiri lemah dimana? Aku sendiri orang yang seperti apa? Dan tidak hanya berhenti disitu, alhamdulillahnya waktu sedang merunut kepribadian masing-masing dan menerjemahkannya ke dalam Bahasa Jepang, aku mencoba mengambil jalan lain. Aku menambahkan slot kepribadian ketiga yang kuberi judul, Kepribadian di Masa Depan yang Diinginkan.

       Di sana, pertama kalinya (mungkin) aku membayangkan benar-benar bagaimana aku nantinya di masa depan. Akan jadi orang seperti apa? Karena seperti halnya juga dengan sebuah target pekerjaan atau karir besar yang bisa diturunkan menjadi sub-target yang lebih mudah dicapai, target kepribadian pun juga bisa diturunkan menjadi kepingan kepribadian lebih kecil yang lebih mudah untuk dicapai secara bertahap. Selain itu, mungkin saat ini aku memiliki beberapa kelemahan yang aku kurang merasa nyaman dengan diriku sendiri, tapi dengan memiliki rencana kepribadian jangka panjang, aku jadi lebih terorientasi pada bagaimana mengubah kelemahan itu menjadi seperti yang kuinginkan di masa depan, daripada kepikiran terus kenapa aku 'terlahir' dengan sifat itu. Karena kepribadian itu bukan sesuatu yang permanen. Dan hanya berpikir tanpa melakukan apapun tidak akan membantu banyak.

       Dalam pernikahan, kedua belah pihak perlu untuk saling mengenali kepribadian satu sama lain. Di satu sisi, hanya mengetahui kepribadian dari calon pasangan di saat ini terkadang bisa membuat kita menjadi seolah mudah ragu dan memilih untuk mundur. Sepertinya penilaian kita sudah penilaian terbaik. Tapi, sadarkah bahwa kondisi seseorang pada suatu waktu belum tentu berarti itu adalah kondisi final (steady state) yang tidak ingin diubah olehnya? Bisa jadi dia di masa depan memiliki impian ingin menjadi orang yang seperti A, bisa melakukan B, dan sebagainya. Mungkin jika kita mencoba bertanya tentang itu, dan mencoba mencari lebih dalam lagi apa usaha yang sudah dilakukan untuk mencapai hal-hal tersebut, hati kita akan menjadi lebih lapang dan bisa menerimanya. Mampu melihat dia secara lebih utuh, dan bisa mendukung apa yang ingin dia capai di masa depannya, termasuk mengingatkannya ketika ia melenceng dari 'kesepakatan' yang telah dia buat dengan dirinya dan telah dia sampaikan pada kita untuk meyakinkan kita bahwa dia adalah yang terbaik untuk kita. Mungkin, dengan begitu akan lebih mudah.

       Dan aku merasa bersyukur karena telah menjawab kepada diriku sendiri bahwa di masa depanku aku ingin menjadi orang seperti apa. Mungkin masih jauh. Mungkin sekarang masih banyak hal yang terasa aneh, mustahil untuk diubah, sangat tidak menyenangkan, mungkin orang lain akan menganggapnya sebagai sesuatu yang membosankan, tapi karena aku sudah terbayang di masa depan aku nanti akan jadi seperti apa, rasa puas itu pun muncul saja. Bahwa aku yang nanti bukanlah yang sekarang. Hidup terus mengalir, jalan bisa berubah, sifat pun bukanlah hal yang saklek. Perubahan tentu tak mudah, tapi dengan sadar diri membuat catatan-catatan apa yang ingin diubah dalam diri dalam seminggu, sebulan, setahun, 5 tahun, dst. Dan menurunkannya kepada target-target kecil yang akan membantu mencapai itu, akhirnya hidup terasa lebih mudah untuk dijalani. Alhamdulillah.

Ya Allah, tunjukilah hamba-Mu ini kepribadian yang Engkau ridhoi, dan bantulah hamba untuk mencapai kepribadian tersebut. Aamiin.
Share:

Thursday, 15 August 2019

Perempuan Seperti Apa yang Kau Cari? Part 1 : Sebuah Pengantar

       Jepang hari ini lagi musimnya natsu yasumi. Atau, libur musim panas. Di sini ada 3x libur yang ditunggu-tunggu, panjangnya hampir 1 minggu (tergantung perusahaan). Ada natsu yasumi (libur musim panas) di bulan agustus, fuyu yasumi (libur musim dingin) di bulan desember/januari, dan golden week (rentetan hari dimana di sana ada banyak hari libur jadi seolah-olah satu minggu libur) di bulan mei. Seperti namanya, pada saat natsu yasumi, suhu biasanya lagi panas-panasnya. Tapi, untuk tahun ini, rasanya 2 minggu lalu lah puncak panas-panasnya musim panas. Kemarin dan hari ini bahkan lagi sering hujan. Katanya sih gara-gara ada typhoon (angin kencang) yang lewat, kayaknya cukup dekat dengan Nagoya.

Bayangin, satu minggu libur, mau ngapain?

       Awalnya aku mau cari-cari dojo kendo, mau mulai latihan lagi. Eh, penyakit mager udah keburu menyerang. Sial. Banyak wacana yang berhenti, tapi beberapa masih terus jalan kek beli robot yang bisa ngomong bahasa Jepang, dan wacana mau belajar IOT untuk persiapan kerjaan. Dua-duanya beli perlengkapannya dari Amazon, gampang banget desu yo (lho). Bisa langsung motong dari tabungan di debit, atau bisa juga bayar di konbini (convenience store, ex: seven eleven, family mart, lawson, dll). Hal-hal lainnya paling cari-cari HP dan SIM Card baru yang masih belum bisa karena kartu cash ku masih belum sampe.

       Tapi, ada hal lain yang aku baru sadarin. Sebetulnya di liburan ini aku ada sedikit kekeosan masalah diri sendiri. Hal-hal yang kulakukan untuk menutupi kebosanan, ataupun ketidakinginan untuk merasakan suatu perasaan. Dan sekarang ini, aku mulai mendekati titik kebenaran, ketika aku sudah agak berjarak dari aktivitas pengalih perhatian itu.

Aku sedang lari dari suatu kenyataan. Dari suatu perasaan.

       Tentang kebingungan akan onna no hito (perempuan) seperti apa yang mungkin sebenarnya akan kubutuhkan untuk menjalani kehidupan. Sebuah kebingungan. Yang semestinya tidak perlu sampai dibawa kepada hal-hal yang kurang perlu. Tapi, dari hal-hal pengalih perhatian itu sebagian ternyata menarik juga. Kemarin ada sempet baca Kimetsu no Yaiba, dan dari sana belajar keinginan untuk menjadi lebih kuat untuk orang lain. Aku harus bisa menjadi lebih kuat dalam berdisiplin, berani untuk melawan nafsu, dsb. Well, that's other things. Aku berencana untuk membuat tulisan tentang itu juga. Cuman balik lagi, tentang onna no hito ini, benar-benar meresahkan di dalam sana. Kebingungan antara cantik dengan baik. Antara nafsu dengan agama.

       Terakhir aku bikin serial tulisan yang bener-bener jalan (sebelumnya yang Ruang Ketidaksempurnaan), adalah tentang melupakan. Sekolah Melupakan. Yang berakhir pada sebuah kesimpulan bahwa pada akhirnya aku sadar ikatan rasa yang ingin kutambatkan itu muncul karena adanya suatu rasa yang selama ini tidak pernah aku rasakan pada orang lain sebelumnya. Tapi, bukan berarti bahwa rasa itu hanya akan bisa kudapat darinya lagi. Nggak kok, aku yakin aku akan bisa memupuk rasa itu bersama dengan orang lain lagi. Semoga. Ya, kesimpulannya aku berhasil melupakannya. Pretty unexpected, but, yeah well. Apa yang udah berlalu ya berlalu.


       Cuman aku dibalikkan pada sebuah kondisi yang seperti basecamp (?). Titik awal. Mungkin ada yang bilang ground zero juga. Jadi, donna onna no hito wa osagashi desu ka? Perempuan seperti apakah yang kucari? Aku baru sadar akan pertanyaan ini setelah semalem kami anak-anak seasrama ngobrolin tentang taaruf, tentang calon. Ternyata pada tertarik bahas itu juga di sini, heheh.

Ya, mungkin aku akan membuat beberapa catatan pribadi tentang itu,

donna onna no hito wa osagashi desu ka?

bismillah..
Asrama CBS Tekno, Nagoya.
Share:

Wednesday, 7 August 2019

Lelahkah Penyebab Jarang Menulis?

       Somehow, sejak aku sampai di Jepang sekitar sebulan lalu, aku jarang banget menulis. Banyak hal sih yang terjadi, sebagian besar adalah bagian dari proses aku adaptasi dengan pola hidup dan segala perubahan yang ada. Mungkin, sampai saat ini aku sudah sedikit lebih menemukan titik kestabilan.

       Hanya, kenapa jarang menulis? Ya, kurasa tinggal disini memiliki pace yang cukup tinggi. Seringkali aku baru bisa tidur lewat di atas jam 12, dan baru bangun mungkin sekitar jam 6. Yang tentunya aku tidak inginkan, tapi agar bisa membentuk pola belajar yang cocok, sampai saat ini baru bisa seperti itu. 

       Sedikit banyak aku bersyukur karena aku mendapatkan sebuah fokus yang tidak terlalu berat, tapi masih membuatku tergerak agar mau belajar mandiri dan memasang target-target pribadi. Meskipun, di luar itu ada faktor-faktor lain seperti kemonotonan makanan sehari-hari dikarenakan masakan sendiri yang gitu-gitu aja agak membuat ada yang terasa seperti hilang. Nggak bisa lagi mau makan geprek tinggal jalan ke ganyang. Nggak bisa lagi mau anget-anget bau enak dan rasanya kenyel tinggal ke bakso, di ganyang juga. Mau makan kenyang bareng temen malem-malem tinggal ke 86. 

Semua tinggal masa lalu.

       Disini, mencoba mengatur tatanan hidup yang baru. Mencari cara untuk bisa lebih fleksibel satu dengan yang lain, agar tetep bisa ibadah bareng, belajar kondusif, dan tetep bisa ngurus diri sendiri. Hanya, mungkin agak sedikit lelah. Chotto tsukaremashita ‘sedikit melelahkan’ (dalam bahasa Jepang).

       Selain itu, mungkin aku ada beberapa hal yang mesti dengan baik kusimpan, dan kurang kusampaikan ke yang lain agar tidak melukai perasaan yang lain. Tapi seringkali masih terus menyenangkan berdiskusi dengan teman-teman yang lain. Namun, mungkin boleh dibilang agak datar ya? Emosi ku rata-rata terasa lelah, kadang agak terganggu dengan satu hal, dengan puncaknya mungkin saat bercanda dan tertawa bersama yang lain. 

       Mungkin itu bisa menjawab kenapa jarang menulis. Karena kurang ada emosi yang sebegitu mendorongnya untuk menulis, dan adanya rasa lelah yang sedikit menggelayuti punggung dan tangan ini saat tangan mulai mengetik. Mata pun agak tertarik ke bawah mengajak untuk menggelap bersama. 

Ah, sudah akan masuk jam pelajaran lagi. C ya later.

note : semoga tetap istiqomah dalam kebaikan, gaes :)
disini susah. harus dari dalem sendiri semangat. trus ngajak temen2 utk semangat jugak. trus baru jalan. yaa seenggaknya berusaha mengondusifkan temen-temen sendiri. Semoga nanti Allah mudahkan. Aamiin.
Share: