Hai, lama ngga jumpa hehe.
Sedikit curcol mungkin, life's not easy here, in Japan, by myself, and some friends.
Tapi yang mau kuceritain sekarang adalah tentang pergumulan dengan diri sendiri sih. Aku kan akhir-akhir ini coba ngebangun kebiasaan lari pagi minimal 3x sepekan. Kalo ga bisa lari diganti sama gowes pake sepeda statis gitu gowes 5 km. Nah sambil lari itu biasanya aku dengerin motivasi-motivasi yang udah pernah kudownload gitu. Ada sekitar 8 video yang isinya potongan klip dari obrolan interview sama orang-orang hebat, atau orang-orang yang meneliti orang-orang hebat. Delapan video itu diulang terus entah udah berapa kali lari pagi. Aku mikirnya kayak buku sih. Sebuah buku, kalau kamu baca saat masih SMP, dengan waktu kuliah, kerasa gak sih bedanya? Beda kan? Kadang ada insight-insight baru. Nah, itu yang aku cari. Jangan-jangan di balik hal-hal yang sama ini kalau diulang, dengan sudut pandang yang berbeda kita bisa dapet hal baru yang gak pernah terpikirkan dengan level pemikiran kita yang lama. Dan akhir-akhir ini aku sampai pada satu topik baru.
Temanya sama, hanya disampaikan oleh berbagai macam orang dengan pesan yang berbeda, dengan beberapa interview paling representatif yang disampaikan oleh dua orang pengarang buku sekaligus motivator, Bu Mel Robbins dan Pak Tony Robbins (Gatau ya sodara atau bukan ini). Mereka cerita bahwa otak manusia ini didesain bertahun-tahun bukan untuk membuat kita bahagia, tapi untuk membuat kita survive. Anything yang membawa pada kesakitan dihindari, dan apapun yang membawa kepada survival itu disukai. Ini bisa terlihat dari saat kita mencoba menjadi orang yang lebih baik, dengan ingin lebih produktif, ingin bisa belajar hobi x, atau bisa juga saat kita ingin memperbaiki suatu kondisi tertentu dalam hidup kita, misalnya kita ada punya hubungan dimana kita dipergunakan oleh orang lain, dan kita pengen ngomong ke orang tersebut. Secara perasaan, tentu capek kalau mesti kerja keras, lari pagi, nge-gym. Pasti bosen kalau belajar sendirian tentang sesuatu yang belum jelas akan bermanfaat. Pasti takut ngehubungi orang yang sudah lama mempergunakan kita, misal kita pengen putus, or anything. Pasti ga akan sakit, akan lebih mudah, gampang kalau kita biarin gitu aja, dan semua berjalan begitu saja. Dan disana lah poinnya, otak kita akan memperkuat alasan yang menjadikan munculnya keraguan itu. Otak kita takut kita gak survive kalau kita harus menjalani hal-hal tersebut. Bahwa seringkali otak kita akan tunduk pada emosi sesaat yang muncul, ketakutan, takut sakit takut capek, ataupun kebosenan. Dan disana lah aku sampai pada satu kesimpulan (yang aku belum paham ini baik atau nggak, silahkan dipilah sendiri):
Hmm, jadi otak kita sebenarnya bisa jadi melakukan sesuatu yang berlawanan dengan tujuan jangka panjang kita ya. Mengarahkan kita pada hal-hal yang gampang dimana kita jelas survive, tapi memaksa kita berada tetap pada zona nyaman dan gak berkembang sama sekali.
Kalau dipikir-pikir, bener juga. Sering banget lah aku memilih zona nyaman daripada harus susah-susah. Atau malah, terlalu sering. Dan akhirnya hidup gini-gini aja, nggak jadi berkembangnya. Mau lanjut di perusahaan sekarang atau nggak, takut nanti akan susah kalau harus proses pindahan dan nyari kerjaannya gimana. Otak nyuruh aman aja. Keraguan-keraguan yang ada di dalam hati itu di dobel in jadi berkali-kali lipat sampai pada akhirnya jatuh pada keputusan, "udah lah urungin aja..". Aku baru paham, bahwa kita sebenarnya gak bisa sepenuhnya percaya sama otak kita sendiri. Seringkali kita harus memaksa menutup telinga dari suara-suara otak, dan lanjut ke jalan yang menurut hati kita harus kita tempuh. Serahkan hasilnya kepada-Nya.
Well.. itu topik 1. Topik 2 jadi agak melenceng.
Aku yang awalnya hanya memandang itu dari sudut pandang self-improvement aja, mulai merasakan juga gimana rasanya kalau ada suatu hal yang udah kita ga pengen lakuin, tapi dengan alasan-alasan tertentu otak kita memperbesar alasan-alasan tersebut dan kita jadi ngelakuin hal itu lagi. Sesuatu yang setelah kita lakuin kita ngerasa buang-buang waktu lah, disgusted sama diri sendiri lah, or anything. Yang balik lagi, otak kita mengajak kita pada jalan yang gampang. Kamu udah punya kebiasaan ini, kenapa harus dihentiin kalau ternyata masih bisa bikin kamu nyaman? Dan di sana, urang merasa ter-split. Jadi, di dalam diriku ada dua keberadaan? Atau ya satu, yang tertarik pada suatu sistem kebiasaan yang bentukannya otomatis secara jalur di dalam otaknya (begitu udah masuk ya dilanjutin habitnya sampai ke akhir habitnya), dan yang lainnya yang pengen kebiasaan itu dihentikan, diganti dengan kebiasaan lain. Satu identitas, yang tertarik pada dua kutub magnet yang berseberangan.
Dan dari beberapa kali perulangan, aku jadi kehilangan kepercayaan diri, saking seringnya dikhianati oleh diri sendiri. Sebenarnya, aku mau ikut yang mana? Sebenarnya aku bisa percaya ke diri sendiri nggak sih? Sebenarnya siapa sih yang bikin aku jadi bertanya-tanya hal yang gak menyenangkan ke diriku sendiri ini sih? Ini salah ku, atau salah mereka? Dan pertanyaan-pertanyaan itu berputar dan aku terseret pada hal-hal yang tidak membawa aku ke tempat yang positif. Di sana, aku merasa kehilangan. Kehilangan diri sendiri. Harus gimana ya..
Jadi bertanya-tanya gak sih, masa depan ku gimana? Apa aku bisa percaya bahwa masa depan ku bakal positif kalau kayak gini terus? Dan sebenarnya jatuhnya ke gak mau mikirin hal itu, dan yang hanya membuat tidak mau mengambil keputusan-keputusan lagi, menumpuk dan menumpuk dan menunggu meledaknya momen untuk pengambilan keputusan. Mau kayak gitu? Phew..
Itu sih. Sekelumit pikiran yang menggelayuti kepala. Semoga sehat-sehat, gaes. Stay safe dan juga stay sane ya, katanya. Semoga ditunjuki kebaikan