Begini: "Lebih baik menjadi seorang mantan pencuri, daripada menjadi seorang mantan Ustadz, Bro!"
Maksudnya(interpretasiku sendiri) : Lebih baik pencuri(secara luas maksudnya adalah pendosa, apapun dosanya) yang taubat kemudian menjadi Ustadz daripada Ustadz yang kemudian maksiat kemudian menjadi pencuri.
Entah bagaimana, aku (dulu) terkadang merasa tersindir dengan ucapannya itu. Ucapannya pula yang (dulu) membuatku merasa takut, "Na'udzubillah," semoga aku bisa istiqomah dalam jalan kebaikan.
Rokok, sang pencuri kehidupan (dan saya ga suka asepnya -..-) |
Aku adalah bagian pertama dari kalimat itu. Aku adalah seorang 'pencuri'.
Aku, dari SMP hingga sekarang, masih lah seorang 'pencuri'. Berbeda, tetapi status nya sama. Aku masih melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh diriku yang dulu, si 'pencuri'. Ya, sekarang aku lebih jarang 'mencuri', tetapi aku masih 'mencuri' sekali-kali.
Bagaimana bisa setelah pukulan yang menohok itu sekarang aku memandang diriku sebagai seorang yang sholeh? Seorang yang 'baik' (tanda petik karena baik teramat sangat relatif)?
Ini bukanlah sebuah pembenaran bahwa aku memang seharusnya mencuri. Tetapi ini adalah sebuah kenyataan. Pil pahit yang perlu ditelan oleh orang seperti aku yang sering shalat Dhuha saja sudah merasa hebat. Rajin shalat jama'ah di masjid saja sudah merasa ta'at. Tidak pacaran saja merasa sudah benar-benar menjauhkan diri dari maksiat.
Begitulah kenyataannya, aku tetaplah seorang 'pencuri'. Dan aku akan bertaubat dan terus bertaubat kepada Allah hingga suatu saat nanti takdirnya menentukan bahwa aku sudah cukup menjadi 'pencuri'. Aku harus menjadi kepompong, lalu menjadi sesuatu yang lain yang hanya Dia yang tahu akan seperti apa skenarionya. Yang kubutuhkan, desperately in need, adalah kesabaran.
0 komentar:
Post a Comment